Subscribe:


ShoutMix chat widget

 
MUSIK adalah bahasa universal. Elemen Islam dan Tionghoa pun dipadukan dengan cantik oleh kelompok nasyid Lampion. Selain berdakwah, 5 anak muda etnis Tionghoa ini juga menggunakan nasyid untuk mematahkan stigma negatif soal Islam. Seperti apa hasil kreasi mereka di Lampion?

Alunan nada dan suara ini terdengar dari ruangan kecil di sudut bangunan sebuah lembaga bimbingan belajar di Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Malam itu Kelvin, Musthofa, Andrew, Ade, dan Heri yang tergabung dalam grup nasyid Lampion sedang latihan rutin. Kemampuan bernyanyi harus terus diasah mengingat mereka tengah menyiapkan album kedua. Rencananya akan keluar Ramadhan tahun ini.

Lampion bukanlah grup nasyid biasa. Sebagian besar personilnya berasal dari etnis Tionghoa. Mereka mengolah unsur budaya Tionghoa dalam lagu-lagu Islami yang mereka bawakan.
Berdiri sejak 1997, nama Lampion dipilih karena identik dengan budaya Tionghoa. Selain itu juga karena lampion itu menerangi, ungkap salah seorang personil, Andrew Fateh.

“Mengambil satu warna atau satu image di dalam dunia nasyid sendiri, Tionghoa muslim. Kemudian kita memilih lampion itu sebab kita ada cita-cita atau keinginan bahwa dakwah melalui kebudayaan ini bisa jadi penerang atau bisa jadi jalan supaya orang dapat cinta dan takut pada Allah dan Rasulallah. Makanya kita ambil penerang etnis Tionghoa dalam hal ini lampion.”

Satu-satunya
Sampai saat ini, Lampion masih satu-satunya grup nasyid Tionghoa di Indonesia. Personil Lampion saling bertemu lewat perkumpulan remaja di Mesjid Lautze, Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Lampion hadir untuk menunjukkan kalau komunitas muslim Tionghoa itu ada. Selain itu, dengan Lampion, mereka membuktikan kalau musik adalah bahasa universal. Dakwah pun disampaikan tak hanya kepada komunitas muslim, tapi juga non-muslim.

Kelvin, salah satu personil mengatakan, “Makanya kita sampaikan melalui seni budaya, lebih efektif dakwah dengan seni budaya dibandingkan ceramah karena kalau ceramah kita akan susah masuk ke orang-orang yang bukan muslim. Tapi kalau kita sebagai penyanyi atau pemusik di acara-acara umumpun yang sifatnya universal tidak atas nama agama islam juga jika kita punya peluang ngisi, kita bisa ngisi juga, itu salah satu tujuannya juga.”

Manggung
Lampion telah manggung di banyak tempat, di berbagai kota. Tahun 2005, mereka meluncurkan album perdana berjudul ‘Baiknya Tuhan’. Album ini laku terjual hingga 2000 kaset. Selama ini, mereka juga tak pernah mematok tarif mentas. Salah satu anggota Lampion, Musthofa mengatakan, ini komitmen mereka dalam berdakwah. Mereka bahkan pernah dibayar dengan buah-buahan.

“Di nasyid Lampion kita memang tidak menetapkan tarif, itulah yang abuya guru kami ajarkan bahwa kita nasyid ini untuk dakwah. Kalau untuk honor kita biasanya kita bicarakan langsung dengan pihak pengundang langsung, panitia langsung. Jadi jangan sampai pihak pengundang merasa diberatkan atau sebaliknya yang diundang yang diberatkan, jadi win-win solution-lah."

Dakwah
Lampion berdakwah lewat nasyid, menyebarkan ajaran Islam, khususnya ke kalangan masyarakat Tionghoa. Pentolan Lampion, Kelvin mengakui, ini tak mudah. Masih banyak masyarakat Tionghoa yang menanggap Islam identik dengan kemiskinan dan kekerasan.

“Jadi yang imagenya Islam itu bodoh, Islam itu miskin bahkan sekarang ditambah lagi ada bumbu-bumbunya teroris, jadi ditambah lagi. Jujur, di kalangan kita mungkin apalagi teman-teman yang mualaf yang baru masuk agama Islam image itu pasti ada, apalagi yang perempuan. Mau jadi istri ke berapa kamu? Jadi memang image yang seperti itu salah paham. Makanya tadi kita balik lagi ke tujuan Lampion. Salah satu tujuan kita menyampaikan dakwah kepada Tionghoa yang bukan muslim. Kita kasih lihat bahwa Islam itu sebetulnya indah, Islam itu sebetulnya berkasih sayang,” ujar Kelvin.

Muslim Tionghoa
Tidak ada catatan pasti tentang awal keberadaan Muslim Tionghoa di Indonesia. Jejak Muslim Tionghoa di Indonesia sendiri mulai banyak diketahui sejak kedatangan Laksamana Ceng Ho di sekitar abad 15. Di masa penjajahan Belanda, masyarakat dipecah berdasarkan kelas. Dampaknya, kelas Eropa, Timur Asing dan pribumi diperlakukan berbeda. Perbedaan itu yang diakui atau tidak, masih terbawa hingga kini.

Salah satu tempat yang sering jadi referensi kelompok Tionghoa untuk belajar Islam adalah Mesjid Lautze, di daerah pecinan Pasar Baru, Jakarta Pusat. Data menyebutkan, sepanjang 2010 ada 79 orang yang jadi mualaf di mesjid tersebut. Yayasan Haji Karim Oei yang menaungi Mesjid Lautze mengatakan, sejak mesjid berdiri pada 1991, sudah lebih 1000 warga keturunan Tionghoa yang menjadi Muslim.

Tantangan
Tantangan bukan hanya dari keluarga. Ada juga pandangan curiga dari kalangan muslim yang harus dihadapi ketika seorang Tionghoa memutuskan masuk Islam. Ketua Umum Yayasan Haji Karim Oei, Junus Jahja menceritakan kejadian seperti itu yang pernah terjadi di Mesjid Lautze.

“Satu waktu ada orang keturunan Tionghoa yang datang ke Lautze mau masuk Islam bicara dengan Lukman Harun, wah dicecar, diinvestigasi kayak polisi, kenapa masuk Islam? Apa mau mencari ini? Sampai itu anak ya bilang Pak Lukman, saya untuk datang ke sini aja ribut dulu di rumah, saya ditentang oleh orang tua saya, oleh kakak saya, sekarang saya datang malam-malam di maki-maki, wah malu Pak Lukman. Sebab kalau gitu pake syarat yang berat mana mau? Datang aja udah diinterogasi.”

Usaha untuk mengubah pandangan masyarakat Tionghoa yang masih mengidentikkan Islam dengan kekerasan ataupun kemiskinan terus dilakukan oleh kelompok nasyid Lampion. Termasuk dengan mendendangkan nasyid di mal, sehingga bisa didengarkan oleh masyarakat umum. Berdakwah melalui nasyid bagi masyarakat Tionghoa jadi misi besar Lampion. Tujuan utama mereka, kata Kelvin Ikhwan, adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. */hidayatullah.com

0 Komeng:

Post a Comment

 
Copyright 2009 Intelektual-Muslim™