Subscribe:


ShoutMix chat widget
Perang Banu Quraidlah

Disebutkan dalam Ash-Shahihain bahwa ketika Nabi saw kembali dari Khandaq, tidak
lama setelah meletakkan senjata dan mandi, Jibril datang kepadanya lalu berkata,“Apakah
kamu sudah meletakkan senjata ? Demi Allah, kami belum meletakkannya. Berangkatlah
kepada mereka.“ Nabi saw bertanya ,“Kemana ?“ Jibril menjawab ,“Ke sana, seraya
menunjuk ke arah perkampungan Banu Quraidlah. Kemudian Nabi saw berangkat mendatangi
mereka.

Berita bohong (Haditsul Ifki)

Dalam perjalanan pulang kaum Muslimin dari perang Bani Mustahliq inilah tersiar
berita bohong bertujuan merusak keluarga Nabi saw. Berikut ini kami kemukakan ringkasan
dari riwayat yang tertera di dalam Ash-Shahihain.

Perang Banu Musthaliq (Muraisi)
 
Ibnu Ishaq dan sebagai Ulama sirah menyebutkan bahwa perang ini terjadi pada tahun
keenam Hijrah. Tetapi pendapat yang shahih ialah pendapat yang dikemukakan oleh para
peneliti bahwa perang ini terjadi pada bulan Sya‘ban tahun kelima Hijrah. Di antara dalilnya
yang paling kuat ialah keikutsertaan Sa'‘d bin Muadz dalam peperangan ini. Sa‘ad bin Muadz
meninggal pada perang Bani Quraidla akibat luka yang dideritanya pada perang Khandaq.
Perang Bani Quraidla terjadi pada tahun kelima Hijrah sebagaimana akan diterangkan.
Bagaimana mungkin Sa‘ad masih hidup setahun setelah kematiannya.

Perang Dzatur Riqaa‘
 
Menurut para ulama sirah, peperangan ini terjadi pada tahun keempat Hijrah, sebulan
setengah setelah pengusiran orang-orang Yahudi banu Nadlir. Tetapi Bukhari dan sebagian
ahli hadits menguatkan pendapat yang mengatakan peperangan ini terjadi setelah perang
Khaibar.

Pengusiran Orang-orang Yahudi Bani Nadlir
(Pada bulan Rabi‘ul Awwal tahun keemapt Hijrah)

Ibnu Sa‘ad meriwayatkan bahwa Rasulullah saw keluar pada hari Sabtu, lalu shalat di
masjid Quba bersama beberapa orang sahabatnya dari kaum Anshar dan Muhajirin. Kemudian
Rasulullah saw mendatangi orang-orang Yahudi Bani Nadlir untuk minta bantuan mereka
membayar diyat (tebusan ganti rugi) kepada keluarga dua orang dari Bani Kilab yang
terbunuh secara tidak sengaja oleh Amir bin Umaiyyah Adl-Dhamri. Kedua orang yang
terbunuh itu sebelumnya telah mendapatkan jaminan perlindungan dari Rasulullah saw.
Dalam pada itu antara Bani Nadlir dan Bani Amir terjalin ikatan persahabatan (persekutuan)
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan lainnya.
Orang-orang Yahudi bani Nadlir itu menjawab :“Kami akan melakukan apa yang
engkau inginkan, wahai Abul Qasim.“ Kemudian sebagian orang Yahudi itu berbisik kepada
yang lain merencanakan pengkhianatan. Amir bin Jihasy an-Nadhary berkata :“Aku akan
naik ke bagian atas rumah, kemudian menjatuhkan batu besar kepadanya.“ Waktu itu
Rasulullah saw sedang berdiri di samping salah satu rumah mereka.
Ibnu Sa‘ad selanjutnya menambahkan bahwa Salam bin Masykan (salah seorang bani
Nadlir) berkata kepada mereka :“Janganlah kalian melakukannya! Demi Allah, dia
(Muhammad) pasti akan diberitahu tentang apa yang kalian rencanakan. Sesungguhnya
perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap perjanjian antara kita dendan dia.“
Setelah mendapat kabar tentang rencana pengkhianatan itu, Rasulullah saw dengan
cepat bergerak , seolah-olah ada suatu keperluan, menuju ke Madinah dengan diikuti oleh
para sahabatnya. Para sahabatnya berkata :“Engkau berangkat sedangkan kami tidak
menyadari.“ Nabi saw menjawab :“Orang-orang Yahudi itu merencanakan pengkhianatan,
lalu Allah mengabarkan hal itu kepadaku maka aku segera berangkat.“
Kemudian Rasulullah saw mengutus seorang utusan kepada mereka untuk
menyampaikan pesan :“Keluarlah kalian dari negeriku karena kalian telah merencanakan
pengkhiantan. Aku beri tempo 10 hari. Kalau setelah itu masih ada yang terlihat, akan
kupenggal batang lehernya.“
Orang-orang Yahudi itu pun mulai bersiap-siap keluar, tetapi Abdullah bin Ubay bin
Salul mengirim seorang utusan untuk menyampaikan pesan kepada mereka :“Janganlah kalian
meninggalkan rumah-rumah kalian, tinggallahdi benteng kalian, karena kami bersama dua
ribu orang akan membela kalian.“ Kemudian orang-orang Yahudi itu membatalkan rencana
keluar mereka dan bertekad untuk bertahan di benteng-benteng mereka. Lalu Rasulullah saw
pun memerintahkan para sahabatnya untuk bersiap-siap memerangi mereka.
Akhirnya Rasulullah saw bergerak mendatangi mereka sementara itu mereka bertahan
di benteng-benteng mereka dengan menggunakan senjata panah dan batu. Dalam pada itu
Abdullah bin Ubay ternyata mengkhianati mereka. Lalu Rasulullah saw mengepung mereka
dan memerintahkan supaya semua ladang kurma milik mereka dibabat habis. Sehingga
mereka menggugat :“Hai Muhammad kamu dulu melarang kerusakan dan mencela orang
yang melakukannya. Kenapa sekarang kamu membabat dan membakar habis landang
kurma?“ Maka Allah swt pun menurunkan firman-Nya :
„Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu
biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya maka (semua itu) adalah atas ijin Allah swt. Dan
Dia hendak membeirkan kehinaan kepada orang-orang fasiq.“ QS al-Hasyr : 5
Setelah itu mereka menyerah kepada Rasulullah saw dan bersedia meninggalkan kota
Madinah sebagaimana yang diinginkan beliau. Tetapi Rasulullah saw menjawab :“Sekarang
aku tidak menerimanya kecuali jika kalian keluar dengan darah-darah kalian saja. Kalian
boleh membawa harta yang dapat dibawa oleh unta, kecuali senjata.“ Akhirnya mereka
menerima keputusan ini dan keluar dengan harta yang dapat diangkut oleh unta mereka.
Ibnu Hisyam berkata :“ Sebagian mereka ada yang mencopoti peralatan rumah mereka
dibawa keluag Madinah. Mereka mengungsi antara Khaibar dan ke Syam. Di antara orangorang
Yahudi itu hanya ada dua orang yang masuk Islam yaitu Yamin bin Umair bin Ka‘ab
anak paman Amer bin Jihasy dan Abu Sa‘Ad bin Wahab. Kedua orang ini kemudian
mendapatkan kembali hartanya.
Rasulullah saw membagi harta Bani Nadlir ini kepada kaum Muhajirin saja tanpa
orang-orang Anshar, kecuali dua orang Anshar yang dikenal sangat miskin yaitu Sahal bin
Hanif dan Abu Dujanah Sammak bnin Kharsyah. Sebenarnya harta Bani Nadlir ini
sepenuhnya hak milik Rasulullah saw. Al-Baladziry menyebutkan di dalam Futuhu‘l-Buldan,
bahwa Rasulullah saw bercocok tanam di bawah pohon-pohon kurma di tanah mereka,
kemudian hasilnya disimpan untuk makanan keluarga dan istrinya selama setahun dan sisanya
untuk keperluan senjata dan kendaraan. Berkenaan dengan Bani Nadlir, Allah swt
menurunkan surat al-Hasyr. Dan sebagai komentar terhadap kebijaksanaan Rasulullah saw
dalam membagi harta bani Nadlir, turunlah firman Allah :
„Dan apa saja harta rampasan (fa‘I) yang diberikan Allah kepada hambah-Nya (dari harta
benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan
(tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah swt yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya
terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah swt Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa
saja harta rampasaan (fa‘I) yang diberikan Allah swt kepada Rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah swt, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan
hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah , dan
bertakwalah kepada. Allah. Sesungguhnya Allah swt, sangat keras hukuman-Nya. QS Al-
Hasyr : 6-7
Beberapa Ibrah.
Ini merupakan kedua watak dair pengkhianatan yang melekat pada jiwa orang-orang
Yahudi. Tindak pengkhianatan sebelum ini telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi banu
Quraidah. Itulah hakekat sejarah yang dikuatkan oleh berbagai peristiwa yang tak terhitung
jumlahnya. Itulah pula rahasia pelaknatan Ilahi kepada mereka yang diabadikan dalam
firman-Nya :
„Telah dilaknati orang-orang kafir dari banu Israel melalui lisan Daud dan Isa putera Maryam.
Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.“ QS Al-Maidah : 78.
Peristiwa pengkhianatan ini memberikan beberapa pelajaran penting yang berkaitan
dengan Hukum-hukum Syari‘at Islam di antaranya :
1.- Berita yang disampaikan Allah swt, kepada Rasulullah saw tentang pengkhiantan yang
direncanakan oleh orang-orang Yahudi itu, merupakan salah satu dari perkara luar biasa yang
banyak diberikan oleh Allah swt kepada Rasul-Nya baik sebelum Kenabian maupun pada saat
Kenabian. Hal ini seharusnya menambah keimanan kita kepada Kenabian dan Keraulannya
dan memperkuat keyakinan kita bahwa pribadi Kenabiannya merupakan asas utama bagi
keberadaannya dan sifat-sifat kepribadiannya yang lain.
Sebagian penulis sirah dan fiqhnya lebih suka mengungkapkan khabar Ilahi yang
disampaikan kepada Rasulullah saw tentang rencana pengkhianatan Yahudi ini dengan
ungkapan ilham dan firasat. Padahal kata ilham memiliki arti yang lebih luas karena ia
merupakan stimulasi yang dapat ditangkap melalui sensitivitas naluriah dan keinderaan yang
dimiliki oleh semua orang. Sedangkan ungkapan khabar Ilahi, dalam pemakaian ulama sirah,
menunjukkan kepada ciri khas dan karakteristik Kenabian. Kita mengetahui baha
keistimewaan inilah yang membuat Nabi saw segera merasakan adanya rencana jahat itu. Dan
hal ini sekaligus merupakan bukti kebenaran janji Allah swt kepada Rasulullah saw :
„Dan Allah swt, melindungimu dari manusia“ QS al-Maidah : 67
Lalu, mengapa harus digunakan ungkapan yang bias seperti itu ? Ini tidak lain
hanyalah merupakan salah satu bentuk penolakan terhadap mukjizat Nabi saw, yang
bersumber dari lemahnya keimanan kepada Kenabiannya.
2.- Pembabatan dan pembakaran ladang kurma Banu Nadlir memang benar dilakukan oleh
Rasulullah saw. Tetapi Rasulullah saw juga membiarkan sebagiannya. Tindakkan yang
diambil Rasulullah saw ini dibenarkan oleh Allah swt melalui firman-Nya :
„Apa saja yang kamu tebang dari pohon-pohon kurma (milik orang kafir) ata yang kamu
biarkan tumbuh berdiri, seua itu atas ijin Allah swt …. „ QS Al-Hasyr : 5
Peristiwa ini dijadikan dalil oleh ulama‘ bahwa keputusan untuk menghancurkan
ladang musuh atau tidak , tergantung kepada kemaslahatan yang dilihat oleh Imam atau
pimpinan. Masalah ini termasuk ke dalam apa yang disebut siyasah (kebijaksanaan pimpinan).
Para ulama mengatakan bahwa tujuan Rasulullah saw melakukan tindakan tersebut
menghancurkan atau membiarkan untuk mencari kemaslahatan dan jalan menuju kepadanya.
Sebagai bimbingan dan pelajaran kepada ummatnya.
Demikianpula pendapat Imam Syafi‘I ketika mengomentari perintah Abu Bakar untuk
membakar dan membabat (ladang kurma), ketika mengutus Khalid ke Thalihah dan Bani
Tamim padahal Abu Bakar sendiri melarang tindakan tersebut para peperangan di negeri
Syam, Imam Syafi‘I berkata :
„Barangkali, Abu Bakar memerintahkan untuk tidak membabat pohon yang berbuah karena
dia mendengar Rasulullah saw pernah mengabarkan bahwa negeri Syam akan ditaklukan oleh
kaum Muslimin. Karena dia boleh memutuskan pembabatan atau tidak, dia memilih tidak
membabat karena mempertimbangkan kaum Muslimin.“
Pendapat yang kami sebutkan ini, yaitu pendapat yang membolehkan pembakaran dan
pembabatan ladang kaum kafir apabila diperlukan, adalah pendapat Nafi‘ maula Ibnu umar ,
Malik Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Syafi‘I, Ahmad, Ishaq, dan jumhur fuqaha‘.
Tetapi riwayat pula bahwa al-Laits bin Sa‘ad Abu Tsaur dan al-Auza‘I tidak
membolehkan tindakkan seperti itu.
3.- Para Imam bersepakat bahwa barang rampasan yang diperoleh kaum Muslimin tanpa
melalui peperangan (yaitu fa‘I) urusannya diserahkan kepada kebijaksanaan Imam. Dalam hal
ini Imam tidak wajib membaginya kepada para tentara (Mujahidin yang ikut berperang). Hal
ini didasarkan kepada kebijaksanaan Rasulullah saw dalam membagi fa‘I bani Nadlir.
Rasulullah saw telah membaginya kepada kaum Muhajirin saja. Dan tindakan ini dibenarkan
oleh Allah swt dalam dua ayat yang telah kami sebutkan di atas.
Tetapi para fuqaha berselisih pendapat tentang tanah yang diperoleh kaum Muslimin
melalui peperangan. Imam Malik berpendapat bahwan tanah itu tidak boleh dibagi, tetapi
kharaj (hasilnya) menjadi wakaf untuk kemaslahatan kaum Muslimin, kecuali jika Imam
memandang perlu membaginya. Pendapat Hanafiah tidak jauh berbeda dari pendapat ini.
Imam Syafi‘I berpendapat bahwa tanah yang diambil dengan kekuatan, wajib dibagi
sebagaimana pembagian harta bani Nadlir itu, berlainan dengan pembagian harta rampasan
yang diperoleh melalui peperangan, ialah karena tidak adanya peperangan yang menjadi
sbeba untuk memperoleh ghanimah itu. Hal ini telah ditegaskan oleh ayat al-Quran ketika
mengomentari kebijaksanaan Rasulullah saw terhadap fa‘I bani Nadlir :
„Dan apa saja rampasan fa‘I yang diberikan Allah swt, kepada Rasul-Nya (dari harta benda)
mereka, untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula)
seekor unta pun …“ QS al-Maidah : 6
Jika keurungan peperangan ini menjadi sebab bolehnya tidak membagi tanah fa‘I,
maka menjadi jelas apabila sebab hukum itu tidak ada, hukumannya pun ikut terangkat.
Sehingga berlakulah kembali hukum yang telah ditegaskan tentang ghanimah baik berupa
tanah ataupun yang lainnya.
Sementara madzhab Malik dan Abu Hanifah, didasarkan kepada beberapa hal. Di
antaranya tindakan Umar ra ketika melarang pembagian tanah penduduk Iraq yang kemudian
dijadikan sebagai tanah wakaf dan hasilnya diperuntukkan bagi kemaslahatan kaum
Muslimin. Mengingat terbatasnya buku ini, kami tidak dapat menjelaskan masalah ini secara
lebih rinci.
Tetapi satu hal yang perlu ita perhaitkan dalam pembahasan masalah ini yiatu Illat
yang disebutkan Allah swt dalam dua ayat yang menjelaskan kebijaksanaan Nabi saw dalam
membagi fa‘I bani Nadlir dengan hanya membagikannya kepada orang-orang tertentu saja.
Allah swt menyebutnya pertimbangan itu melalui firman-Nya :
„Supaya harta itu jangan hana beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.“ QS al-
Hasyr : 7
Yakni supaya peredaran harta itu tidak hanya terbatas di kalangan kaum kaya saja.
Pertimbangan ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan Syariat Islam dalam masalah
harta kekayaan, secara keseluruhan, didasarkan kepad tercapainya prinsip ini. Semua hukum
yang berkaitan dengan masalah ekonomi dan kekayaan, yang banyak dijelaskan oleh kitabkitab
Syariat Islam, dimaksudkan untuk menegakkan masyarakat yang adil dengan tingkat
kehidupan yang relatif tidak jauh berbeda atas seluruh lapisan masyarakatnya. Tidak ada
berbagai ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang merusak prinsip keadilan itu.
Seandainya Hukum-hukum Islam , khususnya sistem keuangannya yang
menghidupkan zakat, melarang riba dan beraneka macam monopoli diterapkan, niscaya
seluruh ummat manusia akan hidup sejahtera. Bisa saja berbeda tingkat pendapatan mereka
tetapi semuanya berkecukupan. Tidak ada yang menjadi beban tanggungan bagi yang lain.
Sekalipun demikian, namun semuanya tetap saling tolong-menolong.
Ketahuilah bahwa tujuan Allah swt membuat syariat di dunia ini adalah untuk
menegaskan masyarakat yang adil. Untuk tujuan inilah Allah swt telah membuat berbagai
sarana dan sebab yang wajib kita ikuti dan tidak boleh dilanggar. Yakni Allah swt,
memperhamba kita dengan disertai tujuan dan sarana. Karena itu tidak boleh dikatakan
:“Karena tujuan Islam ialah menegakkan keadilan sosial maka kita bebas menempuh jalan dan
sarana untuk mencapai ke arah itu.“ Tindakan ini merupakan penyimpangan dari tujuan, dan
sarana sekaligus. Tujuan yang kita diperintahkan Allah swt untuk mewujudkannya tidak akan
tercapai kecuali dengan mengikuti sarana dan cara yang telah ditentukan oleh Allah swt pula.
Sejarah dan realitas merupakan bukti yang terbaik untuk masalah ini.
Demikianlah tampakknya kita perlu memperhatikan kembali surat al-Hasyr untuk
merenungkan komentar dan penjelasan Ilhai terhadap perkara dan peristiwa ini dengan segala
kaitannya. Orang-orang Yahudi dan Munafiq, kebijaksanaan Rasulullah saw mengenai maslah
harta kekayaan , perang dan lain sebagainya. Surat ini memuat banyak pelajaran dan
peringatan bagi kita.
Tragedi Ar-Raji‘ Dan Bi‘ru Ma‘unah
 
Pertama : Tragedi Ar-Raji‘ pada tahun ketiga
Beberapa utusan dari Kabilah Udlal dan Qarah datang kepada Rasulullah saw
menyebutkan bahwa berita tentang Islam telah sampai kepada mereka. Oleh sebab itu, mereka
sangat membutuhkan orang-orang yang akan mengajarkan kepada mereka agama. Kemudian
Rasulullah saw mengutus beberapa orang dari sahabatnya. Antara lain : Murtsid bin Abi
Murtsid, Khalid bin Al-Bakir, Ashim bin Tsabit, Khubaib bin Ady, Zaid bin Datsinah dan
Abdullah bin Thariq. Rasulullah saw menunjukk Ashim bin Tasbit sebagai Amir mereka.
Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra, ia berkata :“ Maka
berangkatlah mereka sehingga ketika sampai di daerah antara Usfan dan Mekka, disebutkan
tentang suatu perkampungan dari suku Hudzail yang dikenal dengan nama Banu Lihyan.
Kemudian sekitar seratus orang pemanah dari suku ini mengikuti mereka, sampai mereka
turun di suaut rumah. Di rumah ini mereka melihat biji-biji kurma Madinah yang dibuang di
situ, sehingga mereka berkata :“Ini ada Kurma Yatsrib“. Orang-orang dari suku Hudzail itu
terus membuntuti dan mengejar mereka. Ketika Ashim dan para sahabatnya mengetahui hal
itu, mereka lalu berlindung ke sebuah bukit kecil di padang pasir. Gerombolan itu terus
mengejar dan mengepung mereka, kemudian berkata :“ Kami berjanji tidak akan membunuh
seorang di antara kalian jika kalian turun kepada kami.“ Ashim berkata :“ Saya tidak akan
menerima perlindungan orang kafir. Ya Allah, sampaikanlah berita kami kepada Nabi-Mu.“
Akhirnya gerombolan itu menyerang mereka sehingga berhasil membunuh Ashim bersama
tujuh orang sahabatnya, dengan anak panah. Tinggal Khubaib , Zaid dan seorang lagi yang
menerima tawaran tersebut.
Tetapi setelah turun kepada gerombolan itu, mereka ditangkap dan diikat. Orang yang
bersama Ashim dan Zaid itu berkata :“ Ini adalah pengkhianatan pertama“, Ia enggan
mengikuti mereka lalu dibunuh oleh gerombolan itu.
Kemudian mereka membawa Khubaib dan Zaid sampai akhirnya mereka menjual
keduanya di Mekkah. Khubaib dibeli oleh Banu Al-Harits. Adalah Khubaib orang yang
membunuh al-Harits para perang Badr. Kemudian Khubaib tinggal di Banu al-Harits sebagai
tawanan, sampai ketika mereka sepakat untuk membunuhnya. Pada hari itu Khubaib terlihat
membawa pisau cukur yang dipinjamnya dari salah seorang anak wanita al-Harits. Wanit itu
berkata :“Saya lupa kepada anakku sehingga dia merangkak mendatangai Khubaib, kemudian
Khubaib mendudukannya di atas pahanya. Ketika aku melihatnya, aku takut dan terkejut.
Melihat aku ketakutan dan sambil membawa pisau, Khubaib pun bertanya :“Apakah kamu
takut aku akan membunuhnya ? Insya Allah, aku tidak akan melakukan perbuatan itu.“
Karena itulah wanita tersebut pernah berkomentar tentang Khubaib :“Aku tidak pernah
melihat seorang tawanan yang lebih baik dari Khubaib. Aku pernah melihatnya makan buah
anggur padahal waktu itu di Mekkah tidak lagi musim buah dan dia pun sedang diikat dengan
rantai besi. Anggur itu tidak lain hanylaah rezki dari Allah swt.“
Kemudian Banu al-Harits menyeret Khubaib dari al-Haram untuk dieksekusi. Sebelum
dieksekusi , Khubaib berkata :“Bolehkah aku melaksanakan shalat dua rakaat (terlebih
dahulu).?“ Setelah melaksanakan shalat, Khubaib datang kepada mereka seraya berkata
:“Kalau bukan karena khawatir kalian akan menyangka bahwa aku melakukan itu karena
takut mati niscaya aku akan menambah shalat.“ Dengan demikian , maka dia merupakan
seorang yang pertama kali mensunnahkan shalat dua rakaat sebelum dibunuh. Selanjutnya
Khubaib bersyair :
„Aku tidak perduli asalkan aku dibunuh dalam Islam
Atas belahan manapun karena Allah aku terbunuh,
Jika itu sudah menjadi kehendak Allah.
Maka Dia akan memberkati bagian-bagian tubuh yang dipotong-potong.
Setelah itu Uqbah bin al-Harits maju membunuh Khubaib. Kemudian orang-orang
Quraisy meminta agar salah satu dari bagian tubuh Ashim yang masih bisa dikenali,
dikirimkan kepada mereka. Karena Ashim pernah membunuh salah seorang tokoh mereka
pada perang Badr. Tetapi Allah swt menggagalkan niat buruk mereka dengan menutupi
jasadnya.
Ath-Thabary menambahkan sebuah riwayat dari Abi Kuraib, ia berkata :“Telah
menceritakan kepada kami Ja‘far b in Aun dari Ibrahim bin Ismail ia berkata, telah
menceritakan kepadaku Ja‘far bin Amir bin Umaiyyah dari bapaknya dari kakeknya, bahwa
Rasulullah saw mengutusnya sendirian sebagai mata-mata kepada kaum Quraisy. Ia berkata
:“Kemudian aku datang ke sebuah kayu tempat Khubaib dieksekusi, dengan sangat hati-hati.
Lalu aku naik kepadanya kemudian aku lepaskan ikatakannya dan Khubaib pun lenyap
seolah-olah ditelan oleh bumi. Sampai hari ini tidak diketahui tulang-tulang Khubaib itu.
Ibnu Ishaq berkata :“Adapun Zaid, dia dibeli oleh Shafwan bin Umaiyah. Ketika
mereka membawanya keluar dari al-Haram untuk dibunuh, Abu Shafwan bertanya
kepadaku:“Aku bersumpah padamu hai Zaid. Apakah kamu suka seandainya Muhammad
sekarang ini kami hukum sebagai penggantimu dan kami kami kembalikan kepada
keluargamu?“ Jawab Zaid dengan tegas :
„Demi Allah, aku tidak rela jika Muhammad sekarnag ini terkena duri sedikitpun sedangkan
aku duduk bersama keluargaku.“
Mendengar jawaban ini Abu Shufyan berkomentar :
„Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih dicintai oleh sahabatnya seperti kecintaan
sahabat Muhammad terhadap Muhammad.“
Kedua : Tragedi Bi‘ru Ma‘unah pada tahun keempat
Amir bin Malik yang dikenal dengan Mula‘ibul Asnah datang kepada Nabi saw.
Kemudian Nabi saw menawarkan Islam kepadanya, tetapi dia tidak menerima juga tidak
menolak Islam. Dia hanya berkata kepada Nabi saw :“Hai Muhammad , utuslah beberapa
orang sahabatmu ke Najd untuk berdakwah di sana. Saya yakin mereka akan menyambut
agamamu!“ Nabi saw menjawab :“Aku khawatir penduduk Nejd akan menyerang mereka.“
Kata Amir :“Utuslah saja, aku yang akan melindungi dan menjamin mereka. Biarlah mereka
mengajak kepada agamamu.“
Kemudian Nabi saw mengutus 70 sahabat pilihannya. Pengiriman para da'i ini
menurut riwayat Ibnu Ishaq dan Ibnu Katsir, dilakukan empat bulan setelah perang Uhud.
Maka berangkatlah mereka hingga sampai di Bi‘ru Ma‘unah (nama sebuah desa). Ketika
sampai di tempat ini, diutuslah Haram bin Milham salah seorang dari delegasi da'i tersebut
untuk menyampaikan surat Nabi saw kepada Amir bin Thufail. Belum sampai surat itu
dibacanya, Amir bin Thufail langsung membunuh Haram bin Milhan. Menurut riwayat
Bukhrai dari Anas bin Malik bahwa ketika Haram bin Milhan ditikam dan darahnya muncrat
di wajahnya, ia berteriak :
„Aku telah sukses demi Rabb Ka‘bah“.
Kemudian Amir bin Thufail menggerakkan Bani Amir untuk menyerang pada da'i
yang lainnya, tetapi Bani Amir menolaknya dan berkata :“Kami tidak akan mengkhianati Abu
Barra‘ (Amir bin Malik)“. Lalu Amir bin Thufail meminta bantuan kepada kabilah-kabilah
Sulaim dari suku Ushaiyyah, Ra‘I dan Dzakwan. Kabilah-kabilah ini menyambut ajakan Amir
bin Thufail lalu mengepung dan menyerang mereka. Para da'i itu berusaha melakukan
perlawanan tetapi tidak berdaya sampai semuanya gugur terbunuh.
Di antara para da'i itu terdapat dua orang sahabat yang tidak menyaksikan tindak
pengkhianatan ini. Salah seorang di antaranya ialah Amir bin Umaiyyah Adh-Dhamri. Kedua
sahabat ini tidak mengetahui berita terjadinya pengkhianatan tersebut sehingga keduanya
datang membantu saudara-saudaranya. Tetapi sahabatnya itu pun terbunuh bersama yang lain,
sementara dia (Amir bin Umaiyyah Adh-Dhamri) berhasil lolos dan kembali ke Madinah. Di
tengah perjalanan ia bertemu dengan dua orang Musyrik yang disangkanya dari Bani Amir.
Lalu kedua orang itu dibunuhnya. Setelah sampai kepada Rasulullah saw dan diceritakan
kasus tersebut, ternya kedua orang itu dari Bani Kilab dan telah mendapatkan jaminan dari
Nabi saw. Kemudian Nabi bersabda :“Engkau telah membunuh dua orang. Aku harus
membayar diatnya.“
Rasulullah saw merasakan kesedihan yang mendalam atas kematian delegasi da'i yang
semuanya itu adalah sahabat beliau, sehingga selama sebulan penuh Rasulullah saw
melakukan qunut di shalat subuh mendoakan kecelakaan atas kabilah RA‘I, Dzakwan, Bani
Lihyan dan Ushaiyyah.
Beberapa Ibrah
Pada kedua peristiwa yang menyedihkan ini terdapat beberapa pelajaran penting.
Diantaranya :
1.- Masing-masing dari tragedi Ar-Raji‘ dan Bi‘ru Ma‘unah menunjukkan keterlibatan dan
partisipasi seluruh kaum Muslimin dalam tanggung jawab dakwah kepada Islam dan
menjelaskan hakekat serta hukum-hukum Islam kepada manusia. Tanggung jawab dakwah
bukan hanya tugas para Nabi dan Rasul atau para Khalifah dan ulama saja. Tetapi merupakan
tanggung jawab setiap individu Muslim.
Anda akan merasakan betapa pentingnya melaksanakan kewajiban dakwah , setelah
anda mengetahui bagaimana Rasulullah saw mengutus 70 orang sahabat pilihannya yang
padahal tidak lama setelah enam orang sahabatnya terbunuh dalam missi yang sama yaitu
berdakwah menyebarkan Islam. Rasulullah saw sendiri telah mengkhawatirkan terjadinya
tragedi tersebut, bahkan hal ini pernah disampaikan kepda Amir bin Malik ketika beliau
mengusulkan pengiriman utusan untuk mengajak manusia kepada Islam. Tetapi Amir bin
Malik waktu itu juga melihat bahwa pelaksanaan kewajiban dakwah (tabligh) lebih penting
daripasa segala sesuatu jika tanggung jawab mengemban amanat dakwah tidak akan bisa
dilaksanakan kecuali harus dengan menempuh petualangan dengan resiko seperti itu maka
biarlah semua itu terjadi. Biarlah terjadi apa yang dikehendaki oleh Allah swt dengan
kewajiban melaksanakan dakwah tersebut.
2.- Pada bagian pertama dari kitab ini telah kami sebutkan bahwa seorang Muslim tidak boleh
tinggal di Darul Kufri atau Darul Harbi, jika tidak dapat memperlihatkan eksistensi dan missi
agamanya. Tetapi kasus dalam sirah Nabi saw ini menunjukkan pengecualian hukum tersebut,
yiatu apabila menetapkan seorang Muslim di Darul Harbi atua Darul Kufri itu karena
melaksanakan tugas kewajiban dakwah Islam. Sebab, hal ini termasuk salah satu bentukjihad
yang tanggung jawabnya berkaitan dengan seluruh kaum Muslimin , atas dasar fardhlu
kifayah yang jika telah ada sebagian orang yang melaksanakannya secara sempurna maka
tanggung jawab itu gugur dari orang lain, tetapi jika belum terlaksanakan secara sempurna
maka seluruh kaum Muslimin akan menanggung dosanya.
3.- Kedua tragedi ini secara jelas menunjukkna betapa kebencian dan dendam kesumat yang
membara di hati kaum Musyrikin terhadpa kaum Muslimin, sampai mereka tega melakukan
pengkhianatan yang terburuk demi untuk memuaskan dahaga kebencian mereka kepada kaum
Muslimin. Sebaliknya, kedua tragedi ini menunjukkan betapa indah dan mengagumkan
gambaran watak dan tabiat kaum Muslimin yang menjadi korban pengkhianatan mereka.
Anda sendiri telah melihat bagaimana Khubaib disekap sebagai tawanan di rumah Bani Al-
Harits , menanti pelaksanaan eksekusinya. Pada hari pelaksanaan eksekusi, Khubaib
meminjam pisau cukur untuk mencukur demi mempersiapkan diri menghadapi kematian. Saat
itu tiba-tiba seorang anak balita dari seorang wanita lepas dan mendatangi Khubaib . Pada
saat-saat ini, bagi orang berpikir ingin membalas dendam dan selamat dari kematian,
merupakan kesempatan yang baik untuk melakukan penyanderaan sebagai media tawarmenawar
atau membayar pengkhianatan dengan pengkhianatan yang sama. Dan memang
demikianlah perkiraan semua penghuni rumah itu, sehingga ketika ibu dari bayi itu melihat
bayinya berada di pangkuan Khubaib, ia terkejut ketakutan. Tetapi ibu itu tercengang ketika
melihat Khubaib mendudukan anaknya di pangkuan seraya memanjakannya seperti seorang
ayah! Ketika Khubaib melihat wanita itu penuh ketakutan dan kecemaran, maka dengan
tenang dan rasa kasih sayang sebagai seorang Mukmin Khubaib berkata :
„Apakah engkau takut akan akan membunuhnya ? Insya Allah aku tidak akan
melakukannya.“
Perhatianlah mukjizat tarbiyah Islamiyah kepada manusia ! perhatikanlah perbedaan
antara Khubai dan orang-orang Musyrik yang telah membunuhnya secara kejam dan aniaya.
Sama-sama orang Arab yang tumbuh dalam satu lingkungan dan tradisi yang serupa. Tetapi
Khubaib telah memeluk Islam sehingga Islam telah membentuknya menjadi manusia yang
berbeda sama sekali dengan mereka yang tetap bertahan dalam kesesatan dan tabiat mereka
yang buruk. Betapa besar perubahan yang telah dilakukan oleh Islam pada tabiat manusia !,
4.- Tragedi ini menjadi dalil bahwa seorang yang ditawan oleh musuh boleh tidak menerima
tawaran keamanan dan tidak mau tunduk kepada musuh, sekalipun dengan resiko dibunuh,
karena menolak diberlakukannya hukum memilih tawaran keamanan, demi menanti
kesempatan dan mengharapkan pembebasan, sebagaimana yang dilakukan oleh Khubaib dan
Zaid.
Tetapi seandainya ia dapat melarikan diri maka menurut pendapat yang lebih shahih ia
harus melakukannya, kendatipun ia dapat menampakkan agamanya di antara mereka, karena
tawanan di tangan kaum kafir itu terhina. Oleh sebab itu ia wjaib membebaskan dirinya dari
kehinaan tawanan dan perbudakkan.
5.- Jika kita perhatikan jawaban Zaid bin Datsinah kepada Abu Sofyan beberapa menit
sebelum pembunuhannya dapatlah kita ketahui betapa besar kecintaan para sahabat kepada
Rasulullah saw tidak diragukan lagi bahwa kecintaan ini merupakan faktor terpenting yang
menumbuhkan kesiapsediaan berkorban di jalan Allah dan membela Rasulullah saw .
Betapapun kualitas keimanan seseorang, jika tidak disertai kecintaan kepada Rasulullah saw
seperti ini, adalah tetap merupakan keimanan yang belum sempurna. Hakekat ini dinyatakan
secara tegas oleh Rasulullah saw di dalam sabdanya :
„Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada
hartanya, anaknya, orang tuanya dan semua manusia.“ HR Bukhari dan Muslim.
6.- Apa yang terjadi pada khubaib selama menjadi tawanan di Mekkah menunjukkan
kemungkinan terjadinya karamah bagi seorang Wali sebagaimana mukjizat bagi seorang
Nabi. Perbedaan utamanya bahwa mukjizat Nabi disertai dengan tantangan dan pernyataan
Kenabian sedangkan karamah para Wali dan orang-orang shalih datang begitu saja tanpa
disertai tantangan. Inilah yang ditetapkan oleh jumhur Ahli Sunnah wal Jama‘ah. Tidak ada
karamah yang lebih jelas daripada karamah yang diberikan oleh Allah swt, kepada Khubaib
sebelum pembunuhannya. Ia begitu tabah dan tegar menghadapi kematian, sebagaimana
diriwayatkan bukhari dan lainnya.
7.- Mungkin ada yang ingin bertanya :“ Apa hikmah terjadinya pengkhianatan terhadap para
pemuda Mukmin yang keluar demi menyambut perintah Allah swt dan Rasul-Nya ?“Mengapa
Allah swt tidak memberikan kekuatan kepada mereka sehingga berhasil mengalahkan para
pengkhianat itu ?“
Jawabannya ialah, apa yang telah kami sebutkan berkali-kali yaitu, bahwa Allah swt
memperhambakan para hamba-Nya melalui perjuangan mewujudkan dua hal : Menegakkan
masyarakat Islam dan berjuang mencapai tujuan tersebut pada jalan yang penuh dengan
tebaran duri. Hikmahnya agar terwujudnya ubudiyah manusia kepada Allah swt dan
terpisahkan antara orang-orang yang benar-benar beriman dan orang-orang munafiq. Di
samping terlaksananya mubaya‘ah antara Allah swt dan para hambah-Nya yang beriman.
Mubaya‘ah yang secara tegas disebutkan di dalam firman-Nya :
„Sesungguhnya Allah swt telah membeli dari orang-orang Mukmin diri dan harta mereka
dengan memberikan surga bagi mereka. Mereka berpegang di jalan Allah, lalu membunuh
atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran..“ QS
At-Taubah : 111
Apa arti penandatanganan perjanjian ini jika isi perjanjian itu sendiri tidak
terlaksankaan ? Apa nilai bai'at nii, jika tidak terlaksanakan, sehingga pihak yang
menandatangai berhak mendapatkan surga dan kebahagiaan abadi ?
Keberatan terhadap persoalan ini hanyalah bagi orang-orang yang lebih
mengutamakan kehidupan di dunia daripada kehidupan di akherat. Hal ini merupakan tnda
ketiadaan keimanan kepada Allah swt, atau lemahnya iman pada dirinya. Orang-orang seperti
ini tidak dapat diharapkan untuk melakukan petualangan dengan mengorbankan nyawa dan
harta. Tetapi bagi orang-orang yang beriman secara benar, hal ini tidak menjadi masalah.
Karena kenikmatan kehidupan duniawi tidaklah sedemikian besar nilainya dalam keyakinan
mereka sehingga harus menghalangi dari menunaikan ketaatan yang paling ringan kepada
Allah swt. Pengorbanan nyawa, dalam pandangan Mukmin tidak lain hanylaah merupakan
perpindahan dari penjara dunia menuju kenikmatan akherat. Memperoleh kenikmatan akherat
merupakan puncak cita-cita yang hendak dicapai oleh setiap Muslim dalam kehidupannya.
Perasaan dan sikap ini tmapak secara jelas dalam bait-bait yang diucapkan oleh
Khubaib ketika hendak dibunuh terutama pada bait terakhir :
Aku tak akan tunduk dan takut kepada musuh
Kepada Allah swt jua tempat kembaliku
Perang Uhud
 
Peperangan ini terjadi karena pada tokoh Quraisy yang tidak terbunuh pada perang
Badr bersepakat untuk membalaskan dendam orang-orang yang terbunuh di Badr. Mereka
ingin membentuk pasukan besar guna menghadapi Muhammad saw, dengan dukungan dana
dari seluruh kekayaan yang dibawa oleh kafilah Abu Sofyan. Keinginan ini akhirnya disetujui
oleh seluruh kaum Quraisy dengan didukung pula oleh unsur-unsur yang dikenal dengan
nama Al-Ahabisy (suku-suku lain di sekitar Mekkah yang terikat perjanjian dengan suku
Quraisy)- Bahkan mereka mengerahkan kaum wanita untuk mencegah larinya para tentara
dari medan perang apabila kaum Muslimin melancarkan serangan kepada mereka. Kaum
Quraisy keluar meninggalkan Mekkah dengan tiga ribu tentara.
Setelah mendengar berita tersebut, Rasulullah saw lalu mengadakan musyawarah
dengan para shabatnya. Dalam musyawarah ini Rasulullah saw menawarkan kepada mereka
antara keluar menjemput musuh di luar kota Madinah atau bertahan di dalam kota Madinah,
jika musuh datang menyerang kota Madinah barulah kaum Muslimin menghadapi mereka
dalam kota. Dari kalangan orang-orang tua, termasuk Abdullah bin Ubay bin Salul memilih
tawaran (bertahan di dalam kota Madinah) sedangkan sebagian besar dari para sahabat yang
tidak berkesempatan ikut perang Badr berkeinginan menghadapi musuh di luar kota Madinah,
lalu mereka berkata :
„Wahai Rasulullah saw , bawalah kami ke luar menghadapi musuh kita agar mereka tidak
menganggap kita takut dan tidak mampu menghadapi mereka.“
Golongan ini terus saja mendesak Rasulullah saw agar mau mengadakan perang di
luar Madinah, sampai akhirnya beliau menyetujuinya. Kemudian Rasulullah saw masuk
rumahnya lalu mengenakan baju perang dan mengambil senjatanya. Melihat ini, lalu orangorang
yang mendesak Rasulullah saw tersebut menyesali diri karena mereka telah memaksa
Rasulullah saw untuk melakukan sesuatu yang tidak diingininya sehingga mereka berkata
kepada Rasulullah saw :
„Ya Rasulullah saw , kami tadi telah mendesak anda untuk keluar padahal tidak selayaknya
kami berbuat demikian. Karena itu jika anda suka duduklah saja.“
Tetapi Rasulullah saw menjawab :
„Tidak pantas bagi seorang Nabi apabila telah memakai pakaian perangnya untuk
meletakkannya kembali sebelum berperang.“
Kemudian Nabi saw keluar dari Madinah bersama seribu orang pasukannya menuju
Uhud, pada hari Sabtu tanggal 7 Syawwal, tiga puluh dua bulan setelah Hijrah beliau. Ketika
di tengah perjalanan antara Madinah dan Uhud, Abdullah bin Ubay bersama sepertiga
pasukan umumnya terdiri dari pada pendukungnya melakukan desersi dan kembali pulang
dengan alasan yang dikemukakannya :
„Dia (Nabi saw) tidak menyetujui pendapatku bahkan menyetujui pendapat anak-anak
ingusan dan orang-orang awam. Kami tidak tahu untuk apa kami harus membunuh diri kami
sendiri.“
Abdullah bin Harram berusaha mencegah mereka dan memperingatkan agar mereka
tida mengkhianati Nabi saw. Tetapi mereka menolak, bahkan tokoh mereka menjawab
:“Seandainya kami tahu akan terjadi peperangan niscaya kami tidak akan mengikuti kalian.“
Bukhrai meriwayatkan bahwa kaum Muslimin berselisih pendapat dalam menanggapi
tindakkan desersi ini. Sebagian mengatakan :“Kita perangi mereka“, sedangkan sebagian yang
lain mengatakan :“Biarkan mereka“. Lalu turunlah firmam Allah swt mengenai hal itu :
„Maka mengapa kami menjadi dua golongan dalam menghadapi orang-ornag munafiq,
padahal Allah swt telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka
sendiri ? Apakah kamu ingin memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan
oleh Allah swt ? Siapa pun yang disesatkan oleh Allah swt, sekali-kali kamu tidak mungkin
mendapatkan jalan untuk memberi petunjuk kepadnaya.“ QS An-Nisa : 88.
Menghadapi peperangan ini, sebagian sahabat mengusulkan supaya meminta bantuan
kepada orang-orang Yahudi, mengingat mereka terikat perjanjian untuk saling tolongmenolong
dengan kaum Muslimin. Tetapi Rasulullah saw menjawab :
„Kita tidak akan pernah meminta bantuan kepada orang-orang Musyrik untuk menghadapi
orang-orang musyrik lainnya.“
Kemudian Rasulullah saw bersama para sahabatnya jumlah mereka t idak lebih dari
tujuh ratus tentara mengambil posisi di sebuah dataran di lereng gunung Uhud dan
membentengi diri di balik gunung itu, menghadap ke arah Madinah. Beliau menempatkan
lima puluh pasukan pemanah di atas bukit yang terletak di belakang kaum Muslimin itu.
Rasulullah saw menunjuk Abdullah bin Jubair sebagai pimpinan pasukan pemanah. Kepada
pasukan pemanah Rasulullah saw berpesan :
„Berjagalah di tempat kalian ini dan lindungilah pasukan kita dari belakang. Bila kalian
melihat pasukan kita berhasil mendesak dan menjarah musuh, janganlah sekali-kali kalian
turut serta menjarah. Demikian pula andai kalian melihat pasukan kita banyak yang gugur,
janganlah kalian bergerak membantu.“
Rafi‘ bin Khudaij dan Samurah bin Jundab keduanya berusia lima belas tahun,
meminta kepada Rasulullah saw untuk ikut serta dalam peperangan ini. Karena terlalu muda,
Rasulullah saw menolah permintaan tersebut. Tetapi setelah dijelaskan kepada beliau bahwa
sesungguhnya Rafi‘ ahli memanah, akhirnya Rasulullah saw membolehkannya. Kemudian
Samurah bin Jundab pun menghadap Rasulullah saw seraya berkata :“ Demi Allah swt, aku
bisa membanting Rafi‘.“ Akhirnya Rasulullah saw pun membolehkannya juga.
Pada hari menjelang Uhud, Rasulullah saw memegang sebilah pedang kemudian
bertanya kepada pasukannya : „Siapakah di antara kalian yang sanggup memenuhi fungsi
pedang ini ?“ Abu Dujanah maju seraya menjawab :“ Aku sanggup memenuhi fungsinya.“ Ia
kemudian menerima pedang tersebut dari tangan Rasulullah saw. Ia mengeluarkan pedang
tersebut dari tangan Rasulullah saw. Ia mengeluarkan selembar kain merah lalu diikatkan di
kepala (kebiasaan Abu Dujanah jika ingin berperang sampai mati) kemudian ia berjalan
mengelilingi barisan dengan membanggakan diri. Melihat ini Rasulullah saw bersabda :
„Sesungguhnya cara berjalan seperti itu dimurkai oleh Allah swt , kecuali pada tempat (dan
peristiwa) seperti ini (perang).“
Kemudian Rasulullah saw menyerahkan panji kepada Mush‘ab bin Umair. Sementara
itu pasukan sayap kanan kaum Musyrikin di bawah pimpinan Khalid bin Walid dan sayap kiri
di bawah pimpinan Ikrimah bin Abu Jahal.
Perang campuh pun berlangsung sangat sengit. Dalam pertempuran ini kaum
Muslimin berhasil menyerang kaum Musyrikin secara mengagumkan, terutama Abu Dujanah,
Hamzah bin Abdul Muttalib dan Mush‘ab bin Umair.
Mush‘ab bin Umair gugur di hadapan Rasulullah saw kemudian panji diambil oleh Ali
bin Abi Thalib. Tidak lama kemudian Allah swt menurunkan pertolongannya kepada kaum
Muslimin sehingga kaum Musyrikin lari mundur terbirit-birit tanpa menghiraukan wanitawanita
mereka yang menyumpah serapah kepada mereka. Kaum Muslimin terus mengejar
mereka seraya mengumpulkan barang rampasan. Melihat ini pasukan pemanah yang bertugas
mengawal di atas bukit tertarik untuk turun mengambil barang-barang rampasan bersama para
sahabatnya yang lainnya, kecuali pimpinan mereka, Abdullah bin Jubair, bersama beberapa
orang tetap setia menjaga bukt seraya berkata :“Aku tidak akan melanggar perintah
Rasulullah saw.“ Melihat bukit yang sudah tidak terjaga kecuali orang beberapa orang itu,
Khalid bin Walid bersama pasukannya pun melancarkan serangan balik, dan diikuti oleh
Ikrimah. Sehingga mereka berhasil membunuh pasukan pemanah yang masih setia mengawal
bukti termasuk Abdullah bin Jubair. Dan mulailah mereka melancarkan serangan balik kepada
kaum Muslimin dari arah belakang.
Pada saat itulah kaum Muslimin terhenyak, mulai terdesak dan diliputi oleh rasa takut,
sehingga mereka berperang dengan tidak teratur lagi. Pasukan Musyrikin semakin gencar
melancarkan serangan sampai mereka berhasil mendekati tempat di mana Rasulullah saw
berada. Mereka melempari beliau dengan batu, hingga beliau luka parah pada bagian
rahangnya. Sambil mengusap darah yang mengalir di wajahnya, Rasulullah saw bersabda :
„Bagaimana mungkin suatu kaum mendapat kemenangan, sedangkan mereka mengalirkan
darah di wajah Nabinya yang mengajak mereka kepada jalan Allah swt.“
Kemudian Fatimah datang membersihkan darah dair wajahnya sementara Ali
mencucinya dengan air. Setelah dilihat darah tetap mengucur akhirnya Fatimah mengambil
pelepah kering lalu dibakarnya sampai menjadi abu kemudian abu itu diucapkan ke tempat
luka dan barulah darah itu berhenti mengalir.
Di saat-saat kritis itu tersiarlah desas-desus bahwa Rasulullah saw gugur dalam
pertempuran, sehingga mengguncangkan hati sebagian kaum Muslimin dan menyebabkan
orang-orang yang lemah iman di antara mereka berkata : „Apa gunanya kita di sini jika
Rasulullah saw telah gugur ?“ Kemudian mereka lari meninggalkan medan pertempuran.
Tetapi menanggapi isu ini Anas bin Nadhar berkata :“ Bahkan untuk apa lagi kalian hidup
sesudah Rasulullah saw gugur ?“ Kemudian sambil menunjuk kepada orang-orang munafiq
dan lemah iman, Anas bin Nadhar berkata :“Ya Allah sesungguhnya ak berlepas diri kepada-
Mu dari apa yang mereka katakan itu, dan aku memohon ampun kepada-Mu atas apa yang
mereka ucapkan itu.“ Kemudian Anas bin Nadhar melesat dengan membawa pedangnya
menerjang kaum Musyrikin hingga gugur sebagai syahid.
Selama peristiwa ini tampaklah semangat pengorbanan dan pembelaan yang
mengagumkan dari para sahabat Rasulullah saw yang selalu berada di sekitarnya. Mereka rela
mengorbankan raga dan nyawa demi membela dan menyelamatkan Rasulullah saw.
Bukhari meriwayatkan bahwa ketika orang-orang meninggalkan Nabi saw, dengan
memerisaikan dirinya dari desakan panah-panah kaum Musyrikin, Abu Thalhah adalah
seorang pemanah ulung dan selalu tepat mengenai sasarannya. Setiap anak panah yang
dilepaskan olehnya ke arah kaum Musyrikin selalu diamati oleh Rasulullah saw, pada sasaran
manakah anak panah itu menancap. Kemudian Abu Thalhah berkata :“Demi ayah dan ibuku,
yang menjadi tebusanmu, tak usahlah anda mengamatiku nanti terkena panahan musuh.
Biarlah mengenai leherku asalkan lehermu selamat.“
Abu Dujanah melindungi Nabi saw dengan dirinya, sementara panah-panah musuh
bertubi-tubi menghujam di punggungnya. Demikian pula Ziyad bin Sakan. Ia memerangi
Rasulullah saw dengan dirinya sampai gugur bersama lima orang sahabatnya. Menurut
riwayat Ibnu Hisyam orang yang terakhir gugur melindungi Nabi saw hingga roboh karena
luka yang mengenainya, lalu Rasulullah saw berkata :“Dekatkanlah dia kepadaku.“ Kemudian
diletakkan kepalanya di atas kaki beliau dan akhirnyaia menghembuskan nafasnya yang
terakhir berbantalkan kaki Rasulullah saw.
Selang sekian lama pertempuran di antara kedua belah pihak pun mulai mereda, dan
berakhir. Kaum Musyrikin mulai meninggalkan medan pertempuran dengan rasa bangga atas
kemenangan yang diraihnya. Sementara itu kaum Muslimin terkejut melihat para sahabat
yang berguguran di antaranya Hamzah bin Abdul Muttalib, Al Yaman, Anas bin Nadhar,
Mush‘ab bin Umair dan lainnya. Rasulullah saw sendiri sangat berduka cita atas kematian
pamannya, Hamzah bin Abdul Muttalib, apalagi setelah melihat mayatnya yang dibedah
perutnya dan diiris hidung serta telinganya oleh musuh. Selanjutnya Rasulullah saw
menguburkan mayat-mayat itu dua-dua dalam satu kain lalu bertanya :“Siapakah yang paling
banyak hafal al-Quran ?“ Setelah diberitahukan lalu Rasulullah saw memasukkannya lebih
dahulu ke liang lahat. Sesudah itu Rasulullah saw besabda :“Aku menjadi saksi bagi mereka
pada Hari Kiamat.“ Rasulullah saw memerintahkan agar mereka dikuburkan berikut pakaian
dan darah mereka apa adanya, dengan tidak perlu dimandikan dan dishalatkan.
Orang-orang Yahudi dan Munafiq mulai menunjukkan kebencian mereka kepada
kaum Muslimin. Abdullah bin Ubay bin Salul bersama kawan-kawannya berkata kepada
kaum Muslimin :“Seandainya kalian mengikuti kmai niscaya tidak ada korban yang
berjatuhan di antara kalian.“ Kemudian mereka memperolok kaum Muslimin dengan
mempertanyakan kemangan yang pernah mereka impikan bersama Rasulullah saw. Lalu
Allah swt menurunkan sejumlah ayat dari surat Ali-Imran sebagai komentar dan jawaban
terhadap celotehan orang-orang Yahudi dan Munafiqin tersebut, di samping merupakan
penjelasan tentang hikmah dari peristiwa yang terjadi di Uhud. Ayat-ayat itu ialah :
„Dan (ingatlah) ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu dalam rangka
menempatkan para Mukmin pada beberapa posisi untuk berperang. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ QS Ali-Imran : 121.
„Orang-orang yang tidak turut berperang itu berkata kepada saudara-saudaranya :“Sekiranya
mereka mengikuti kita tentulah mereka tidak terbunuh.“ Katakanlah :“Tolaklah kematian itu
dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.“ QS Ali-Imran : 168.
Pada Sabtu sore Rasulullah saw meninggalkan Uhud dan pada malam harinya
bermalam di Madinah bersama pada sahabatnya. Pada malam itu kaum Muslimin mengobati
luka-luka mereka. Setelah melaksanakan shalat Shubuh pada hari Ahad, Rasulullah saw
memerintahkan Bilal untuk mengumumkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kepada
para sahabatnya agar keluar mengejar musuh. Perintah ini hanya ditujukan kepada para
sahabat yang ikut dalam peperangan kemarin. Kemudian Rasulullah saw meminta diambilkan
panjinya yang belum dilepas lalu menyerahkan kepada Ali bin Thalib ra. Dengan kondisi
yang masih belum pulih dan serba lemah, para sahabat itu melesat keluar mengejar musuh
sampai ke Hamra‘uö Asad (sebuah tempat yang terletak sepuluh mil dari Madinah). Di sinilah
kaum Muslimin menyalahkan api unggun berukuran besar sehingga dapat dilihat dari tempat
yang jauh di samping mengesankan banyaknya jumlah mereka.
Di saat itulah Ma‘bad bin Ma‘bad al-khuza‘I (seorang mUsyrik dari suku Khuza‘ah)
lewat dan melihat kaum Muslimin. Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya dan bertemu
dengan kaum Musyrikin yang sedang berpesta pora membanggakan kemenangan mereka di
Uhud, dan merencanakan kembali lagi ke Madinah untuk menumpas kaum Muslimin tetapi
dicegah oleh Shafwan bin Umaiyah. Ketika Abu Sofyan melihat Ma‘bad ia bertanya :“Wahai
Ma‘bad ada gerangan apa di sana ? Ma‘bad menjawab:“ Celaka ! Sesungguhnya Muhammad
bersama pada sahabatnya dalam jumlah besar yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, telah
keluar mengejar kalian. Dengan semangat berkobar-kobar dan kebencian yang belum pernah
aku lihat sebelumnya, mereka ingin berhadapan dengan kalian.“ Dengan itulah Allah swt ,
menimbulkan rasa takut di hati kaum Musyrikin sehingga mereka segera mengangkat kaki
berangkat menuju Mekkah. Rasulullah saw tinggla di Hamra‘ul Asad pada hari Senin dan
Selasa. Rabu kembali ke Madinah.
Beberapa Ibrah.
Pernag Uhud ini memberi banyak pelajaran penting kepada kaum Muslimin pada
setiap masa. Semua peristiwa yang telah kami jelaskan terdahulu seolah-olah menjadi
pelajaran yang bersifat aplikatif dan operasional, yang mengajarkan kepada kaum Muslimin
cara mencapai kemenangan dalma pertempuran melawan musuh , dan cara menghindari
kegagalan dan kekalahan. :
1.- Di dalam peperangan ini tampak pula prinsip yang selalu dipegang teguh oleh Rasulullah
saw , yaitu bermusyawarah besama para sahabatnya dalam setiap urusan yang memerlukan
syura dan pembahasan. Tetapi di sini kita mencatat satu hal yang tidak kida dapati pada
musyawarah menjelang Badr. Yaitu bahwa Nabi saw tidak mau mencabut kembali
persetujuannya atas pengusulan para sahabat yang menghendaki agar peperangan di
tandingkan di luar Madinah, setelah beliau memakai baju perang dan mengambil persiapan
perangnya, sekalipun mereka menyatakan penyesalan mereka dan menarik kembali usulan
mereka itu, serta mengharap Rasulullah saw agar tinggal saja di Madinah jika beliau
berpendapat demikian. Tampaknnya pada waktu musyawarah Nabi saw cenderung atau
menampakkan kecenderungan terhadap usulan yang menginginkan agar kaum Muslimin
menunggu musuh di Madinah.
Barangkali hikmah yang terkandung dalam maslah ini, antara lain bahwa
memperbincangkan kembali suatu masalah yang sudah diputuskan apalagi setelah Nabi saw
muncul di tengah kaum dan para sahabatnya seraya memakai baju perang dan mengangkat
senjatanya adalah suatu tindakkan di luar prinsip syura khususnya menyangkut masalahmasalah
peperangan yang memerlukan di samping musyawarah ketegasan dan kepastian
sikap. Di samping itu kesan yang akan timbul jika Nabi saw mencabut persetujuannya setelah
semuanya melihat Nabi saw telah bersiap-siap untuk perang, seakan Nabi saw tidak memiliki
kehendak dan tekat yang kuat dan pasti. Bahkan biasanya sikap ragu seperti itu muncul karena
rasa takut dan kekhawatiran yang tidak berasalan. Oleh sebab itu, Nabi saw menjawab mereka
dengan tegas dan pasti :
„Tidak pantas bagi seorang Nabi apabila telah memakai baju perangnya untuk meletakkannya
kembali sebelum berperang.“
2.- Dalam peperangan ini kaum Munafiqin menunjukkan sikap mereka yang asli. Sikap
mereka ini mengandung banyak hikmah dan tujuan, di antara yang terpenting ialah wujud
penyapubersihan unsur-unsur Munafiqin dari kaum Mukminin. Selain itu, sikap kaum
Munafiqin tersebut memberikan berbagai manfaat bagi kaum Muslimin untuk menghadapi
masa-masa mendatang.
Telah kita ketahui bagaimana Abdullah bin Ubay bersama tiga ratus pengikutnya
berkhianat kepada Rasulullah saw, dan para sahabatnya setelah keluar dari kota Madinah.
Konon pengkhianatan ini disebabkan karena Nabi saw, mengikuti pendapat anak-anak muda
dan tidak mengambil pendapat orang-orang tua dan para intelektual seperti dirinya (Abdullah
bin Ubay). Tetapi sesungguhnya tidaklah demikian halnya. Ia (Abdullah bin Ubay)
melakukan tindakkan pengkhianatan itu hanya karena tidak mau berperang. Sebab ia tidak
siap menghadapi segala resikonya. Itulah ciri khas utama kaum Munafiqin : ingin mengambil
keuntungan-keuntungan yang terdapat dalam Islam dan menjauhi segala tanggung jawab dan
resikonya. Sesuatu yang mengikat mereka dengan Islam ialah salah satu di antara dua hal :
Harta rampasan yang mereka idamkan atau bencana yang dapat mereka elakkan.
3.- Dalam peperangan ini Rasulullah saw tidak mau meminta bantuan kepada orang-orang
non-Muslim kendatipun jumlah kaum Muslimin masih sangat sedikit. Dalam Hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Sa‘d di dalam Thabaqat-nya, Rasulullah saw bersabda :
„Kami tidak akan pernah meminta bantuan kepada orang-orang Musyrik untuk menghadapi
orang-orang Musyrik lainnya.“
Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw pernah berkata kepada seorang laki-laki yang
ingin berperang bersamanya di peperangan Badr :
„Apakah kamu beriman kepada Allah swt ?“ Orang itu menjawab :“Tidak“, Nabi saw
bersabda :“Kembalilah, karena aku tidak akan meminta bantuan kepada seorang Musyrik.“
Berdasarkan kepada hal di atas jumhur ulama‘ berpendapat, tidak boleh meminta
bantuan orang-orang kafir dalam berperang. Imam Syafi‘I menjelaskan hal ini dengan
mengatakan :“Jika Imam melihat orang kafir tersebut memiliki pandangan yang baik dan jujur
kepada kaum Muslimin serta sangat diperlukan bantuannya, (maka boleh meminta
bantuannya), tetapi jika tidak demikian maka tidak boleh.“
Barangkali pendapat Imam Syafi‘I yang sesuai dengan beberapa kaidah dan dalil.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw menerima bantuan Shfwan bin Umaiyah pada perang Hunain.
Dan masalah ini termasuk ke dalam kerangka apa yang disebut syari'ah (kebijaksanaan
Imam). Kami akan menyebutkan perbedaan antara apa yang dilakukan Rasulullah saw di
Hunain serta apa yang dilakukan Rasulullah saw di Badr dan Uhud pada pembahasan
mendatang insya Allah.
4.- Hal yang perlu direnungkan ialah fenomena Samurah bin Jundab dan Rafi‘ bin Khudaij.
Keduanya baru berusia lima belas tahun. Bagaimana kedua anak ini datang kepada Rasulullah
saw meminta ijin agar diperkenankan ikut serta dalam peperangan. Suatu peperangan yang
didasarkan pada kesiapan mati dan sangat tidak seimbang. Kaum Muslimin yang jumlahnya
tidak lebih dari tujuh ratus orang dengan kaum Musyrikin yang jumlahnya lebih dari tiga ribu
tentara.
Anehnya fenomena ini oleh para musuh Islam dianalisis dengan bukti bahwa bangsa
Arab sejak dahulu selalu hidup dalam situasi peperangan dan pertempuran. Sehingga mereka
(orang-orang Arab) tumbuh dalam nuansa dan suasana itu. Oleh sebab itu, mereka (tua
ataupun muda) memandang peperangan sebagai sesuatu yang tidak perlu ditakutkan.
Tidak diragukan lagi bahwa analisis ini dengan sengaja tidak mau melihat dan
mencatat realitas desersi yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul bersama tiga ratus
pengikutnya karena takut terhadap resiko peperangan , dan menginginkan keselematan
jiwanya. Juga tidak mau melihat kepada orang-orang yang ingin menikmati hasil panen kota
Madinah pada musim panas dan menolak seruan Rasulullah saw untuk berperang dengan
mengatakan :“Janganlah kalian berperang pada musim panas.“ Bahkan analisis tersebut sama
sekali tidak mau melihat jumlah mereka lebih banyak ketimbang kaum Muslimin, dan rasa
takut yang menghantui mereka padahal mereka adalah orang-orang Arab yang tumbuh,
sebagaimana istilah mereka, dibawah naungan peperangan.
Sulit sekali bagi orang yang bersikap objektif untuk menghindari satu aksioma yang
menegaskan bahwa munculnya kesiapan untuk menghadapi kematian seperti yang terlihat
pada fenomena anak-anak tersebut (Samurah bin Jundab dan Rafi‘ bin Khudaij) adalah karena
dorongan keimanan yang telah menguasai hatinya dan hasil mahabbah terhadap Rasulullah
saw. Bila iman dan mahabbah ini telah terbentuk maka kesiapan itu pasti akan muncul.
Sebaliknya , bila iman dan mahabbah itu tidak ada atau lemah maka jangan diharap kesiapan
tersebut akan muncul.
5.- Memperhatikan siasat peperangan yang diterapkan Rasulullah saw dalam peperangan ini
(terutama dalam menempatkan posisi pasukan pemanah yang bertugas mengawasi di atas
bukit, betapapun situasi yang terjadi) tampaklah :
Pertama,
Keahlian Rasulullah saw di bidang taktik dan strategi kemiliteran. Beliau adalah guru besar di
bidang strategi dan seni peperangan. Tidak diragukan lagi bahwa Allah swt telah membekali
keahlian yang langka ini kepada beliau. Tetapi perlu diingatkan bahwa kejeniusan dan
keahlian ini hanya berfungsi sebagai faktor pendukung Kenabidan dan Kerasulan yang
dibawanya. Kedudukan beliau sebagai seorang Nabi dan pembawa Risalah-lah yang menunut
agar beliau menjadi seorang yang jenius dan ahli di bidang kemiliteran, sebagaimana beliau
dituntut untuk menjadi seorang yang ma‘shum dari segala bentuk penyimpangan. Hal ini telah
dijelaskan pada bagian pertama dari buku ini, sehingga tidak perlu diulas kembali.
Kedua,
Bahwa pesan-pesan yang disampaikan Rasulullah saw kepada para sahabatnya yang sangat
erat dengan apa yang akan terjadi setelah itu, yaitu pelanggaran sebagian pasukan pemanah
terhadap perintah-perintah Nabi saw. Seolah-olah Nabi saw telah mengetahui apa yang akan
terjadi melalui firasat Kenabian atau Wahyu dari Allah swt, sehingga beliau perlu mewantiwanti
mereka dengan wasiat-wasiat dan berbagai perintah. Dengan demikian seolah-olah
beliau sedang melakukan suatu manuver yang hidup bersama para sahabatnya untuk melawan
musuh mereka yaitu hawa nafsu dengan segala ketamakannya kepad harta dan rampasan.
Suatu manuver betapapun , sangat bermanfaat. Hasil negatif dari suatu manuver mungkin saja
faedahnya lebih besar daripada hasil yang positif.
6.- Abu Dujanah setelah mengambil pedang dari tangan Rasulullah saw langsung berjalan
mengelilingi barisan kaum Muslimin dengan cara yang amat pongah, tetapi tindakan ini tidak
diingkari oleh Rasulullah saw. Beliau hanya berkomentar :
„Ini adalah gaya berjalan yang dimurkai Allah swt, kecuali di tempat seperti ini
(peperangan):“
Hal ini menunjukkan bahwa setiap bentuk kesombongan yang diharamkan dalam
situasi biasa, terhapus keharamannya dalam situasi perang. Di antara bentuk kesombongan
yang diharamkan kepada setiap Muslim ialah berjalan dengan cara sombong, tetapi hal
tersebut menjadi kebaikan di medan peperangan. Di antara bentuk kesombongan yang
diharamkan ialah menghias rumah atau bejana dengan emas dan perak. Tetapi menghiasi alat38
alat perang dan senjatanya dengan emas dan perak tidak dilarang. Kesombongan yang
ditampakkan di sini (dalam situasi perang) pada hakekatnya hanyalah merupakan ungkapan
kewibawaan Islam di hadapan musuh-musuhnya , di samping merupakan perang urat saraf
yang tidak boleh dilupakan fungsinya oleh kaum Muslimin.
7.- Jika kita perhatikan masa berlangsungnya peperangan antara kaum Muslimin dengan
musuh mereka di Uhud ini maka kita mendapat dua titik perhatian :
Pertama,
Di saat kaum Muslimin menjaga tempat-tempat mereka dan memelihara perintah-perintah
yang mereka terima dari penglima mereka (Nabi saw). Apa hasil dari komitmen ini ?
Kemenangan begitu cepat diraih kaum Muslimin sehingga tidak lama berhasil mengbrakabrik
barisan lawan. Rasa takut begitu cepat merayap ke dalam hati kaum Kafir yang
berjumlah tiga ribu itu sehingga mereka meninggalkan medan perang. Bagian inilah yang
dikomentari oleh ayat al-Quran :
„Dan sesungguhnya Allah swt, telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu
membunuh mereka dengan ijin-Nya.“ QS Ali-Imran : 152
Kedua,
Di saat kaum Muslimin mengejar kaum Musyrikin untuk menumpas setiap orang yang
berhasil ditangkap dan mengambil barang-barang rampasan. Pada saat itulah para pasukan
pemanah melihat dari atas gunung saudara-saudara mereka menebaskan pedang kepada
musuh-musuh mereka yang lari meninggalkan medna pertempuran, dan kembali dengan
membawa harta dan barang rampasan. Lalu timbullah keinginan mereka untuk ikut
mengumpulkan barang rampasan. Keingina inilah yang mengusik pikiran mereka sehingga
timbullah anggapan bahwa masa berlakunya perintah-perintah yang diterima dari Rasulullah
saw itu telah berakhir, dan mereka merasa sudah tidak terikat lagi dengan pesan-pesan itu
serta tidak perlu lagi menunggu ijin dari Rasulullah saw untuk meninggalkan tempat mereka.
Kendatipun ijtihad mereka ini ditentang oleh sebagian temannya terutama Amir (komandan
regu) mereka, Abdullah bin Jubair, tetapi mereka tetap turun dan ikut mengambil barang
rampasan. Apakah akibat dari tindakkan ini?
Rasa takut sebelumnya menyelimuti hati kaum Musyrikin kini berubah menjadi suatu
keberanian baru! Khalid bin Walid yang tadinya lari menyurut pun kini mulai melihat peluang
dan pintu untuk melancarkan serangan. Ia mengamati tempat-tempat di sekitarnya. Akhirnya
ia mengetahui bahwa gunung yang semula dijaga dengan ketat kini telah ditinggalkan oleh
pasukan pemanah. Lalu muncullah ide-ide kemiliteran di dalam benaknya. Dan bersama
dengan pasukan Musyrikin Khalid bin Walid pun dengan cepat menyerbu ke atas gunung dan
berhasil membunuh beberapa orang pasukan pemanah yang tidak ikut turun, lalu mereka
dengan mudah menguasai medan dan melancarkan serangan balik menghujani panah kaum
Muslimin dari belakang. Kali ini giliran kaum Muslimin yang dicekam rasa takut seperti yang
telah kita ketahui. Bagian inilah yang dikomentari oleh Allah swt melalui firman-Nya :
„…sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu serta mendurhakai perintah
(Rasulullah saw) sesudah Allah swt memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di
antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan apa pula yang menghendaki akherat.
Kemudian Allah swt memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu ….“ QS Ali-Imran
: 152
Perhatikanlah ! Betapa berat resiko yang harus dihadapi akibat kesalahan besar
tersebut ? Betapa resikoitu menimpa semua personel kaum Muslimin !
Kesalahan yang dilakukan oleh beberapa orang di dalam pasukan kaum Muslimin
telah menimbulkan bencana tragis yang menimpa semua orang. Bahkan Rasulullah saw pun
tidak luput dari akibatnya. Itulah Sunnatullah yang berlaku di alam semesta ini. Keberadaan
Rasulullah saw di tengah-tengah pasukan itu pun tidak dapat menangkal keberlangsungan
Sunnatullah itu.
Sekarang bandingkanlah. Lebih besar mana antara kesalahan yang dilakukan oleh
beberapa orang (pasukan pemanah) tersebut dengan sekian kesalahan yang dilakukan oleh
kaum Muslimin pada hari ini, dalam berbagai aspek kehidupan kita, baik yang umum ataupun
yang khusus ? Renungkanlah semua ini, agar anda dapat menggambarkan betapa kasih sayang
Allah kepada kaum Muslimin , karena tidak menghancurkan mereka sekalipun mereka
melakukan berbagai kesalahan dan mengabaikan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar dan
bersatu dalam satu Kalimat.
Dengan demikian, jelaslah bagi anda mengapa bangsa-bangsa Islam tidak berdaya
menghadapi negara-negara tiran yang tidak percaya kepada Allah swt.
8.- Dalam peperangan ini Nabi saw mengalami cedera dan luka parah. Terperosok ke dalam
lubang , bocor kepalanya, patah gigi, dan darahnya mengalir deras di wajahnya. Semua ini
merupakan salah satu akibat dari kesalahan tersebut. Kesalahan beberapa orang prajurit
karena melanggar perintah pimpinan. Tetapi apakah hikmah disebarluaskannya desas-desus
tentang kematina Rasulullah saw, di barisan kaum Muslimin ?
Jawabannya,
Sesungguhnya keterikatan kaum Muslimin dengan Rasulullah saw dan keberadaannya di
antara mereka sedemikain kuat, sehingga mereka tidak dapat membayangkan perpisahan
dengan Rasulullah saw. Kematian Rasulullah saw adalah sesuatu yang tidak pernah terlintas
dalam benak mereka. Seolah-olah mereka membuang jauh-jauh kenyataan ini dari pikiran
mereka. Tidak diragukan lagi seandainya berita kematian Rasulullah saw itu benar, niscaya
berita itu akan meremuk-redamkan hati mereka dan mengguncangkan keimanan mereka,
bahkan akan menimbulkan keguncangan jiwa yang demikian dasyat pada sebagian besar di
antara mereka.
Hikmah dari isu kematian Rasulullah saw, bahwa ia menjadi salah satu pengalaman
dan pelajaran kemiliteran yang sangat penting agar kaum Muslimin menyadari akan suatu
hakekat yang harus dihadapinya, sehingga mereka tidak kembali murtad apabila Rasulullah
saw harus meninggalkan mereka.
Demi untuk menjelaskan pelajaran penting ini maka diturunkanlah ayat al-Quran
sebagai komentar terhadap kelemahan dann keterkejutan yang menimpa kaum Musyrikin
ketika mendengar berita kematian Rasulullah saw. Firman Allah :
„Muhammad ini tidak lain hanyalah seorang Rasul. Sungguh sebelumnya telah berlalu
beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau gugur dibunuh kamu berbalik kembali
(murtad) ? Siapa saja yang murtad maka dia sama sekali tidak dapat mendatangkan mudharat
kepada Allah sedikitpun, dan Allah kelak memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur. QS Ali-Imran : 144
Hasil positif dari pelajaran ini tampak dengan jelas ketika Rasulullah saw benar-benar
meninggalkan mereka (wafat). Peristiwa (issu) Uhud inilah, dengan segenap ayat al-Quran
yang diturunkan menyusul issu tersebut, yang memperingatkan dan menyadarkan kaum
Muslimin kepada kenyataan ini, Sehingga mereka dengan berat hati dan rasa sedih telah siap
menerima kematian Rasulullah saw , dan memikul beban amanah yang ditinggalkannya :
Dakwah dann Jihad di jalan Allah swt. Mereka bangkit memikul amanah dengan keimanan
yang kokoh dann ketakwaan yang mantap kepada Allah swt.
9.- Mari kita renungkan kematian yang telah merengut nyawa para sahabat Rasulullah saw
demi membela dan menyelamatkan Rasulullah saw dari berondongan anak panah dan
lemparan batu. Satu demi satu, mereka berguguran di bawah hujan panah. Mereka berjuang
dengan semangat tinggi demi menjaga nyawa Rasulullah saw , tanpa menghiraukan resiko
yang ada … Dari manakah sumber pengorbanan yang menakjubkan ini ?
Kesemuanya ini tidak lain hanyalah bersumber dari :
Pertama,
Keimanan kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Kedua,
Kecintaan kepada Rasulullah saw keduanya itu merupakan sumber dan sebab munculnya
perngorbanan yang menakjubkan tersebut. Setiap Muslim sangat memerlukan kedua hal ini.
Tidaklah cukup seseorang mendakwakan diri beriman kepada masalah-masalah aqidah yang
harus diimani, sebelum hatinya jaga dipenuhi oleh cinta kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Oleh sebab itu Rasulullah saw bersabda :
„Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya daripada
hartanya, anaknya, dan semua manusia.“ (HR Muttafa‘alaihi)
Ini karena Allah swt telah memberikan perangkat akal dan hati pada diri manusia.
Dengan akal , manusia dapat berpikir kemudian mengimani hal-hal yang wajib diimani.
Sedangkan dengan hati, manusia dapat mempergunakannya untuk mencintai hal-hal yang
dicintai Allah swt dan dan memenci hal-hal yang dibenci Allah swt, Rasul-Nya dan hambahamba-
Nya yang shalih, niscaya akan dipenuhi oleh cinta hawa nafsu dan hal-hal yang
diharamkan. Jika hati telah dipenuhi oleh cinta hawa nafsu dan kemungkaran maka janganlah
diharap bahwa keyakinan seseorang (yang tidak disertai oleh rasa cinta itu) akan dapat
menumbuhkan pengorbanan.
Seringkali dibicarakan tentang keinginan untuk menegakkan keutamaan (kebahagiaan)
berdasarkan akal semata-mata. Tetapi kokohnya landasan ini ? Inikah landasan yang baik ?
Sesungguhnya keutamaan, sebagaimana mereka katakan adalah sistem. Tetapi apakah
keyakinan terhadap sistem ini dapat mengatasi kebahagiaan saya yang bersifat khusus ?
Sebenarnya prinsip yang dikhayalkan itu tidak lain hanyalah sekedar permainan kata. Tidak
dalam kejahatanpun merupakan kecintaan kepada sistem dalam bentuk yang berlainan.
Oleh sebab itu pemerintah Amerika tidak dapat berpegang pada yang yang diyakini
sebagai sesuatu yang berfaedah pada saat mengumumkan pengharaman khaar dan pelarangan
penjualan di masyarakat pada tahun 1933. Karena, tidak lama setelah pelarangan tersebut para
pembuat keputusan itu sendiri yang memelopori pelanggaran undang-undang tersebut.
Mereka tidak seorang terhadap keputusan yang dibuatnya sendiri. Akhirnya mereka
menghapuskan kembali undang-undang itu dan kembali meneguk khamar dengan leluasa.
Sementara itu para sahabat Rasulullah saaw yang pada waktu itu secara peradaban
pengetahuan tentang berbagai bahaya dan faedah jauh di bawah orang-orang Amerika kini
begitu mendengar perintah Allah agar menjauhi khamar, seketika mereka langsung
menghancurkan botol-botol, guci-guci dan kantung-kantung penyimpangan khamar mereka
seraya berteriak :
„Kami berhenti ya Allah, kami berhenti!“
Perbedaan antara dua gambaran dan realitas ini sangat jelas. Pada masyarakat Muslim
ada sesuatu yang bersemayam di hatinya yang mengendalikan hawa nafsunya untuk
mengikuti perintah dan hukum Allah.
Kecintaan yang terdapat di dalam hati para sahabat Rasulullah saw inilah yang
membuat mereka bersedia menyerahkan nyawa mereka demi melindungi Rasulullah saw.
Dalam perang Uhud ini kita dapat menyaksikan berbagai pengorbanan yang menakjubkan
yang mengungkapkan pengaruh cinta ini di hati para sahabat.
Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda kepada para sahabatnya :
„Siapa di antara kalian yang bersedia mencari berita untukku tentang keadaan Sa‘ad bin Rabi
? Masihkah ia hidup atau sudah matikah ? Salah seorang Anshar menyatakan kesediaannya,
kemudian pergi mencari Sa‘ad bin Rabi. Akhirnya Sa‘ad ditemukan dalam keadaan luka
parah, sedang menanti datangnya ajal. Kepadanya orang Anshar itu memberitahu :“Aku
disuruh Rasulullah saw untuk mencari engkau, apakah engkau masih hidup atau telah mati…“
Sa‘ad menjawab :“ Beritahukan kepada beliau, bahwa aku sudah mati, dan sampaikanlah
salamku kepada beliau. Katakan kepada beliau, bahwa Sa‘ad bin Rabi menyampaikan ucapan
kepada anda (yakni Rasulullah saw ) : Semoga Allah swt melimpahkan kebajikan sebesarbesarnya
atas kepemimpinan anda sebagai seorang Nabi yang telah diberikan kepada
ummatnya ! Sampaikan juga salamku kepada pasukan Muslimin , dan beritahukan bahwa
Sa‘ad bin Rabi berkata kepada kalian :
„Allah tidak akan memaafkan kalian jika kalian meninggalkan Nabi saw, sedangkan masih
ada orang-orang hidup di antara kalian.“
Orang Anshar itu melanjutkan ceritanya :“Belum sampai kutinggalkan, Sa‘ad pun
wafat. Aku lalu segera menghadap Nabi saw dan kusampaikan kepada beliau pesan-pesannya.
Jika cinta seperti ini telah menyelinap dan bertahta di dalam hati setiap diri kaum
Muslimin pada hari ini, sehingga menjauhkan mereka dari syahwat dan egoisme mereka,
dapatlah saya katakan :“ Saat itulah kaum Muslimin akan tampil sebagai generasi baru dan
mampu merebut kemenangan merka dari benteng-benteng kematian, serta mengalahkan
musuh-musuh mereka betapapun rintangan yang harus dihadapinya.“
Jika anda bertanya tentang media untuk mencapai cinta ini, ketahuilah bahwa ia harus
dicapai melalui banyak melakukan dzikir dan shalawat kepada Rasulullah saw banyak
merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah swt dan nikmat-nikmat-Nya yang dilimpahkan
kepada kita, menghayati sirah Rasulullah saw dan akhlak-akhlaknya yang kesemuanya itu
dilakukan setelah kemantapan (istiqmah) dan ibadah secara khusyu‘ dan berkomunikasi
dengan Allah swt di setiap saat.
10.- Seperti disebutkan dalam riwayat Bukhari bahwa Nabi saw memerintahkan penguburan
mayat-mayar para Syuhada berikut bercak-bercak darah yang merekat pada mereka dan tanpa
menshalatkannya. Setiap satu kubur diisikan dua orang Syuhada.
Peristiwa ini dijadikan dalil oleh para ulama bahwa orang yang syahid dalam
pertempuran jihad tidak perlu dimandikan dan dishalatkan. Ia harus dikuburkan sebagaimana
adanya.
Imam Syafi‘I berkata :“Secara mutawatir hadits-hadits menyebutkan bahwa Nabi saw
tidak menshalatkan mereka (syuhadah). Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi saw
menshalatinya (Hamzah) sebanyak tujuh puluh kali , adalah riwayat lemah dan keliru.“
Para Ulama juga berpendapat , berdasarkan peristiwa ini, bahwa apabila keadaan
dharurat maka dibolehkan penguburan lebih dari satu orang dalam satu kubur. Jika tidak
dharurat tidak dibolehkan.
11.- Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan Rasulullah saw bersama para sahabatnya
setelah sehari tiba di Madinah (mengejar kembali musuh Musyrikin di Hamra‘ul Asad),
tampaklah kepada kita suatu pelajaran pertempuran Uhud secara jelas dan sempurna, di
samping tampak pula bagi kita masing-masing dari kedua hasilnya baik yang positif ataupun
yang negatif. Secara jelas dan pasti, terlihat bahwa kemenangan ini hanya bisa dicapai dengan
kesabaran, ketaatan kepada perintah-perintah pimpinan yang baik, dan tujuan yang murni
semata-mata demi agama.
Seperti telah kita ketahui, bahwa begitu Nabi saw mengumumkan agar pengejaran
musuh dilakukan , para sahabat yang kemarin ikut berperang serta merta berkumpul dan
melaksanakan tugas tanpa menghiraukan luka yang dideritanya bahkan belum ada yang
sempat beristirahat di rumahnya. Mereka segera berangkat mengikuti Rasulullah saw
mengejar kaum Musyrikin yang sedang dimabuk kemenangan. Pada kali ini tidak seorang pun
di antara kaum Muslimin yang memiliki ambisi untuk merebut ghanimah atau kepentingan
duniawi. Mereka hanya ingin mencapai kemenangan atau syahid di jalan Allah, walaupun
dengan berbalut luka yang masih mengucurkan darah.
Tetapi bagaimanakah hasilnya ?
Kemenangan yang baru saja dirayakan oleh kaum Musyrikin ini tidak mampu mereka
pertahankan atau lanjutkan, sebagaimana halnya luka parah yang diderita oleh kaum
Muslimin itu tidak menghalangi sama sekali untuk merebut kembali kemenangan.
Bagaimana jalan ke arah ini ? Jalannya ialah mukjizat Ilahi untuk menyempurnakan
pelajaran dan pembinaan kepada kaum Muslimin. Secara tiba-tiba hati kaum Musyrikin
merasa gentar karena membayangkan apa yang diceritakan oleh seorang kawan mereka
tentang kaum Msulimin, bahwa Muhammad dan para sahabatnya kali ini datang membawa
kematian untuk disebarkan di antara mereka, sehingga mereka pun lari tunggang langgang
kembali ke Mekkah dengan hati kecut.
Bagaimana rasa takut kepada kaum Muslimin ini dapat masuk ke dalam hati mereka ,
padahal mereka baru saja memukul mundur kaum Muslimin ? Hal ini terjadi semata-mata
karena kehendak Ilahi yang telah menjadikan peristiwa ini secara keseluruhan sebagai
pelajaran penting bagi kaum Muslimin, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Sebagai penutup dan kelengkapan pelajaran Uhud, turunlah firman Allah :
„Orang-orang yang mentaati perintah Allah swt, dan Rasul-Nya setelah mereka mendapat
luka (dalam pertempuran Uhud) bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka
dan orang yang bertakwa ada pahala yang besar. (Yaitu) orang-orang yang kepada mereka ada
orang-orang yang mengatakan :“Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.“ Namun, justru perkataan itu
menambah keimanan mereka. Dan mereka menjawab :“ Cukuplah Allah swt menjadi
Penolong kami dan Allah swt adalah sebaik-baik Pelindung.“ Maka mereka kembali dengan
nikmat dan karunia yang besar dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa , mereka
mengikuti keridhahan Allah swt. Dan Allah swt mempunyai karunia yang besar.“
QS Ali-Imran : 172-174
Banu Qainuqa‘ Pengkhianatan Pertama Kaum Yahudi terhadap Kaum Muslimin
 
Ibnu Ishaq berkata : Pada suatu kesempatan Rasulullah saw mengumpulkan Banu
Qunaiqa‘ di pasar Qunaiqa‘ kemudian bersabda :“Wahai kaum Yahudi, takutlah kalian
kepada murka Allah yang pernah ditimpahkan-Nya kepada kaum Quraisy.Masuklah kalian ke
dalam Islam karena sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa aku adalah Nabi yang
diutus (Allah), sebagaimana kalian dapati di dalam Kitab kalian dan Janji Allah kepada
kalian!“ Jawab mereka :“Wahai Muhammad, apakah kamu mengira kami ini seperti
kaummu? Janganlah kamu membanggakan kemenangan terhadap suatu kaum yang tidak
mengerti ilmu peperangan. Demi Allah, seandainya kami yang kamu dapati dalam peperangan
, niscaya kamu akan mengetahui siapa sebenarnya kami ini!“.
Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Abdullah bin Ja‘far bin al-Musawwir bin Makhramah
dari Abu ‚Uwaha bahwa, seorang wanita Arab datang membawa perhiasannya ke tempat
perdagangan Yahudi Bani Qainuqa‘. Ia mendatangi seorang tukang sepuh untuk
menyepuhkan perhiasannya. Ia kemudian duduk menunggu sampai tukang sepuh Yahudi itu
menyelesaikan pekerjaannya. Tiba-tiba datanglah beberapa orang Yahudi berkerumun
mengelilinginya dan minta kepada wanita Arab itu, secara diam-diam si tukang sepuh itu
menyangkutkan ujung pakaiannya yang menutup seluruh tubuhnya pada bagian
punggungnya.
Ketika wanita itu berdiri terbukalah aurat bagian belakangnya. Orang-orang Yahudi
yang melihatnya tertawa gelak-bahak. Wanita itu menjerit minta pertolongan. Mendengar
teriakan itu, salah seorang dari kaum Muslimin yang berada di perniagaan itu secara kilat
menyerang tukang sepuh Yahudi dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi yang berada di
tempat itu kemudian mengeroyoknya hingga orang Muslim itu pun mati terbunuh. Tindakan
orang-orang Yahudi yang membunuh orang Muslim itu menyebabkan kemarahan kaum
Muslimin, sehingga terjadilah peperangan antara kaum Muslimin dengan orang-orang Yahudi
Banu Qunaiqa‘. Dengan demikian, mereka adalah kaum Yahudi pertama kali melanggar
perjanjian yang diadakan di antara mereka dengan Nabi saw.
Insiden ini menurut riwayat ath-Thabary dan al-Waqidy, terjadi pada pertengahan
bulan Syawawal tahun kedua Hijra.
Kemudian Rasulullah saw mengepung mereka selama beberapa hari hingga mereka
menyerah dan menerima hukuman yang akan diputuskan oleh Rasulullah saw. Setelah mereka
berada di bawah kekuasaan beliau, datanglah Abdullah bin Ubay lalu berkata :
„Hai Muhammad, perlakukanlah para sahabatku itu dengan baik.“
Permintaan Abdullah bin Ubay itu tidak diindahkan oleh Rasulullah saw. Abdullah bin
Ubay mengulangi lagi permintaannya, tetapi beliau saw berpaling muka sambil memasukkan tangannya ke dalam baju besinya. Wajah beliau tampak marah, hingga raut wajahnya tampak
merah padam. Beliau mengulangi kembali ucapannya sambil memperlihatkan kemarahannya :
„Celaka engkau , tinggalkan aku!“. Abdullah bin Ubay menyahut :“Tidak, demi Allah, aku
tidak akan melepaskan anda sebelum anda mau memperlakukan para sahabatku itu dengan
baik. Empat ratus orang tnapa perisai dan tiga ratus orang bersenjata lengkap telah
membelaku terhadap semua musuhku itu, apakah hendak anda habisi nyawanya dalam waktu
sehari ? Demi Allah, aku betul-betul mengkhawatirkan terjadinya bencana itu !“. Rasulullah
saw akhirnya berkata :“Mereka itu kuserahkan padamu dengan syarat mereka harus keluar
meninggalkan Madinah dan tidak boleh hidup berdekatan dengan kota ini.“
Orang-orang Yahudi Banu Qainuqa‘ itu kemudian pergi meninggalkan Madinah
menuju sebuah pedusunan bernama ‚Adzara‘at di daerah Syam. Belum berapa lama tinggla di
sana, sebagian besar dari mereka mati ditimpa bencana.
Sebagai seorang Muslim yang memiliki hubungna „persekutuan“ dengan orang-orang
Yahudi Banu Qainuqa‘, sebagaimana Abdullah bin Ubay , maka ‚Ubadah bin Shamit pun
datang menemui Rasulullah saw , lalu berkata :“Sesungguhnya aku memberikan loyalitas
kepada Allah swt, Rasul-Nya dan kaum Mukminin, dan aku melepaskan diriku dari ikatan
persekutuan dengan orang-orang kafir tersebut.“
Sehubungna dengan kedua orang (Abdullah bin Ubay dan ‚Ubadah bin Shamit) inilah
Allah menurunkan firman-Nya :
„Hai orang-ornag yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang
lain. Siapa saja di antara kamu mengambil mereka menjadi pimpinan, sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang dzalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orangorang
munafiq) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani) seraya berkata :“ Kami
takut akan mendapat bencana“. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan
(kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Oleh sebab itu, mereka menjadi
menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.“ QS Al-Maidah (5) : 51-
52
Beberapa Ibrah.
Peristiwa ini secara keseluruhan menunjukkan watak pengkhianatan orang-orang
Yahudi. Mereka tidak pernah putus sebelum dapat mengkhianati orang-orang yang
bertetangga atau bergaul dengan mereka. Dengan menghalalkan segala cara mereka siap
melaksanakan pengkhianatan.
Dengan peristiwa ini terdapat beberapa pelajaran dan prinsip di antaranya :
1. Hijab (Cadar) Wanita Muslimah.
Seperti kita ketahui bahwa biang keladi peristiwa (pengusiran Yahudi Banu Qainuqa‘)
ini berawal justru gara-gara ulah mereka sendiri, yaitu membuat onar dengan cara berusaha
memaksa untuk membuka tutup muka wanita Muslimah ketika wanita tersebut datang ke
pasar mereka untuk menyepuhkan perhiasannya.
Sumber terjadinya peristiwa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam ini tidak
bertentangan dengan riwayat lain yang menyebutkan bahwa sebab timbulnya peristiwa ini
ialah kedengkian orang-orang Yahudi terhadap kemenangan kaum Muslimin di perang Badr
sehingga mereka berkata kepada Rasulullah saw :
„Demi Allah, seandainya kami yang kamu hadapi dalam peperangan, niscaya kamu akan
mengetahui siapa sebenarnya kami ini ?“
Berkemungkinan dua sebab tersebut memang terjadi kedua-duanya bahkan yang satu
saling menyempurnakan yang lainnya. Karena tidak mungkin Rasulullah saw melakukan
pembatalan perjanjian dengan mereka hanya karena munculnya tanda-tanda pengkhianatan
dalam perkataan mereka. Di samping itu, pasti mereka telah melakukan tindakkan-tindakkan
pengkhiantan kepada kaum Muslimin sebagaimana dinyatakan oleh riwayat Ibnu Hisyam
tersebut.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa hijab yang disyariatkan oleh Islam kepada wanita
ialah dengan menutup muka. Seandainya tidak demikian, niscaya wanita tersebut tidak perlu
ke luar rumah dengan menutup mukanya. Seandainya menutup muka bagi kaum Muslimah
bukan menjadi hukum agama yang diperintahkan Islam, niscaya orang-orang Yahudi itu tidak
akan memaksa wanita Arab tersebut untuk membuka tutup mukanya. Sebab dengan tindakan
ini mereka hanya bermaksud menodai perasaan keagamannya yang secara jelas-jelas nampak
dalam pakaiannya.
Mungkin ada orang membantah bahwa peristiwa yang hanya diriwayatkan oleh Ibnu
Hisyam ini terdapat sedikit kelemahan dalam periwayatannya, sehingga tidak kuat untuk
menetapkan hukum seperti ini. Tetapi riwayat ini ternyata juga dikuatkan oleh sejumlah
Hadits Shahih, di antaranya :
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah ra, dalam Bab Pakaian Bagi Orang
Yang Ihram, ia berkata :
„Janganlah ia (wanita yang sedang berikhram) menutup muka dengan cadar dan memakai
pakaian yang dicelup dengan waras (wewangian) atau za‘faran“.
Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Malik di dalam al-Mawaththa dari Nafi‘
bahwa Abdullah bin Umar pernah berkata :
„Tidak boleh wanita yang sedang ihram memakai cadar muka, begitu pula memakai sarung
tangan.“
Apa arti larangan memakai cadar (tutup muka) bagi wanita yang sedang melakukan
ihram di waktu melaksanakan haji ? Mengapa larangan ini khusus bagi wanita saja, tidak
termasuk lelaki? Tidak diragukan lagi bahwa larangan atau pengecualian ini menunjukkan
bahwa menutup muka (memakai cadar) merupakan sesuatu yang biasa dilakukan oleh wanita
Muslimah di luar pelaksanaan haji.
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya dari Fatimah binti Qais bahwa
setelah dia diceraikan oleh suaminya, Rasulullah saw memerintahkannya supaya dia (Fatimah
binti Qais) menunggu masa iddah di rumah Ummu Syarik, kemudian Rasulullah saw
memberitahukan kepadanya bahwa rumah Ummu Syarik banyak dihuni oleh para sahabatnya
(sahabat Nabi saw). Akhirnya Rasulullah saw memerintahkan Fatimah binti Qais agar
menunggu masa iddah-nya di rumah anak paman Fatimah binti Qais yaitu Ibnu Ummi
Maktum, karena dia (Ibnu Ummi Maktum) seorang buta yang tidak akan melihat manakala ia
melepas kerudungnya.
Itulah dalil-dalil yang mewajibkan wanita Muslimah agar menutup muka dan seluruh
anggota tubuhnya dari lelaki asing.
Adapun dalil-dalil yang melarang lelaki melihat wanita termasuk wajahnya , dapat
kami sebutkan di antanya :
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi dari Barirah ra, ia berkata
:Rasulullah saw bersabda kepada Ali :
„Wahai Ali, janganlah kamu melihat (wanita) pandang demi pandang, karena kamu hanya
punya hak pada pandangan yang pertama tetapi tidak pada pandangan keuda (dan
seterusnya).“
Dalam riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas ra. Disebutkan bahwa Fadlal bin Abbas
pernah mengikuti di belakang Rasulullah saw pada hari penyembelihan qurban. Pada
kesempatan ini Nabi saw ditanya oleh seorang wanita dari suku Khats‘amiah yang terkenal
ceriwis. Ketika itu Fadlal memandang agak lama kepada wanita tersebut, lalu Rasulullah saw
memegang dagu Fadlal dan memutarnya kebelakang.
Di dalam kandungan Hadits-hadits di atas terdapat dua larangan. Larangan bagi wanita
untuk membuka wajahnya atau salah satu bagian dari anggota tubuhnya di hadapan lelaki
asing, dan larangan bagi kaum lelaki untuk melihatnya. Kiranya Hadits-hadits yang telah
kami sebutkan di atas cukup sebagai dalil bahwa , wajah wanita adalah aurat di hadapan lelaki
asing dalam kondisi-kondisi tertentu seperti, dharurat berobat, belajar , kesaksian dan lain
sejenisnya.
Tetapi di antara Imam Madzhab ada yang berpendapat bahwa wajah dan kedua telapak
tangan wanita bukan aurat yang wajib ditutup. Mereka menafsirkan Hadits-hadits mengenai
masalah ini sebagai perintah yang bernilai anjuran (nadb), bukan wajib. Kendatipun demikian,
semua fuqaha telah menyepakati bahwa seorang lelaki (asing, bukan muhrim) tidak boleh
melihat salah satu anggota tubuh wanita dengan syahwat, dan wajib atas wanita menutup
mukanya manakala kefasikkan telah menyebar luas sedemikian rupa di tengah-tengah
masyarakat, karena semua orang yang memandangnya adalah orang-orang fasik dan bermata
jalang.
Jika anda perhatikan kondisi kaum Muslimin sekarang dengan segala kefasikkan dan
kemungkaran, akibat lemahnya pembinaan dan akhlak, niscaya anda akan menyadari bahwa
tidak ada alasan untuk membolehkan wanita membuka wajahnya dalam kondisi seperti itu.
Sesungguhnya jurang berbahaya yang sedang dilalui masyarakat Islam dewasa ini menuntut
hati-hati dan pengetatan-pengetatan sampai kaum Muslimin mampu melewati tahapan
berbahaya tersebut dan mampu pula menguasai serta mendendalikan masalah yang
dihadapinya.
Atau dengan ungkapan lain, sesungguhnya orang yang selalu mengambil rukshah
(keonggaran) dan kemudahan-kemudahan agama, lambat laun akan menghanyutkan diri yang
bersangkutan kepada tindakkan melepaskan diri dari kewajiban secara keseluruhan selagi tida
ada arus sosial Islam yang mengendalikan keringan-keringanan tersebut dalam suatu Manhaj
Islami yang bersifat umum dan memeliharanya dari segala bentuk pelampauan batas yang
disyariatkan.
Tetapi anehnya ada sebagian orang yang berpegang teguh kepada apa yang mereka
namakan perubahan hukum mengikuti perubahan jaman, dalam masalah keringan, kemudahan
dan usaha-usaha melepaskan diri dari kewajiban saja, namun mereka tidak menyebutkan
kaidah tersebut sama sekali ketika situasi menuntut kebalikan daripadanya, sampai sekarang
saya belum mendapatkan satu contoh yang lebih tepat untuk menerapkan kaidah perubahan
hukum mengikuti perubahan jaman selain dari keharusan menetapkan kewajiban menutup
wajah bagi wanita, mengingat tuntutan-tuntutan jaman pada masa kita hidup sekararang ini di
samping mengingat banyaknya ranjau-ranjau yang menuntut kita agar lebih banyak berhatihati
dan berwaspada dalam meniti dan melangkahkan kaki, sambil menunggu datangnya
pertolongan Allah dalam mewujudkan masyarakat Islam yang kita cita-citakan.
2.- Insiden yang timbul karena Yahudi banu Qainuqa‘ ini menunjukkan kedengkian yang
terpendam selama ini di dalam hati mereka terhadap kaum Muslimin. Tetapi mengapa buktibukti
kedengkian itu baru muncul dan terbongkar setelah sekitar tiga tahun mereka
memendam kedengkian tersebut ?
Jawabannya, karena sesuatu yang menyulut kedengkian yang telah lama membara di
dalam dada mereka itu ialah peristiwa kemenangan kaum Muslimin pada perang Badr. Suatu
kemenangan yang tidak pernah mereka bayangkan sama sekali. Hati mereka terbakar oleh
kedengkian dan kebencian. Sementara itu mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk
menumpahkannya, sehingga akhirnya mereka melakukan tindakkan-tindakkan tersebut.
Kedengkian mereka terhadap kaum Muslimin itu tampak jelas dengan sungutan dan cibiran
mereka terhadap kemenangan kaum Muslimun pada perang Badr, sebagaimana dapat kita
bada dalam beberapa riwayat.
Ibnu Jurair meriwayatkan bahwa Malik bin Shaif salah seorang Yahudi berkata kepada
sebagian kaum Muslimin ketika mereka kembali dari perang Badr :
„Janganlah kalian tertipu oleh kemenangan terhadap kaum Quraisy yang tidak mengerti ilmu
peperangan! Seandainya kalian menghadapi kami, niscaya kalian tidak akan berdaya …:“
Seandainya orang-orang itu menghormati „perjanjian“ yang telah mereka sepekati
dengan kaum Muslimin dipastikan tidak akan ada seorang pun dari kaum Muslimin yang
mengusik dan menyakiti mereka. Tetapi mereka tidak menghendaki selain kejahatan,
sehingga kejahatan itu sendiri kembali kepada diri mereka.
3.- Perlakuan Islam kepada Orang Munafik.
Peristiwa ini berikut pembelaan Abdullah bin Ubay kepada orang-orang Yahudi dalam
bentuk yang telah kita ketahui dengan jelas membeberkan kemunafikan orang tersebut. Dari
sikapnya itu jelaslah sudah bahwa dia adalah seorang munafik yang menyimpan kedengkian
dan kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin.
Tetapi kendatipun demikian, Rasulullah saw tetap memperlakukannya selaku seorang
Muslim. Beliau tidak menggugat kemunafikkannya. Tidak juga memperlakukannya sebagai
seorang musyrik atau murtad atau yang berdusta dalam menganut Islam. Bahkan Rasulullah
saw meluluskan permintaan dan tuntutannya itu.
Ini menunjukkan sebagaimana disepakati para ulama bahwa orang munafik selama di
dunia harus diperlakukan oleh kaum Muslimin sebagai seorang Muslin. Mereka harus
diperlakukan sebagai orang-orang Muslim sekalipun kemunafikannya telah dapat dipastikan.
Ini karena hukum-hukum Islam secara keseluruhan terdiri dari dua aspek. Aspek yang harus
diterapkan di dunia di mana kaum Muslimin berkewajiban menerapkannya dalam masyarakat
mereka, dengan dipimpin oleh seorang Khalifah atau kepada negara. Dan Aspek lain yang
akan diterapkan kelak di akherat, yang pada saat itu segala urusan dikembalikan kepada Allah
swt semata.
Sejauh menyangkut aspek yang pertama, seluruh persoalannya harus didasarkan
kepada bukti-bukti hukum yang bersifat material dan empirik, karena setiapkeputusan hukum
didasarkan kepadanya. Alasan-alasan yang didasarkan kepada keyakinan dalam hati dan
kesimpulan dari indikasi, tidak boleh digunakan di sini.
Adapun aspek yang kedua, maka sepenuhnya didasarkan kepada keyakinan dalam hati
dan yang akan bertindak mengadili adalah Allah swt. Kaidah ini dijelaskan oleh Rasulullah
saw dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Umar ra :
„Kami sekarang ini memutuskan (perkara) hanya berdasarkan kepada amalan kalian yang
bersifat lahiriah“
Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw
bersabda :
„Sesungguhnya kalian mengadukan perkara kepadaku, yang mungkin saja sebagian orang di
antaranya kalian lebih pandai berhujjah daripada yang lainnya sehingga aku memutuskan
perkaranya berdasarkan apa yang aku dengar. Maka siapa saja yang mendapatkan keputusan
dariku dengan kuberikan sesuatu yang sebenarnya menjadi hak saudaranya, hendakllah ia
tidak mengambilnya karena itu hanyalah segenggam dari api neraka.“
Hikmah ditetapkan kaidah ini, agar keadilan di antara manusia tetap terpelihara dan
tidak menjadi ajang permainan. Sebab, mungkin saja ada sebagian penguasa memutuskan
suatu perkara semata-mata berdasarkan kepada hal-hal yang bersifat dorongan perasaan dan
keyakinan hari, hanya karena ingin bertindak dzalim kepada sebagian orang.
Sebagai pelaksanaan terhadap kaidah syariat inilah maka Rasulullah saw kendatipun
banyak mengetahui ikhwal kaum Munafiqin dan apa yang terpendam di hati mereka melalui
wahyu Allah swt, dalam Hukum-hukum syariat secara umum memperlakukan mereka
(Munafiqin) sebagaimana halnya terhadap kaum Muslimin tanpa membeda-bedakan.
Ini tidak bertentangan dengan kewajiban kaum Muslimin untuk bersikap hati-hati
terhadap kaum Munafiqin dan bertindak arif dalam menghadapi berbagai tindakkan mereka.
Kerena hal ini merupakan kewajiban kaum Muslimin pada setiap waktu dan situasi.
4.- Memberikan Wala‘ (Kepemimpinan) kepada Non-Muslim.
Jika kita perhatikan Hukum Syariat yang dikeluarkan menyusul peristiwa ini, yaitu
ayat-ayat al-Quran yang diturunkan sebagai komentar terhadap kasus tersebut, dapatlah
diketahui bahwa seorang Muslim tidak boleh menjadikan non-Muslim sebagai Wali
(pemimpin atau tempat memberikan loyalitas), atau sebagai teman setia atau sejawat untuk
melakukan kerjasama dan menjalin tanggung jawab kewalian.
Masalah ini termasuk Hukum-hukum Islam yang tidak pernah diperselisihkan oleh
kaum Muslimin sepanjang masa, kerana ayat-ayat al-Quran menyangkut masalah ini banyak
sekali jumlahnya. Bahkan Hadits-hadits Nabawi pun yang menegaskan masalah ini, mencapai
derajat mutawatir ma‘nawi. Di sini tidak perlu kami sebutkan dalil-dalil tersebut, mengingat
sudah banya diketahui oleh masyarakat luas.
Tidak ada pengecualian dalam hukum wala‘ ini melainkan tersebab oleh satu kondisi ,
yaitu apabila kaum Muslimin dalam keadaan terlalu lemah menghadapi berbagai intimidasi
dipaksa sedemikian rupa untuk memberikan wala‘nya. Allah swt telah memberikan
keringanan ini dalam firman Allah swt :
„Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin)
dengan menidak-acuhkan atau meninggalkan orang-orang Mukmin (lainnya). Siapa saja
berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah swt . Terkecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Allah memperingatkan kamu terhahap
diri (siksa)-Nya. Hanya kepada Allah swt kembali(mu).“ QS Ali Imran : 28
Hendaknya diketahui bahwa larangan menjadikan non-Muslim sebagai Wali ini, tidak
berarti sebagai perintah untuk dengki terhadap mereka. Seorang Muslim dilarang berlaku
dengki kepada siapapun. Harus disadari pula bahwa seseorang marah terhadap orang lain
karena Allah swt, itu tidak sama dengan berbuat dengki kepadanya. Sebab tindakkan yang
pertama bersumber dari kemungkaran yang tidak diridhai Allah yang membuat seorang
Muslim marah karenanya, sedangkan tindakkan yang kedua bersumber dari pribadinya, tanpa
memandang tindakkan dan perbuatannya.
Marah karena Allah swt sebenarnya timbul karena rasa kasihan kepada orang yang
berbuat maksiat atau orang kafir yang sepatutnya mendapatkan murka tersebut. Sebab, orang
Mukmin diperintahkan supaya mencintai semua orang sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri. Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh seorang Mukmin selain daripada
membebaskan dirinya dari siksa hari Kiamat, dan meraih kebahagiaan abadi. Oleh sebab itu,
jika ia marah kepada orang-orang yang berbuat maksiat atau orang-orang kafir maka itu hanya
karena ghirahnya kepada mereka dan keprihatinannya melihat mereka terancam oleh
kesengsaraan abadi dan siksa dari Allah swt di akherat. Ini tentu bukan tindakkan dengki yang
dilarang. Tindakkan ini tak ubahnya seperti seorang ayah yang marah kepada anaknya demi
kemaslahatan dan kebahagiana sang anak tersebut.
Tindakkan ini juga tidak bertentangan dengan perintah bertindak „keras“ terhadap
kaum kafir. Karena seringkali tindakkan keras itu merupakan satu-satunya sarana untuk
perbaikan. Seorang penyair pernah berkata :
„Bertindaklah keras supaya mereka sadar,
Siapa yang mengasihi seseorang, hendaklah sekali-sekali bertindak keras kepadanya.“
Hendaknya diketahui pula bahwa larangan memberikan wala‘ kepada kum kafir tidak
berarti memberikan peluang untuk bertindak tidak adil kepada mereka atau tidak
menghormati perjanjian-perjanjian yang sedang berlangsung antara kaum Muslimin dengan
kaum kafir. Keadilan harus selalu ditegakkan. Kebencian dan kemarahan karena Allah sama
sekali tidak boleh menghalangi pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan.
Firman Allah :
„Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk
berbuat tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.“ QS Al-
Maidah:8
Hal ini bertujuan supaya anda menyadari bahaw kaum Muslimin, tidak seperti ummat
yang lain, adalah satu ummat sebagaimana ditegaskan oleh naskah perjanjian yang telah kami
jelaskan terdahulu. Dengan demikian wala‘ dan persaudaraan mereka harus dibatasi hanya
pada lingungan mereka saja. Adapun pergaulan (mu‘amalah) mereka kepada semua orang
maka harus didasarkan kepada prinsip-prinsip keadilan dan keinginan akan kebaikan bagi
semua orang.
 
Copyright 2009 Intelektual-Muslim™