Subscribe:


ShoutMix chat widget
Dakwah Islamiyah di masa hidup Nabi saw, sejak bi’tsah hingga wafatnya menempuh
empat tahapan :
Pertama, Dakwah secara rahasia, selama tiga tahun.
Kedua, Dakwah secara terang-terangan dengan menggunakan lisan saja tanpa perang,
berlangsung sampai hijrah.
Ketiga, Dakwah secara terang-terangan dengan memerangi orang-orang yang menyerang dan
memulai peperangan atau kejahatan. Tahapan ini berlangsung sampai tahun perdamaian
Hudaibiyah.
Tahapan keempat, Dakwah secara terang-terangan dengan memerangi setiap orang yang
menghalangi jalannya dakwah atau menghalangi orang yang masuk Islam. Setelah masa
dakwan yang pemberitahuan dari kaum musyrik, anti agama atau penyembah berhala . Pada
tahapan inilah syariat Islam dan hukum jihad dalam Islam mencapai kemapanan.
Dakwah secara Rahasia
Nabi saw mulai menyambut Allah dengan mengajak manusia untuk menyembah Allah
semata dan meninggalkan berhala. Tetapi dakwah Nabi ini dilakukan secara rahasia untuk
menghindari tindakkan buruk orang-orang Quraisy yang fanatik terhadap kemusyrikan dan
peganismenya. Nabi saw tidak menampakkan dakwah di majelis-majelis umum orang-orang
Quraisy, dan tidak melakukan dakwah kecuali kepada orang yang memiliki hubungan kerabat
atau kenal baik sebelumnya.
Orang-orang ang pertama kali masuk Islam ialah Khadijah binti Khuwailid r.a., Ali bin
Abi Thalib, Zaib bin Haritza mantan budak Rasulullah saw, dan anak angkatnya, Abu Bakar bin
Abi Qufahah, Ustman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi
Waqqash dan lainnya.
38
Mereka ini bertemu dengan Nabi secara rahasia. Apabila salah seorang di antara mereka
ingin melaksanakan salah satu ibadah, ia pergi ke lorong-lorong Mekkah seraya bersembunyi
dari pandangan orang-orang Quraisy.
Ketika orang-orang ynag menganut Islam lebih dari tiga puluh lelaki dan wanita,
Rasulullah saw memilih rumah salah seorang dari mereka, yaitu rumah al-Arqam bin Abi al-
Arqam,s ebagai tempat pertemuan untuk mengadakan pembinaan dan pengajaran. Dakwah
pada tahapan ini menghasilkan sekitar empat puluh lelaki dan wanita telah menganut Islam.
Kebanyakan mereka adalah orang-orang fakir, kaum budak dan orang-orang Quraisy yang
tidak memiliki kedudukan.
Beberapa Ibrah
1. Sebab Sirriyah pada permulaan dakwah Rasulullah saw.
Tidak diragukan lagi , bahwa kerahasiaan dakwah Nabi saw selama tahun-tahun
pertama ini bukan karena kekhawatiran Nabi saw terhadap dirinya. Sebab , ketika beliau
dibebani dakwah dan diturunkan kepadanya firman Allah :“ Hai orang yang berselimut,
bangunlah , lalu berikanlah peringatan,“ beliau sadara, bahwa dirinya adalah utusan Allah
kepada manusia. Karena itu beliau yakin bahwa Allah yang mengutus dan membebaninya
dengan tugas dakwah ini mampu melindungi dan menjaganya dari gangguan manusia. Kalau
Allah memerintahkan agar melakukan dakwah secara terang-terangan sejak hari pertama,
niscaya Rasulullah saw tidak akan mengulurkan sedetikpun, sekalipun harus menghadapi resiko
kematian.
Tetapi Allah memberikan ilham kepadanya, dari ilham kepada Nabi saw adalah
semacam wahyu kepadanya, agar memulai dakwah pada tahapan awal dengan rahasia dan
tersembunyi, dan agar tidak menyampaikan keculai kepada orang yang telah diyakini akan
menerimanya. Ini dikamsudkan sebagai pelajaran dan bimbingan bagi para da’i sesudahnya agar
melakukan perencanaan secara cermat dan mempersiapkan sarana-sarana yang diperlukan
untuk mencapai sasaran dan tujuan dakwah. Tetapi hal ini tidak boleh mengurangi rasa tawakal
kepada Allah semata, dan tidak boleh dianggap sebagai faktor-faktor yang paling menentukan .
Sebab hal ini akan merusak prinsip keimanan kepada Allah, di samping bertentangan dengan
tabiat dakwah kepada Islam.
Dari sini diketahui bahwa uslub dakwah Rasulullah saw pada tahapan ini merupakan
Siyasah syari’ah (kebijaksanaan) darinya sebagai imam, bukan termasuk tugas-tugas tablighnya
dari Allah sebagai seorang Nabi.
Berdasarkan hal itu, maka para pimpinan dakwah Islamiyah pada setiap masa boeh
menggunakan keluwesan dalam cara berdakwah, dari segi Sirriyah dan Jariyah atau kelemahlembutan
dan kekuatan, sesuai dengan tuntutan keadaan dan situasi masa di mana mereka
hidup. Yakni keluwesan yang ditentukan oleh syari’at Islam berdasarkan kepada realitas Nabi
saw, sesuai dengan empat tahapan yang telah disebutkan , selama tetap mempertimbangkan
kemashlahatan kaum Muslimin dan dakwah Islamiyah pada setiap kebijaksanaan yang
diambilnya.
Oleh karena itu Jumhur Fuqaha sepakat jika jumlah kaum Muslim sedikit atau lemah
posisinya, sehingga diduga keras mereka akan dibunuh oelh para musuhnya tanpa kesalahan
39
apapun bila para musuh itu telah bersepakat akan membunuh mereka, maka dalam keadaan
seperti ini harus didahulukan kemashlahatan menjaga atau menyelamatkan jiwa, karena
kemashlahatan menjaga agama dalam kasus seperti ini belum dapat diapstikan.
Al’Izzu bin Abdul Salam menyatakan keharaman melakukan jihad (perang) dalam
kondisi seperti ini :
„Apabila tidak terjadi kerugian, maka wajib mengalah (tidak melakukan perlawanan), karena
(perlawanan dalam situasi seperti ini) akan mengakibatkan hilangnya nyawa, di samping
menyenangkan orang-orang kafir yang menghinakan para pemeluk agama Islam. Perlawanan
seperti ini menjadi mafsadah (kerugian) semata , tidak mengandung maslahat.“
Saya berkata :“ Mendahulukan kemaslahatan jiwa di sini hanya dari sepi lahiriyah saja.
Akan tetapi pada hakekatnya juga merupakan kemaslahatan agama. Sebab kemaslahatan agama
(dalam situasi seperti ini) memerlukan keselamatan nyawa kaum Muslimin agar mereka dapat
melakukan jihad pada medan-medan lain yang masih terbuka. Jika tidak , maka kehancuran
mereka dianggap sebagai ancaman terhadap agama itu sendiri, dan pemberian peluang kepada
orang-orang kafir untuk menerobos jalan yang selama ini tertutup.
Singkatnya , wajib mengadakan perdamaian atau merahasiakan dakwah apabila
tindakan menampakkan dakwah atau perang itu akan membahayakan dakwah Islamiyah.
Sebaliknya tidak boleh merahasiakan dakwah apabila bisa dilakukan dengan cara terangterangan
dan akan memberikan faidah. Tidak boleh mengadakan perdamaian dengan orangorang
yang dzalim dan memusuhi dakwah, apabila telah cukup memiliki kekuatan dan
pertahanan. Juga tidak boleh berhenti memerangi orang-orang kafir di negeri mereka, apabila
telah cukup memiliki kekuatan dan sarana untuk melakukannya.
2. Orang-orang ynag Pertama Masuk Islam dan Hikmahnya.
Sirah menjelaskan kepada kita bahwa orang-orang yang masuk Islam para marhala
(tahapan) ini kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang fakir, lemah dan kaum budak. Apa
hikmah dari kenyataan ini ? Apa rahasia tegakknya Daulah Islamiyah di atas pilar-pilar yang
terbentuk dari orang-orang seperti mereka ini ?
Jawabannya, bahwa fenomena ini merupakan hasil alamiah dari dakwah para Nabi pada
tahapannya yang pertama. Tidakkah anda perhatikan bagaimana kaum Nuh mengejeknya
karena orang-orang yang mengikutinya hanyalah orang-orang kecil mereka ?
„Kami tidak melihat kamu , melainkan (sebagai9 seorang manusia (biasa) seperti kami, dan
kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina
di antara kami yang lekas percaya saja .... „ QS Hud : 27
Tidakkah anda perhatikan bagaimana Fir’aun dan para pendukungnya memandang
rendah para pengikut Musa as sebagai orang-orang ynag tertindas sampai Allah menyebutkan
mereka setelah menceritakan kehancuran Fir’aun dan para pendukungnya ?
„Dan kami pusakakan kepada kaum yang telah tertindas itu, negeri-negeri bagian timur bumi
dan bahagian baratnya yang telah kami beri berkah padanya .“ QS al-A#raf : 37
40
Tidakkah anda perhatikan bagaimana kelompok elite kaum Tsamud menolak nabi
Shaleh , dan hanya orang-orang tertindas di antara mereka yang mau beriman kepadanya ,
hingga Allah mengatakan tentang mereka di dalam firman-Nya :
„Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang
yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka,“ Tahukah kamu, bahwa Shalih
diutus (menjadi Rasul) oleh Tuhannya?“ Mereka menjawab,“Sesungguhnya kami beriman
kepada wahyu, yang Shalih diutus untuk menyampaikannya.“ Orang-orang yang
menyombongkan diri berkata :“Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang tidak percaya
kepada yang kamu imani itu.“ QS al-A’raf : 75-76
Sesungguhnya hakekat agama yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul Allah ialah
menolak kekuasaan dan pemerintahan manusia , dan kembali kepada kekuasaan dan
pemerintahan Allah semata. Hakekat ini terutama sekali bertentangan dengan „ketuhanan“
orang-orang yang mengaku sebagai „tuhan“. Dan kedaulatan orang-orang ynag mengaku
berdaulat. Dan terutama sekali , sesuai dengan keadaan orang-orang yang tertindas dan
diperbudak. Sehingga reaksi penolakan terhadap ajakan untuk berserah diri kepada Allah
semata datang terutama dari orang-orang yang mengaku berdaulat tersebut. Sementara orangorang
yang tertindas menyambut dengan baik.
Hakekat ini nampak dengan jelas dalam dialog yang berlangsung antara Rustum ,
komandan tentara Persia pada perang al-Qadisiyah , dan Rabi’ bin Amir, seorang prajurit biasa
di jajaran tentara Sa’d bin Abi Waqqash. Rustum berkata kepadanya :“ Apa yang mendorong
kalian memerangi kami dan masuk ke negeri kami?“ Tabi’ bin Amir berkata :“ Kami datang
untuk mengeluarkan siapa saja dari penyembahan manusia kepada penyembahan Allah semata.“
Kemudian melihat barisan manusia di kanan dan kiri Rustum tunduk dan ruku’ kepada
Rustum, Rubi’ berkata dengan penuh keheranan,“Selama ini kami mendengar tentang kalian
hal-hal yang mengagumkan, tetapi aku tidak melihat kaum yng lebih bodoh dari kalian. Kami
kaum Muslimin tidak saling memperbudak antara satu dengan lainnya. Aku mengira bahwa
kalian semua sederajat sebagaimana kami. Akan tetapi lebih baik dari apa yang kalian perbuat
jika kalian jelaskan kepadaku bahwa sebagian kalian menjadi tuhan bagi sebagian yang lain.“
Mendengar ucapan Rubu’ ini orang-orang yang tertindas antara mereka saling
berpandangan seraya berguman,“ Demi Allah, orang Arab ini benar.“ Tetapi bagi para
pemimpn , ucapan Rubi’ ini ibarat geledek yang menyambut mereka, sehingga slah seorang di
antara mereka berkata :“ Dia telah melemparkan ucapan yang senantiasa dirindukan oleh para
budak kami.“
Tetapi ini tidak berarti bahwa keislaman orang-orang yang tertindas itu tidak bersumber
dari keimanan, bahkan bersumber dari kesadaran dan keinginan untuk bebas dari penindasan
dan kekuasaan para tiran. Sebab baik para tokoh Quraisy maupun kaum tertindasnya sam-sama
berkewajiban mengimani Allah semata, dan membenarkan apa yang dibawa oleh Muhammad
saw. Tidak seorang pun dari mereka kecuali mengetahui kejujuran Nabi saw dan kebenaran apa
yang disampaikan dari Rabb-Nya. Kaum elite dan para tokoh tidka tunduk dan mengikuti Nabi
saw karena dihalangi oleh faktor gengsi kepemimpina mereka. Contoh yang paling nyata adalah
pamannya, Abu Thalib. Sedangkan kaum tertindas dan lemah dengan mudah mau
menerimannya dan mengikuti Nabi saw, karena mereka tidak dihalangi oelh sesuatu apapun.
DI samping bahwa keimanan kepada Uluhiyah Allah akan menumbuhkan rasa izzah (wibawa)
pada diri seseorang, dan menghapuskan rasa gentar kepada kekuatan selain dari kekuatan-Nya.
41
Perasaan yang merupakan buah keimanan kepada Allah ini , pada waktu yang sama,
memberikan kekuatan baru dan menjadikan pemiliknya merasakan kebahagiaan.
Dari sini kita dapat mengetahui besarnya kebohongan yang dibuat oelh para musuh
Islam di masa sekarang. Ketika mereka mengatakan dakwah yang dilakukan oleh Muhammad
saw hanyalah berasal dari inspirasi lingkungan Arab tempat ia hidup. Dengan kata lain, dakwah
Muhammad saw hanya mencerminkan gerakan pemikiran Arab di masa itu.
Seandainya demikian, hasil dakwah selama tiga tahun tersebut tidak hanya berjumlah
empat puluh orang lelaki dan wanita. Dan kebanyakan mereka adalah kaum fakir, tertindas dan
budak. Bahkan ada yang berasal dari negeri asing, yaitu Shuhaub ar-Rumi dan Bilil al-Habasyi.
Pada pembahasan mendatang akan anda ketahui bahwa lingkungan Arab itu sendirilah
yang justru memaksa Nabi saw utnuk melakukan hijrah dari negerinya dan memaksa
pengikutnya berpencar-pencar, bahkan pergi hijrah ke Habasyiah. Ini semua karena kebencian
lingkungan tersebut terhadap dakwah yang mereka tuduh sebagai nasionalis Arab.
Dakwah secara Terang-terangan
Ibnu Hisyam berkata : „Kemudian secara berturut-turut manusia, wanita danlelaki ,
memeluk Islam, sehingga berita Islam tersiar di Mekkah dan menjadi bahan pembicaraan orang.
Llau Allah memerintahkan Rasul-Nya menyampaikan Islam dan mengajak orang kepadanya
secara terang-terangan, setelah selama tiga tahun Rasulullah saw melakukan dakwah secara
sembunyi, kemudian Allah berfirman kepadanya :
„Maka siarkanlah apa yang diperintahkan kepadamu, dan janganlah kamu pedulikan orang
musyrik.“ QS al-Hijr : 94
„Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap
orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.“ QS asy-Syu’ara : 214-215
„Dan katakanlah „Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan.“ QS al-Hijr
: 89
Pada waktu itu pula Rasulullah saw segera melaksanakan perintah Allah. Kemudian
menyambut firman Allah:“ Maka siarkanlah apa yang diperintahkan kepadamu dan janganlah
kamu pedulikan orang-orang yang musyrik.“ Dengan pergi ke atas bukit Shafa lalu
memanggil,“Wahai Bani Fihr, wahai bani ‘adi,“ Sehingga mereka berkumpul dan orang yang
tidak bisa hadir mengirimkan orang untuk melihat apa yang terjadi. Maka Nabi saw berkata :“
Bagaimanakah pendapatmu jika aku kabarkan bahwa di belakang gunung ini ada sepasukan
kuda musuh yang datang akan menyerangmu, apakah kamu mempercayaiku ?“ Jawab mereka
:“ Ya, kami belum pernah melihat kamu berdusta.“ Kata Nabi saw :“ Ketehuilah ,
sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian dari siksa yang pedih.“
Kemudian Abu Lahab memprotes,“Sungguh celaka kamu sepanjang hari , hanya untuk inikah
kamu mengumpulkan kami.“ Lalu turunlah firman Allah :
„Binasalah kedua belah tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia akan binasa.
42
Kemudian Rasulullah saw turun dan melaksanakan firman Allah,“ Dan berilah
peringatan kepada kerabatmu yang terdekat,“ dengan mengumpulkan semua keluarga dan
kerabatnya lalu berkata kepada mereka, „Wahai Bani Ka’b bin Lu’au, selamatkanlah dirimu
dari api neraka! Wahai bani Murrah bin Ka’ab , selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai
Bani Abdi Syams, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai Bani Abdul Muththalib ,
selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai fatimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka!
Sesungguhnya , aku tidak akan dapat membela kalian di hadapan Allah, selain bahwa kalian
mempunyai tali kekeluargaan yang akan aku sambung dengan hubungannya.
Dakwah Nabi saw , secara terang-terangan ini ditentang dan ditolak oelh bangsa
Quraisy, dengan alasan bahwa mereka tidak dapat meninggalkan agama ynag telah mereka
warisi dari nenek moyang mereka, dan sudah menjadi bagian dari tradisi kehidupan mereka.
Pada saat itulah Rasulullah saw mengingatkan mereka akan perlunya membebaskan pikiran dan
akal mereka dari belenggu taqlid. Selanjutnya dijelaskan oleh Nabis aw bahwa tuhan-tuhan
yang mereka sembah itu tidak dapat memberi faidah atau bahaya sama sekali. Dan bahwa
turun-temurun nenek moyang mereka dalam menyembah tuhan-tuhan itu tidak dapat dijadikan
alasan untuk mengikuti mereka secara taqlid buta. Firman Allah menggambarkan mereka :
„Dan apabila dikatakan kepada mereka,“Ikutalah apa yang telah diturunkan Allah,“ mereka
menjawab,“ (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan)
nenek moyang kmai.“ (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupaun nenek moyang mereka
tidak mengetahui suatu pun dan tidak mendapat petunjuk ?“ QS al-Baqarah : 170
Ketika Nabi saw mencela tuhan-tuhan mereka, membodohkan mimpi-mimpi mereka,
dan mengecam tindakan taqlid buta kepada nenek moyang mereka dalam menyembah berhala,
mereka menentangnya dan sepakat untuk memusuhinya, kecuali pamannya Abu Tahlib yang
membelanya.
Beberapa Ibrah
Pada bagian Sirah Nabi saw ini terdapat tiga hal yang penting untuk di catat :
Pertama , sesungguhnya Rasulullah saw ketika menyampaikan dakwah Islam secara
terang-terangan kepada bangsa Quraisy dan bangsa Arab pada umumnya, mengejutkan mereka
dengan sesuatu yang tidak pernah mereka pikirkan atau asing sama sekali. Ini secara jelas
nampak dalam reaksi Abu lhab terhadapnya, dan kesepakatan tokoh-tokoh Quraisy untuk
memusuhi dan menentangnya.
Hal ini kiranya cukup menjadi jawaban telak bagi orang-orang yang berusaha
menggambarkan syariat Islam sebagai salah satu buah nasionalisme Arab, dan menganggap
Nabi saw dengan dakwah yang dilakukannya sebagai mencerminkan idealisme dan pemikiran
Arab pada masa itu.
Bagi pengkaji Sirah Nabawiyah tidak perlu menyusahkan diri untuk menyanggah atau
mendiskusikan tuduhan-tuduhan lucu itu. Sebenarnya orang-orang yang melontarkan tuduhna
itu sendiri mengetahui kenaifan dan kepalsuannya. Tetapi betapapun tuduhan-tuduhan tersebut,
dalam pandangan mereka , harus dilontarkan guna menghancurkan Islam dan pengaruhnya.
Tidaklah penting bahwa tuduhan tersebut harus benar. Yang penting bahwa kepentingan dan
tujuan mereka memerlukan pengelabuhan seperti itu.
43
Kedua, sebenarnya bisa saja Allah tidak memerintahkan Rasul-Nya utnuk memberi
peringatan kepada keluarga dan kerabat dekatnya secara khusus, karena sudah cukup dengan
keumumam perintah-Nya yang lain , yaitu firman-Nya :“ Maka siarkanlah apa yang
diperintahkan kepadamu.“ Perintah ini sudah mencakup semua anggota keluarganya dan
kerabatnya. Lalu apa hikmah dikhususkan perintah untuk memberi peringatan kepada
keluarganya ini ?
Jawabannya, bahwa ini merupakan isyarat kepada beberapa tingkat tanggung yang
berkaitan dengan setiap Muslim pada umumnya, dan para da’i pada khususnya.
Tingkat tanggung jawab yang paling rendah ialah tanggung jawab seseorang terhadp
dirinya sendiri. Karena mempertimbangkan penumbuhan tingkat tanggung jawab ini, maka
rentang waktu permulaan wahyu berlangsung sekian lama. Yakni sampai Muhamad saw
mantap dan menyadari bahwa ia seorang Nabi dan Rasul dan bahwa apa yang diturunkan
kepadanya adalah wahyu dari Allah yang harus diyakininya sendiri terlebih dahulu, dan
mempersiapkan dirina untuk menerima prinsip , sistem, dann hukum yang akan diwahyukan.
Tingkatan berikutnya ialah tanggung jawab seorang Muslim terhadap keluarga dan
kerabat dekatnya. Sebagai pengarahan kepada pelaksanaan tanggung jawab ini, Allah secara
khusus memerintahkan Nabi-Nya agar memberi peringatan kepada keluarga dan kerabat
dekatnya, setelah perintah bertabligh secara umum. Tingkat teanggung jawab ini merupakan
kewajiban bagi setiap Muslim yang memiliki keluarga dan kerabat. Tidak ada perbedaan antara
dakwah Rasul kepada kaumnya dan dakwah seorang Muslim kepada keluarganya. Hanya saja ,
yang pertama berdakwah kepada syariat baru yang diturunkan Allah kepadanya, ementara yang
kedua berdakwah dengan dakwah Rasul. Sebagaimana Nabi atau Rasul tidak boleh untuk tidak
menyampaikan dakwah kepada keluarga dan kerabat dekatnya. Bahkan ia wjib memaksa
keluarganya untuk melaksanakannya, maka demikian pula halnya seorang Muslim terhadap
keluarganya dan kerabat dekatnya.
Tingkat ketiga ialah tanggung jawab seorang ‘alim terhadp kampung atau negerinya,
dan tanggung jawab seorang penguasa terhadap negara dankaumnya. Masing-masing dari
keduanya menggantikan tanggung jawab Rasulullah saw, karena keduanya merupakan pewaris
Rasulullah saw secara syariat, sebgaimana sabda beliau :“ Ulama adalah pewaris para Nabi.“
Selain itu, Imam dan penguasa juga disebut Khalifah (pengganti) , yakni pengganti Rasulullah
saw.
Tetapi seorang imam dan penguasa dalam masarakat Islam, diharuksn memiliki ilmu.
Sebab tidak ada perbedaan antara tabiat tanggung jawab ynag diemban Rasulullah saw dan
tanggung jawab yang diembang oleh para ulama dan penguasa. Bedanya bawha Rasulullah saw
menyampaikan syariat mereka mengikuti jejak Rasulullah saw dan berpegang teguh dengan
Sunnah dan Sirahnya dalam apa yang mereka lakukan dan sampaikan.
Jadi , sebagai seorang mukallah, Nabi saw bertanggung jawab terhadap dirinya
sendiri. Sebagai pemilik keluarga dan kerabat, Nabi saw bertanggung jawab kepada keluarga
dan kerabatnya. Dan sebagai seorang Nabi dan Rasul Allah, beliau bertanggung jawab terhadap
semua manusia.
Demikian pula halnya dengan diri kita, baik sebagai seorang mukallaf , pemilik
keluarga, ataupun ulama. Dan seorang penguasa memiliki tanggung jawab sebgaimana nabi
saw.
44
Ketiga, Rasulullah saw mencela kaumnya karena mereka menjadi „tawanan“ tradisi
nenek moyang mereka tanpa berpikir lagi tentang baik dan buruknya. Kemudian Rasulullah
saw mengajak mereka untuk membebaskan akal mereka dari belenggu taqlid buta dan
fanatisme terhadap tradisi yang tidak bertumpu di atas landasan pemikiran dan logika sehat.
Hal ini menjadi dalil bahwa agama ini termasuk masalah keyakinan dan hukum
bertumpu di atas akal dan logika. Karena itu, di antara syarat terpenting kebenaran iman
kepada Allah dan masalah-masalah keyakinan yang lain ialah, bahwa keimanan tersebut harus
didasarkan kepada asas keyakinan dan pemikiran yang bebas, tanpa dipengaruhi oelh kebiasaan
atau tradisi sama sekali. Sehingga pengarang kitab Jauharatut Tauhid mengatakan :
„Setiap orang yang bertaqlid dalam masalah tauhid keimanannya tidak terbebas dari
keraguannya. „
Dari sini dapat anda ketahui bahwa Islam datang utnuk memerangi tradisi dan melarang
masuk ke dalam jeratnya. Sebab semua prinsip dan hukum Islam didasarkan pada akal dan
logika yang sehat. Sementara itu, tradisi di dasarkan pada dorongan ingin mengikuti emata
tanpa ada unsur seleksi dan pemikiran. Kata tradisi dalam bahasa Arab berarti sejumlah
kebiasaan yang diwarisi secara turun temurun, atau yang berlangsung karena faktor pergaulan
dalam suatu lingkungan atau negeri, dimana taqlid semata merupakan penopang utama bagi
kehidupan kesinambungan tradisi tersebut.
Semua pola kehidupan yang dibiasakan manusia, seperti beberapa permainan apda saatsat
kegembiraan, atau berpakaian hitam pada saat kesusahan dan kematian, yang bertahan
secara turun-temurun karena faktor pewarisan atau transformasi mellui pergaulan, dalam istilah
bahasa dan ilmu sosial disebut tradisi.
Dengan demikian, Islam sama sekali tidak mengandung unsur tradisi, baik yang
berkaitan dengan aqidah , hukum atau sistem. Karena aqidah di dasarkan pada landasan akal
dan logika. Demikian pula hukum, ia didasarkan pada kemaslahatan duniawi dan ukhrawi.
Kemaslahatan ini tidak dapat diketahui kecuali melalui pemikiran dan perenungan ,
kendatipun oleh sebagian akal manusia tidak dapat diketahui karena sebab-sebab tertentu.
Dengan demikian, jelaslah kesalahan orang-orang yang mengistilahkan peribadahan,
hukum-hukum, syariat dan akhlak Islam dengan tradisi Islam.
Sebab, peristilahan yang dzalim ini akan memberikan konotasi bahwa perilaku dan
akhlak Islam tersebut bukan karena statusnya sebagai prinsip Ilahi ynag menjadi faktor
kebahagiaan manusia, tetapi sebagai tradisi lama yang diwarisi turun-temurun. Tentu saja
istilah ini pada gilirannya akan menimbulkan rasa enggan pada kebanyakan orang untuk
menerima warisan lama yang ingin ditetapkan kepada masyarakat yang serba berkembang dan
maju ini.
Sesungguhnya penyebutan hukum-hukum Islam dengan istilah tradisi Islam bukan
merupakan kesalahan yang tidak disengaja, tetapi merupakan mata rantai penghancuran Islam
dengan istilah-istilah menyesatkan.
Tujuan utama dari pemasaran tradisi Islam ini ialah agar semua sistem dan hukum Islam
dipahami sebagai tradisi. Sehingga setelah makna tradisi ini terkait dengan sistem-sistem dan
45
hukum-hukum Islama selama masa sekian lama dalam benak manusia, dan mereka lupa bahwa
sistem-sistem tersebut pada hakekatnya merupakan prinsip-prinsip yang di dasarkan pada
tuntutan akal sehat, maka menjadi gampanglah bagi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan
Islam melalui „pintu“ yang telah dipersiapkan tersebut.
Tidak diragukanlagi , jika kaum Muslim telah menyadarai semur prinsip dan hukum
Islam, seperti maslah pernikahan dan thalaq, jilbab wanita, serta semua perilaku dan akhlak
Islam sebagai tradisi maka wajar, saja jika kemudian munsul orang yang mengajak kepada
penghancuran tradisi dan pembebasan diri dari ikatannya, terutama pada abad di mana
kebebasan pendapat dan berpikir sangat dominan.
Tetapi sesungguhnya tidak ada tradisi dalam Islam. Islam adalah agama yang datang
untuk membebaskan akal manusia dari segala ikatan tradisi, sebagaimana kita lihat pada
langkah-langkah awal dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Sesungguhnya semua sistem dan perundang-udnangan yan dibawa oleh Islam
merupakan prinsip. Prinsip adlah sesuatu yang tegak di atas landasan pemikiran dan akal, dan
bertujuan mencapai tujuan tertentu. Jika prinsip manusia kadang menyalahkan kebenaran
karena kelemahan pemikirannya, maka pirnsip Islam tidak pernah sama sekali menyalahkan
kebenaran, karena yang mensyariatkannya adalah Pencipta akal dan pemikiran. Ini saja sudah
cukup menjadi dalil ‘aqli untuk menerima dan meyakini kebenaran prinsip-prinsip Islam.
Tradisi hanya merupakan arus perilaku ynag manusia terbawa olehnya secara spontan
karena semata-mata faktor peniruan dan taqlid yang ada padanya.
Prinsip adalah garis ynag harus mengatur perkembangan jaan , bukan sebaliknya.
Sedangkan tradisi aalah sejumlah benalu ynag tumbuh secara spontan di tengah ladang
pemikiran yang ada pada masyarakat tradisi adalah hasyisy 8candu) berbahaya ynag harus
dimusnahkan dan dijatuhkan dari pemikiran sesat.

0 Komeng:

Post a Comment

 
Copyright 2009 Intelektual-Muslim™