Subscribe:


ShoutMix chat widget
Muhammad saw adalah penutu para Nabi. Tidak ada nabi sesudahnya. Ini telah
disepakati oelh kaum Muslimin dan merupakan salah satu „aksioma“ Islam. Sabda Rasulullah
saw :“Perumpamaan aku dengan Nabi sebelumku adalah seperti seorang lelaki yng membangun
sebuah bangunan, kemudian ia memerintahkan dan mempercantik bangunan tersebut, kecuali
satu tempat batu-bata di salah satu sudutnya. Ketika orang-orang mengitarinya, mereka kagum
dan bertkata :“ Amboi, jika batu-bata ini diletakkan ?“ Akulah batu-bata itu, dan aku adalah
penutup para Nabi.“ (HR bukhari dan Muslim )
Hubungan antara dakwah Nabi Muhammad dan dakwah para Nabi terdahulu berjalan
atas prinsip ta’kid (penegasan) dan tatmin ( penyempurnaan) sebagaimana disebutkan dalam
hadits di atas.
Dakwah para Nabi didasarkan apda dua asas. Pertama aqidah, kedua : Syari’at dan
akhlak. Aqidah mereka sama, dari Nabi Adam as sampai kepada Nabi penutup para Nabi
(Muhammad saw). Esensi aqidah mereka adalah iman kepada Wahdaniyah Allah. Mensucikan-
Nya dari segala perbuatan dan sifat yang tidak layak lagi bagi-Nya. Beriman kepada hari akhir,
hisab, neraka dan surga. Setiap Nabi mengajak kaumnya untuk mengimani semua perkara
tersebut. Masing-masing dari mereka datang sebagai pembenaran atas dakwah sebelumnya.
Sebagai kabar gembira akan bi’tsah Nabi sesudahnya. Demikianlah bi’tsah mereka saling
sambung menyambung kepada berbagai kaum dan umamt. Semuanya membawa satu hakekat
yang diperintahkan untuk menyampaikan kepada manusia, yaitu dainunah Lillahi wahdah (
tunduk patuh kepada Allah semata ). Inilah yang dijelaskan Allah dengan firman-Nya :
„Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-nya kepada
Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu : tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya .“ QS Asy-Syura : 13
Tidak mungkin akan terjadi perbedaan aqidah di antara dakwah-dakwah para Nabi,
karena masalah aqidah termasuk ikhbar (pengabaran). Pengabaran tentang sesuatu tidak
mungkin akan berbeda antara satu pengabar dengan pengebar lainnya. Jika kita yakini
kebenaran khabar yang dibawanya. Tidak mungkin seoran gNabi diutus untuk menyampaikan
kepada manusia bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga ( Maha Suci Allah dari apa yang
mereka katakan). Kemudian diutus nabi lain ynag datang sesudahnya utuk menyampaikan
kepada manusia bahwa Allah Maha satu. Tiada sekutu bagi-Ny.a Padahal masing-masing dari
kedua Nabi tersebut sangat jujur. Tidak akan pernah berkhianat tentang apa yang
dikhabarkannya.
Dalam maslah syari’at yaitu penetapan hukum yang bertujuan mengatur kehidupan
masyarakat dan pribadi, telah terjadi perbedaan menyangkut cara dan julah antara stu Nabi
dengan Nabi lainnya. Karena syari’at termasuk dalam kategori insya’ bukan ikhbar, sehingga
berbeda dengan masalah aqidah. Selain itu perkembangan jaman dan perbedaan ummat dan
kaum akan berpengaruh terhadp perkembangan syari’at dan perbedaannya. Karena prinsip
penetapan hukum didasarkan pada tuntunan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. Di
9
samping bi’tsah setiap Nabi sebelum Rasulullah saw adalah khusus bagi ummat tertentu, bukan
untuk semau manusia. Maka hukum-hukum syari’atnya hanya terbatas pada ummat tertentu,
sesuai dengan kondisi ummat tersebut.
Musa as, misalnya diutus kepada bani Israil. Sesuai dengan kondisi bani Israil pada
waktu itu. Mereka memerluka syari’at yang ketat yang seluruhnya didasarkan atas azas
‘azimah bukan rukhshah. Setelah beberapa kurun waktu , diutuslah nabi Isa as, kepada mereka
dengan membawa syari’at yang agak longgar, bila dibandingkan dengan syari’at yang dibawa
oleh Nabi Musa. Perhatikan firman Allah saw melalui Isa as yang ditunjukkan kepada Bani
Israil :
„ ... Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk
menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu ... „ QS Ali Imran , 3 : 50
Nabi Isa as menjelaskan kepada mereka, bahwa menyangkut masalah-masalah aqidah ,
ia hanya membenarkan apa yang telah tertera di dalam kitab Taura, menegaskan dan
memperbaharui dakwah kepadanya. Tetapi menyangkut masalah syari’at dan hukum halal
haram, maka ia telah ditugaskan untuk mengadakan beberapa perubahan dan penyederhanaan,
dan menghapuskan sebagian hukum yang pernah memberatkan mereka.
Sesuai dengan ini, maka bi’tsah setiap Rasul membawa Aqidah dan syari’at.
Dalam masalah aqidah, tugas setiap Nabi tidak lain hanyalah menegaskan kembali
(ta’lid) aqidah yang sama yang pernah dibawa oleh para Rasul sebelumnya, tanpa perubahan
atau perbedaan sama sekali.
Dalam masalah syari’at , maka syari’at setiap Rasul menghapuskan syari’at sebelumnya,
kecuali hal-hal yang ditegaskan oleh syari’at yang datang kemudian, atau didiamkannya. Ini
sesuai dengan madzhab orang yang mengatakan : Syari’at sebelum kita adalah syari’at bagi kita
(juga) selama tidak ada (nash) yang dapat menghapuskan.
Dari uraian di atas , jelas tidak ada apa yang disebut orang dengan Adyan Samawiyah
(agama-agama langit ) Yang ada adalah Syari’at-syari’at Smawiyah (langit), di mana setiap
syari’at yang baru menghapuskan syari’at sebelumnya, sampai datang syari’at terkahir yang
dibawa oleh penutup para Nabi dan Rasul.
Ad-Dienul Haq hanya satu, Islam. Semua Nabi berdakwah kepadanya, dan
memerintahkan manusia untuk tunduk (dainunah) kepadanya, sejak Nabi Adam as sampai
Mauhammad saw.
Nabi Ibrahim , Ismail, dan Ya’kub diutus dengan membawa Islam , Firman Allah :
„Dan tiada ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang-orang yang memperbodoh
dirinya sendiri, dan sungguh kami telah memilihnya di dunia, dan sesungguhnya dia di akherat
benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh. Ketika Rabbnya berfirman kepadanya :“
Tunduk patulah!“ Ibrahim menjawab :“ Aku tunduk patuh kepada Rabb semesta alam“. Dan
Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Nabi Ya’kub (
Ibrahim berkata ) ,“ Hai anak-anakku ! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu
maka janganlah kami mati kecuali dalam memeluk Islam“ QS al-Baqarah 130-132
Musa as diutus kepada Bani Israil juga dengan membawa Islam. Firman Alah tentang
tukang-tukang sihir Fir’aun :
10
„Ahli sihir itu menjawab :“Sesungguhnya kepada Rabb kamilah kami kembali. Dan kamu tidak
membalas dendam dengan menyiksa kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayatayat
Rabb kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami.“ (Mereka berdo’a) „Wahai Rabb
kami, limpahkanlah kesebaran kepada kami, dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri
(kepada-Mu).“ QS al-A’raf : 126
Demikian pula Isa as. Ia diutus dengan membawa Islam. Firman Allah swt :
„Maka ketika Isa mengetahui keingkaran dari mereka (Bani Israil), berkatalah dia ,“Siapakah
yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama Allah)?“ Maka
hawariyyin (sahabat-sahabat setia ) menjawab :“Kamilah penolong-penolong (agama) Allah.
Kami beriman kepada-Nya, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang
Muslim.“ QS Ali Imran , 3:52
Mungkin timbul pertanyaan, mengapa orang-orang yang menganggap dirinya pengikut
Musa as menganut aqidah yang berbeda dari aqidah Tauhid yang dibawa oleh para Nabi ?
Mengapa orang-orang yang menganggap dirinya pengikut Isa as meyakini aqidah lain ?
Jawaban atas pertanyaan ini terdapat di dalam firman Allah swt :
„Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam, tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi al-Kitab, kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada ) adi antara mereka ..... QS Ali Imran , 3:19
„Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah melainkan sesudah datangnya pengetahuan
kepada mereka karena kedengkian di antara mereka. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan
yang telah ada dari Rabbmu dahulunya (untuk menangguhkan siksa) sampai kepada waktu
yang ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang
diwariskan kepada mereka al-Kitab ( taurat dan Injil) sesudah mereka, benar-benar dalam
keraguan yang mengguncangkan tentang kitab itu.´“ QS Asy-Syura : 14
Dengan demikian semau Nabi diutus dengan membawa Islam yang merupakan agama di
sisi Allah. Para ahli kitab mengetahui kesatuan agama ini. Mereka juga mengetahui bahwa para
Nabi diutus untuk saling membenarkan dalam hal agama yang diutusnya. Mereka (para Nabi)
tidak pernah berbeda dalam masalah aqidah. Tetapi para ahli Kitab sendiri berpecah belah dan
berdusta atas nama para Nabi, kendatipun telah datang pengetahuan tentang hal itu kepada
mereka, karena kedengkian di antara mereka, sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah di atas.
Jahiliyah dan sisa-sisa Hanifiyah
Ini juga merupakan muqaddimha penting yang harus dikaji sebelum memasuki
pembahasan-pembahasan Sirah dan pelajaran-pelajaran yang terkandung di dalamnya. Sebeb,
masalah ini mengandung suatu hakekat yang sering dipalsukan oleh musuh-musuh Islam.
Secara singkat hakekat tersebut ialah, bahwa Islam hanylaah merupakan kelanjutan dari
hanifiyah yang dibawa oleh abu Al-Anbiya ( Bapak para Nabi), Ibrahim as. Hakekat ini secara
tegas telah dinyatakan oleh kitab Allah di banyak tempat, antara lain :
„Dan berjihadlah pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kami
dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama sesuatu kesempitan. (Ikutilah)
11
agama (millah) orangtuamu Ibrahim. Dia ( Allah) telah menamai kamis ekalian orang-orang
Muslim dari dahulu .......“ QS al-Hajj : 78
„Katakanlah „Benar (apa yang difirmankan ) Allah. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus
(hanif), dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.“ QS Ali Imran : 95
Bangsa Arab adalah anak-anak Ismail as. Karena itu, mereka mewarisi millah dan
minhaj yang pernah dibawa oelh bapak mereka. Millah dan minhaj yang menyerukan Tauhid al-
Lah, beribadah kepada-Nya, mematuhi hukum-hukum-Nya, mengagungkan tempat-tempat
suci-Nya, khususnya Baitul Haram, menghormati Syiar-syiar-Nya dan mempertahankannya.
Setelah beberapa kurun waktu, mereka mulai mencampur-adukkan kebenaran yang
diwarisinyaitu dengan kebatilan yang menyusup kepada mereka. Seperti semua ummat dan
bangsa, apabila telah dikuasai kebodohan dan dimasuki tukang-tukang sihir dan ahli kebatilan,
maka masuklah kemusyrikan kepada mereka. Mereka kembali menyembah berhala-berhala.
Tradisi-tradisi dan kebejatan morap pun tersebar luar. Akhirnya mereka juh dari cahaya
tauhid dan ajaran hanifiyah. Selama beberapa abad mereka hidup dalam kehidupan jahiliyah
sampai akhirnya datang bi’tsah Muhammad saw.
Orang yang pertama kali memasukkan kemusyrikan kepada mereka dan mengajak
mereka menyembah berhala adalah Amr bun Luhayyi bin Qam’ah, nenek moyang Bani
Khuza’ah.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim bin al-Harits at-Thamimy :
Shalih as-Sman menceritakan kepadanya, bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah berkata : „
Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda kepada Aktsam bin Jun al-Khuza’i , „Wahai
Aktsam , aku pernah melihat Amr bin Luhayyi bin Qam’ah bin Khandaf ditarik usus-ususnya ke
dalam neraka. Aku tidak melihat seorangpun mirip (Wajahnya) dengannya kecuali kamu.“ Lalu
Aktsam berkata ,“Apakah kemiripan rupa tersebut akan membahayakan aku , ya Rasulullah ?“
Rasulullah saw menjawab,“Tidak sebab kamu Mu’min, sedangkan dia kafir. Sesungguhnya dia
adalah orang yang pertama kali mengubah agama Ismail as. Kemduian dia membuat patungpatung
, memotong telinga binatang utnuk dipersembahkan kepada Thogut-thogut,
menyembelih binatang untuk Tuhan-tuhan mereka, membiarkan unta-unta untuk sesembahan,
dan memerintahkan tidak menaiki unta tertentu, karena keyakinan kepada berhala.“
Ibnu Hisyam meriwayatkan bagaimana Amr bin Luhayyi ini memarukkan penyembahan
berhala kepada bangsa Arab. Ia berkata :“Amr bin Luhayyi keluar Mekkah ke Syam untuk
suatu keperluannya. Ketika sampai di Ma’ab, di daerah balqa, pada waktu itu tempat tersebut
terdapat anak keturunan ‘amliq bin Laudz bin Sam bin Nuh, dia melihat mereka menyembah
berhala-berhala, lalu Amr bin Luhayyi berkata kepada mereka, „Apakah berhala-berhala yang
kamu sembah ini ?“ Mereka menjawab,“ Ini adalah berhala-berhala yang kami sembah. Kami
minta hujan kepadanya , lalu kami diberi hujan. Kami minta pertolongan kepadanya, lalu kami
ditolong.“ Kemudian Amr bin Luhayyi berkata lagi,“Bolehkah kamu berikan satu berhala
kepadaku untuk aku bawa ke negeri Arab agar mereka (juga) menyembahnya ?“ Maka
merekapun memberi satu berhala ynag bernama Hubal. Lalu dibawanya pulang ke Mekkah dan
dipasanglah berhala tersebut. Kemudian ia memerintahkan orang-orang untuk menyembah dan
menghormatinya.
12
Demikianlah penyembahan berhala dan kemusyrikan telah tersebar di jazirah Arabia.
Mereka telah meninggalkan aqidah Tauhid dan mengganti agama Ibrahim. Juga Ismail dan
yang lainnya. Akhirnya , mereka mengalami kesesatan meyakini berbagai keyakinan yang
keliru,d an melakuan tindakan-tindakan yang buruk, sebagaimana ummat-ummat lainnya.
Mereka melakukan itu semua karena kebodohan , keummiyan dan keinginan membalas
dendam terhadap kabilah-kabilah dan bangsa-bangsa yang ada di sekitarnya.
Meskipun demikian, di antara mereka masih terdapat orang-orang walaupun sedikit,
yang berpegang teguh dengan aqidah tauhid dan berjalan sesuai ajaran hanifiyah , meyakini hari
kebangkitan, mempercayai bahwa Allah akan memberi pahala kepada orang-orang yang taat
dan menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat, membenci penyembahan berhala ynag
dilakukan oleh orang-orang Arab, dan mengecam kesesatan pikiran dan tindakan-tindakan
buruk lainnya. Di antara sisa-sisa hanifiyah ini yang terkenal antara lain : Qais bin Sa’idah al-
Ayahdi, Ri’ab asy-Syani dan pendeta Bahira.
Selain itu, dalam tradisi-tradisi mereka juga masih terdapat sisa-sisa prinsip-prinsip
agama yang hanif dan syiar-syiarnya, kendatipun kian lama kian berkurang. Karenaitu
kejahiliyahan mereka, dalam hal dan kadar tertentu, masih tershibghah (terwarnai) oelh
pengaruh, prinsip-prinsip dan syiar-syiar hanifiyah. Sekalipun syiar-syiar dan pirnsip-prinsip
tersebut hampir tidak nampak dalam kehidupan mereka, kecuali sudah dalam bentuknya yang
tercemar. Seperti memuliakan Ka’bah, thawaf, haji, umrah, wuquf di Arafah dan berkurban.
Semua itu merupakan syari’at dan warisan peribadatan sejak Nabi Ibrahim as. Tetapi mereka
melaksanakannya tidak sesuau dengan ajaran yang sebenarnnya. Banyak hal yang sudah
ditambahkan, seperti talbiyah haji dan umrah. Kabilah Kinanah dan Quraisy talbiyahnya
mengucapkan : „Aku sambut (seruan-Mu) ya Allah, aku sambut (seruan-Mu). Aku sambut
(seruan-Mu), tiada sekutu kecuali sekutu yang memang (pantas) bagi-Mu, yang Engkau dan
dia miliki.“
Setelah talbiyah ini, mereka membaca talbiyah yang mentauhidkan-Nya, dan memasuki
Ka’bah dengan membawa berhala-berhala mereka.
Sebagai kesimpulan bahwa pertumbuhan sejarah Arab hanya berlangsung dalam
naungan hanifiyah samhah yang dibawa oleh abul Anbiya , Ibrahim as . Pada mulanya
kehidupan mereka disinari oelh aqidah tauhid, cahaya petunjuk dankeimanan. Kemudian sedikit
demi sedikit bangsa Arab menjauhi kebenaran tersebut. Dlaam kurun waktu cukup lama,
akhirnya kehdiuapn mereka berbalik dalam kehidupan yang penuh dengan kegelapan,
kemusyrikan, dan kesesatan-kesesatan pemikiran. Kendatipun kebenaran rambu-rambu yang
lama masih bergeliat dalam perjalanan sejarah mereka secara amat lamban, semakin lama
bertambah lemah dan berkurang pendukungnya.
Ketika cahaya ad-Din al-Hanif merebak kembali dengan bi’tsah penutup para Nabi (
Muhammad saw), wahyu Illahi datang menyentuh segala kegepalan dan kesesatan yang telah
berkarat selama rentang jaman tersebut. Kemudian menghapuskan dan menyinarinya dengan
cahaya iman, tauhid, dan prinsip-prinsip keadilan, di samping menghidupkan kembali sisa-sisa
hanifiyah yang ada.
Perlu ditegaskan di sini, bahwa apa yang kami tetapkan ini merupakan suatu hal yang
sangat jelas bagi orang yang membaca sejarah dan memepelajari Islam. Tetapi untuk masa
sekarang ini kita terpaksa membuang banyak waktu untuk menjelaskan hal-hal yang bersifat
13
aksiomatik dan hal-hal yang sudah jelas. Karena adanya sebagian orang yang mengalahkan
keyakinan-keyakinan mereka sekedar memperturutkan hawa nafsunya.
Ya, orang-orang seperti ini hidup tanpa mempedulikan bhwa tindakan memperturutkan
hawa nafsu tersebut hanya akan membelenggu akalnya dengan rantai-rantai perbudakan dan
perbudakan pemikiran. Setiap roang pasti mengetahui betapa besar perbedaan antara orang
yang meletakkan hawa nafsunya di belakang aqidahnya, dan orang yang meletakkan aqidahnya
di belakang hawa nafsunya.
Sebagian orng mengatakan : bahwa kendatipun apa yang kami kemukakan di atas sudah
jelas, maka jahiliyah sudah mulai menyadari jalan terbaik yang harus diikutinya, tidak lama
sebelum bi’tsah Rasulullah saw. Pemikiran-pemikiran Arab sudah mulai menentang
kemusyrikan, penyembahan berhala dan segala khurafat jahiliyah. Puncak kesadaran dan
revolusi ini tercermin dengan bi’tsah Muhammad saw dan dakwahnya yang baru.
Makna dari pemikiran ini, bahwa sejarah jahiliyah semakin terbuka kepada hakekathakekat
tauhid atau sinar hidayah. Yakni semakin jauh dari jaman Ibrahim as. Mereka semakin
dekat dengan prinsip-prinsip dan dakwahnya, sehingga mencapai titik puncaknya pada bi’tsah
Rasulullah saw.
Setiap pengkaji dan pembahas yang objektif pasti mengetahui bahwa masa diutusnya
Rasulullah saw merupakan masa jahiliyah yang paling jauh dari hidayah dakwah Rasulullah saw
, jika dibandingkan dengan masa-masa yang lain. Reruntuhan rambu-rambu hanifiyah pada
bangsa Arab di masa bi’tsah Nabi saw yang tercermin pada percikan-percikan kebencian
kepada berhala dan keengganan untuk menyembahnya, atau keengganan menolak nilai-nilai
Islam. Sisa-sia reruntuhan ini, tidak mencapai sepersepuluh dari apa ang muncul dengan jelas
dalam kehiduapn mereka beberapa abad sebelumnya. Sesuai dengan arti nubuwwah dan bi’tsah
oleh orang-orang tersebut, semestinya bi’tsah nabi saw terjadi beberapa abad sebelumnya.
Ada pula sementara orang yang mengatakan bahwa ketika Muhammad saw tidak
mampu menghapuskan sebagian besar kebiasan, tradisi, ritual dan keyakinan yang ada pada
bangsa Arab, maka dia berusaha emmberikan baju agama kepada semua hal tersebut dan
menampilkannya dalam bentuk taklifaht Ilahiyah. Dwengan ungkapan lain, Muhammad hanya
menambah kepada sejumlah keyakinan ghaibiyah bangsa Arab, suatu riqabah ‘ulya
(pengawasan tertinggi) ynag berujud Illah ynag Maha Kuasa atas segala hal yang dikehendakinya.
Sesudah Islam, bangsa Arab masih terus meyakini sihir, jin, dan kepercayaan-kepercayaan
serupa. Sebagaimana halnya mereka masih melakukan thawaf di Ka’bah emmuliakan dan
menunaikan ritual-ritual, serta syiar-syiar tertentu yang tidak jauh berbeda dari yang dahulu
mereka lakukan.
Tuduhan mereka ini sesungguhnya beranjak dari dua dipothesa. Pertama , bahwa
Muhammad saw bukanlah Nabi, kedua bahwa sisa-sisa hanifiyah dari jaman Nabi Ibrahim ang
terdapat ditengah-tengah kehidupan bangsa Arab yang kita bahas tadi, hanylaah kreasi mereka
belaka, dan tradisi yang mereka ciptakan sendiri. Penghormatan kepada Ka’bah dan
pengagungannya bukanlah pengaruhdari abul Al Anbiyah, Ibrahim as, tetapi hanyalah
merupakan sesuatu yang diciptakan oleh sejumlah lingkungan Arab. Dengan demikian, ia
hanyalah salah satu dari sejumlah tradisi bangsa Arab yang beraneka ragam.
Untuk mempertahankan kedua hipotesa tersebut, mereka terpaksa menolak semau bukti
dan data sejarah yang akan membatalkan hipotesa dan menyatakan kepalsuannya.
14
Tetapi sebagaimana diketahui, penarian suatu hakekat itu tidak mungkin dapat dicapai
oleh seseorang selama dia tidak mau menempuh jalan yang menuju kepadanya, kecuali dalam
batas hipotesa yang dengan apriori telah dibuatnya sebelum melakukan pembahasan apapun.
Tidak perlu dijelaskan , bahwa pembahasan hanya seperti salah satu bentuk permainan yang
lucu.
Kita tidak bisa menolak sma sekali pemikiran tentang adanya bukti-bukti kenabian
Muhammad asw yang beraneka ragam, seperti fenomena wahyu, mu’jizat al-Quran, dan
fenomena kesucian dakwahnya dengan dakwah para nabi terdahulu bersama sejumlah sifat dan
akhlaknya , hanya karena kita harus menerima hipotesa bahwa Muhammad bukan Nabi.
Kita juga tidak bisa menolak pemikiran sejarah yang menyatakan bahwa Ibrahim as
telah membangun Ka’bah yang mulia atas perintah dan wahyu dari Allah swt. Kita tidak bisa
menolak pemikiran sejarah yang menyatakan bahwa para Nabi secara berantai telah berdakwah
kepada tauhidullah, meyakini masalah-masalah ghaib yang berkaitan dengan hari kemudian
(kebangkitan), pembalasan, surga dan neraka yang telah disebutkan oleh nash-nash kitab
Samawi terdahulu, dan telah dibenarkan oleh sejarah dan semua generasi, hanya karena kita
harus menerima suatu hipotesa yang menyatakan bahwa apa yang disebut sisa-sisa jaman
Ibrahim pada masa jahiliyah itu tidak lain hanyalah tradisi-tradisi yang diciptakan oleh pemikir
bangsa Arab dan Muhammad saw hanya datng untuk mengecatnya dengan cat agama.
Perlu diketahui , bahwa orang-orang yang mengeluarkan tuduhan semacam itu tidak
memiliki bukti dan dalil-dalil sama sekali. Mereka hanya mengemukakan dan melontarkan
lontaran-lontaran pemikiran yang tidak ilmiah sama sekali.
Jika anda memerlukan contohnya, bacalah kitab Sistem pemikiran agama yang ditulis
oleh seorang orientalis Inggris kesohor H:A:R Gibb. Di dalam buku ini Anda dapat mencium
bau fanatisme buta terhadap orang-orang terebut. Fanastisme aneh yang saling emndorong
seseorang untuk menghindari faktor-faktor kehormatannya sendiri dan berlagak pilon terhadap
segudang dalil dan bukti yang nyata, hanya supaya tidak memaksanya untuk menerimanya.
Sistem pemikiran agama di dalam Islam, menurut pandangan Gibb, tidaklah berbeda
dengan berbagai kepercayaan pemikiran-pemikiran tresendal yang ada dalam diri bangsa Arab.
Muhammad telah merenungkan kemudian mengubah bagian-bagian yang diubahnya. Untuk
hal-hal yang tidak dapat dihindarinya, dia telah menutupinya dengan kain agama Islam.
Kemudian tidak lupa mendukungnya dengan suatu kerangka pemikiran dan sikap-sikap agama
yang cocok. Di sinilah dia menghadapi kemusyrikan besar. Karena dia ingin membangun
kehidupan agma ini ubkan hanya untuk bangsa Arab, tetapi untuk semua bangsa dan ummat .
Maka dia tegakkan kehidupan agama ini dalam sistem al-Quran.
Itulah inti pemikiran Gibb di dalam bukuna tersebut. Jika Anda baca dari awal hingga
akhir. Anda tidak akan menemukan suatu argumen pun yang dikemukakannya. Dan jika anda
perhatikan pendapat yang dilontarkannya, anda tidak meragukan lagi bahwa pada waktu
menulis dia telah membesi-tuakan segala potensi intelektualnya, dan sebagai gantinya
digunakan daya khayalnya sepuas-puasnya.
Nampaknya ketika menulis pengantar terjemahan Arabnya, dia telah membayangkan
bagaimana para pembaca akan menyerang pemikiran-pemikirannya yang telah menghina Islam
tersebut. Sehingga dia berkelit dengan mengatakan :“ Sesungguhnya pemikiran-pemikiran yang
15
terkandung dalam buku ini bukanlah hasil pemikiran penuls, tetapi merupakan pemikiranpemikiran
yang sebelum ini telah dikemukakan oleh para pemikir dan pakar kaum Muslim,
yang terllau banyak untuk dikemukakan di sini, Tetapi cukup saya sebutkan salah seorang di
antara mereka ,yaitu : Syaikh Syah Waliyullah ad-Dahlawi.
Kemudian Gibb mengutipkan suatu naskah dri kitab Syaikh Waliyullah ad-Dahlawi,
Hujjatu al-Lah Balighah ( I:122). Nampaknya dia menyangka tak seorangpun dari pembaca
akan memeriksa teks kitab tersebut, lalu dengan sengaja dia ubah dan palsukan teks telah yang
diubah dan dipalsukan oleh Gibb adalah :
„Sesungguhnya Nabi Muhammad saw diutus dalam suatu bi’tsah yang meliputi bi’tsah lainya.
Yang pertama kepada Bani Israil. Bi’tsah ini mengharuskan agar materi syari’atnya berupa
syiar-syiar, cara ibadat dan segi-segi kemanfaatan yang ada pada mereka. Sebab syari’at
hanylaah merupakan perbaikan terhadap apa yang ada pada mereka. Bukan pembebanan
dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui sama sekali“
Padahal teks yang terdapat di dalam Hujjatul-Lah Balighah secara utuh adalah
seagaiberikut :
„Ketahuilah, bahwa Nabi Muhammad saw diutus dengan membawa hanifiyah Isma’il untuk
meluruskan kebengkokan , membersihkan kepalsuannya dan memancarkan sinarnya. Firman
Allah:“Millah orang tuamu Ibrahim.“ Karena itu dasar-dasar millah tersebut harus diterima dan
sunnah-sunnahnya harus ditetapkan. Sebab Nabi saw diutus pada sautu kaum yangmasih
terdapat pada mereka sisa sunnah yang terpimpin. Jadi tidak perlu mengubahnya atau
menggantinya. Bahkan wajib menetapkannya, karena hal itu lebih disukai oelh mereka, dan
lebih kuat bila dijadikan hujjah atas mereka. Anak-anak keturunan Isma’il mewarisi ajaran
bapak mereka (isma’il)“.
Mereka melaksanakan sari’at tersebut sampai datang Amr bin Luhayyi yang
memasukkan pemikiran-pemikiran ynag sesat dan menyesatkan. Ia ( Amr bin Luhayyi)
mensyariatkan penyembahan berhala dan kepercayaan-kepercayaan sesat sama sekali. Sejak
itulah agama menjadi rusak. Yang benar bercampur aduk dengan yang batil, sehingga
kehidupan mereka dikuasai oelh kebodohan, kerusakan dan kemusyrikan.
Kemudian Allah swt mengutus Nabi Muhammad saw untuk meluruskan kebengkokan
mereka dan memperbaiki keruskan mereka. Lalu Rasulullah saw meninjau syariat mereka. Apa
yang sesuai dengan ajaran Isma’il atau syiar-syiar Allah ditetapkannya. Apa yang sudah rusak
atau diubah atau termasuk syiar kemusyrikan atau kebatilan, dibatalkan dan dicatatnya
pembatalan tersebut.
Tidak syak lagi bahwa kami tidak mengemukakan pendapat pembahas ini untuk dibahas
dan didiskusikan. Adalah sia-sia mendiskusikan omong kosong seperti ini. Tetapi kami
bermaksud agar para pembaca mengetahui sejauh mana fanatisme buta ini mempengaruhi
seseorang. Hal inilah yangingin penulis ingatkan. Yaitu, sejauh manakah metodologi dan
objektifitas pembahasan ilmuwan barat yang oelh sebagian orang diagung-agungkan itu.
Dari uraian terdahulu jelaslah bagaimana kaitan antara Islam dan pemikiran jahiliyah
yang berkembang di kalangan orang Arab seblum kedatangan Islam. Dan dapat diketahui pula
bagaimana kaitan antara masa jahiliyah dan millah hanifiyah yang telah dibawa oelh Ibrahim as.
16
Dari sini dapat diketahui pula mengapa Rasulullah saw banyak menetapkan tradisitradisi
dan prinsip-prinsip yang sebelumnya teleh berkembang di kalangan orang Arab. Tetapi
pada waktu yang sama , Rasulullah saw juga menghapuskan dan memerangi lainnya.

0 Komeng:

Post a Comment

 
Copyright 2009 Intelektual-Muslim™