Subscribe:


ShoutMix chat widget

5.07.2013

Perang Khandaq

Perang Khandaq, dinamakan juga perang Ahzab. Menurut Ibnu Ishaq, Urwah bin
Zubair , Baihaqi dan jumhur Ulama , sirah menyebutkan bahwa peperangan ini terjadi pada
bulan Syawwal tahun kelima Hijra. Ada juga yang mengatakan pada tahun keempat Hijra.
Pendapat yang terakhir ini dikemukakan oleh Musa bin Uqbah kemudian diriwayatkan oleh
Bukhari dan diikuti oleh Malik.

Sebabnya, karena beberapa pemimpin Yahudi dari Bani Nadlir berangkat ke Mekkah
untuk mendorong kaum Musyrikin Quraisy melancarkan perang terhadap Rasulullah saw.
Mereka berjanji :“Kami akan berperang bersama-sama kaliah hingga berhasil
menghancurkannya.“ Selanjutnya mereka berdalih dan meyakinkan bahwa :“Kepercayaan
kalian (orang-orang Quraisy) jauh lebih baik daripada agama Muhammad.“ Berkenaan
dengan mereka inilah Allah swt menurunkan firman-Nya :
„Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari al-Kitab ? Mereka
percaya kepada yang disembah selain Allah dan Thogut, serta mengatkaan kepada orangorang
kafir (Musyrik Mekkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya dariapda orang-orang
yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Siapa saja yang dikutuki Allah,
niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.“ QS an-Nisa 51-52
Maka mereka bersepakat bersama kaum Musyrikin Quraisy untuk memerangi kaum
Muslimin, pada hari yang telah ditentukan bersama.
Kemudian para pemimpin Yahudi itu mendatangi suku Ghathafan dan berhasil
mewujudkan persekutuan dengan mereka sebagaimana yang telah berhasil diciptakannya
dengan kaum musyrikin Quraisy. Selain bani Ghatfahan, turut bergabung pula Bani Fuzarah
dan Bani Murrah yang selama itu menyimpan dendam kesumat terhadap Islam.
Ketika Rasulullah saw mendengar berita keberangkatan mereka dari Mekkah, beliau
mengumumkannya kepada kaum Muslimin dan memerintahkan mereka untuk mengadakan
persiapan perang. Rasulullah saw meminta pandangan para sahabatnya dalam menghadapi
peperangan ini. Salman al-Farisi mengusulkan supaya digali parit di sekitar kota Madinah.
Kaum Muslimin mengagumi usulan ini dan menyetujuinya (karena cara ini belum pernah
dikenal oleh bangsa Arab dalam peperangan mereka). Kemudian bersama Rasulullah saw
kaum Muslimin keluar dari kota Madinah dan berkemah di lereng gunung Sila dengan
membelakanginya. Mereka mulai menggali parit yang memisahkan mereka dengan musuh
mereka. Waktu itu jumlah kaum Muslimin sebanyak tiga ribu sedangkan kaum Quraisy
bersama kabilah-kabilah lain berjumlah sepuluh ribu.
Gambaran kerja kaum Muslimin dalam menggali parit : Imam Bukhari meriwayatkan
dari Barra ra, ia berkata : Pada waktu perang Ahzab saya melihat Rasulullah saw menggali
parit dan mengusung tanah galian sampai saya tidak dapat melihat dada beliau yang berbulu
lebat karena tebalnya tanah yang melumurinya. Diriwayatkan dari Anas ra, bahwa kaum
Anshar dan Muhajirin menggali parit dan mengusung tanah galian seraya mengucapkan :
„Kami adalah orang-orang yang telah berbaiat kepada Muhammad untuk setia kepada Islam
selama kami masih hidup.“
Ucapan ini dijawab oleh Rasulullah saw :
„Ya, Allah sesungguhnya tiada kebaikan kecuali kebaikan akherat maka berkatilah kaum
Anshar dan Muhajirin.“
Imam Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Jabir ra, ia berkata : Ketika
kami sedang sibuk menggali parit di Khandaq kami temukan sebongkah batu besar yang sukar
untuk dipecahkan. Para sahabat melapor kepada Nabi saw :“Sebongkah batu menghambat
kelancaran kami dalam penggalian Khandaq“.
Kata Nabi saw : „Biarkan aku yang turun.“ Kemudian beliau segera bangkit, sedang
perut beliau diganjal dengan batu. Sebelumnya kami tidak pernah merasakan makanan apa
pun selama tiga hari. Nabi saw segera mengambil martil dan dipukulkannya di atas batu itu
hingga hancur berupa pasir.
Kata Jabir ra : Aku katakan kepada Rasulullah saw ,“ Ya Rasulullah ijinkanlah aku
untuk pulang sebentar.“ Sesampaiku di rumahku aku katakan kepada istriku,“ Aku lihat
sesuatu pada diri beliau yang tidak boleh kita biarkan. Adakah kamu mempunyai sesuatu ?“
Jawab istriku :“Ya, aku punya gandum dan seekor anak kambing.“ Kemudian anak
kambing itu segera kusembelih dan gandum itu kutumbuk. Daging kambing itu kumasak
dalam periuk dan tepung gandum kumasukkan ke dalam pembakaran roti. Aku kembali ke
tempat Nabi saw dan kutakan :“Ya, Rasulullah saw , aku ada sedikit makanan. Datanglah
engkau ke rumahku bersama seorang atau dua orang sahabatmu.“
Tanya Nabi saw ,“ Berapa banyakkah makanan itu?“ Setelah kusebutkan jumlah
makanan itu beliau berkata ,“Itu cukup banyak dan baik. Katakan pada istrimu jangan
diangkat masakan itu dari atas tungku dan roti itu jangan pula sampai dikeluarkan dari tempat
pembakarannya sebelum aku datang ke sana.“
Kemudian Nabi saw memanggil kaum Muhajirin dann Anshar,“Bangkitlah kalian!“ Di
dalam riwayat lain disebutkan : Kemudian Nabi saw berteriak memanggil,“ Wahai para
penggali parit , mari kita datang. Sesungguhnya Jabir telah memasak makanan besar.“
Ketika aku masuk ke tempat istriku kukatakan padanya ,“ Nabi saw datang bersama
kaum Muhajirin dan Anshar dan orang yang bersama mereka.“
Tanya istriku :“Apakah beliau menanyakan berapa banyak makanan kita ? Jawabku
:“Ya.“ Istriku berkata, „Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.“
Kemudian Nabi saw datang seraya berkata :“Masuklah kalian dan jangan berdesakan.“
Kemudian Nabi saw memotong-motong roti dan dicampurkan pada daging serta kuah
yang ada di periuk. Kemudian beliau mendekatkan hidangan kepada para sahabat sedang
beliau tetap memotong-motong roti itu dan dalam waktu yang bersamaan para sahabat makan
dengan puas sampai kenyang.
Mereka semuanya kenyang, sedangkan roti dan kuah masih tetap banyak sisanya.
Beliau berkata ,“Makanlah ini dan bagikanlah kepada orang banyak karena kini sedang terjadi
musim paceklik.“
Di dalam riwayat lain Jabir menurutkan :“Aku bersumpah dengan nama Allah. Mereka
telah makan hingga mereka pergi dan meninggalkan daging di dalam periuk kami masih tetap
utuh, demikian pula roti kami.“
Sikap orang-orang Munafiq dalam penggaalian Khandaq.
Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa orang-orang munafiq merasa enggan dalam
mengerjakan penggalian parit bersama Nabi saw dan kaum Muslimin. Mereka sengaja
menampakkan diri seperti orang lemas dan tidak memiliki kemampuan. Bahkan banyak yang
melarikan diri ke rumah tnapa sepengetahuan Rasulullah saw. Sedangkan setiap orang dari
kaum Muslimin apabila mempunyai keperluan, ia pasti meminta ijin kepada Rasulullah saw
dan kembali lagi melaksanakan tugas penggaliannya. Berkenaan dengan sikap ini Allah
menurunkan firman-Nya :
„Sesungguhnya yang sebenar-benar mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya dan apabila mereka bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang
memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta ijin
kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta ijin kepadamu (Muhammad) mereka
itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka apabila mereka meminta
ijin kepadamu karena sesuatu urusan, berilah ijin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara
mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.“ QS An-Nur : 62
Bani Quraidlah melanggar Perjanjian
Huyay bin Akhthab pergi mendatangi Ka‘ab bin Asad al-Qardli, mengajaknya untuk
melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama Rasulullah saw. Huyay bin Akhthab
berkata kepadanya ,“ Aku datang kepadamu dengan membawa pasukan Quraisy beserta para
pemimpinnya yang telah kuturunkan di sebuah lembah di dekat Raumah, dan suku Ghatfahan
beserta para tokohnya yang telah kuturunkan di ujung Nurqma di samping Uhud. Mereka
telah berjanji kepadaku untuk tidak meninggalkan temapat sampai kita berhasil menumpas
Muhammad dan orang-orang yang bersamanya.“ Ka‘ab menjawab :“Demi Allah, kamu
datang kepadaku dengan membawa kehinaan sepanjang jaman … Celaka engkau wahai
Huyay. Tinggalkan dan biarkanlah aku karena aku tidak melihat Muhammad kecuali sebagai
seorang yang jujur dan setia.“ Tetapi Huyay terus mendesaknya hingga pada akhirnya Ka‘ab
bersedia untuk melakukan pengkhianatan terhadap perjanjian tersebut.
Setelah mendengar berita ini Rasulullah saw segera mengutus Sa‘ad bin Muadz untuk
menyelidikinya. Kepadanya Nabi saw berpesan agar berbicara kepada Huyay dengan bahasa
kiasan yang difahaminya jika berita itu benar, dan agar tidak memberikan peluang kepada
orang banyak untuk menggunakan kekuatannya. Jika berita ini tidak benar maka hendaknya
segera diumumkan kepada khalayak ramai. Setelah melacak berita dan ternyata berita itu
benar maka Sa‘ad pun segera kembali kepada Rasulullah saw melaporkannya,“Ya, mereka
telah melanggar perjanjian sebagaimana suku Adhal dan Qarah.“ Lalu Rasulullah saw
mengatakan :
„Allah Maha Besar, bergembiralah wahai kaum Muslimin.“
Keadaan kaum Muslimin pada waktu itu
Kaum Muslimin mendapat kepastian bahwa Bani Quraidlah telah melanggar
perjanjian. Pada saat yang sama kaum Munafiqin pun menyebarkan bibit-bibit keraguan dan
perpecahan di kalangan kaum Muslimin. Sementara musuh datang dari segala penjuru arah.
Kaum Munafiq terus melancarkan tikaman dari dalam. Salah seorang dari kaum Munafiq itu
berkata :“Dulu Muhammad menjanjikan bahwa kita akan memakan harta kekayaan Kisra dan
Kaisar, tetapi sekarang untuk pergi membuang hajat pun kita tidak aman.“
Melihat keadaan kaum Muslimin yang semakin terancam ini maka Rasulullah saw
meminta pandangan Sa‘ad bin Muadz dan Sa‘ad bin Ubadah untuk melakukan perdamaian
dengan kabilah Ghatfahan dengan memberikan sepertiga hasil panen kota Madinah agar
mereka bersedia untuk tidak ikut memerangi kaum Muslimin. Keduanya menjawab :“Wahai
Rasulullah saw , apakah pemikiran ini merupakan perintah yang engkau inginkan agar kami
melaksanakannya ataukah perintah yang diperintahkan oleh Allah kepadamu, ataukah sekedar
kebijaksanaan yang engkau ambil untuk meringankan kami?“. Nabi saw menjawab , „Hanya
sekedar kebijaksanaan yang aku ambil untuk menghancurkan kepungan mereka terhadap
kalian.“ Pada saat itu SA‘ad bin Muadz berkata kepada Nabi saw ,“ Demi Allah, kita tidak
perlu mengambil langkah itu. Demi Allah kami tidak akan rela memberikan sesuatu kepada
mereka selain daripada pedang sampai Allah memutuskan sesuatu antara kami dan mereka.“
Setelah mendengar ucapan Sa‘ad bin Muadz ini wajah Rasulullah saw kelihatan berseri dan
berkata kepadanya :“Engkau dan apa yang engkau inginkan“
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Ashim bin Amer bin Qatadah dari Muhammad bin
Muslim bin Syihab Az-Zuhri berkata : Pernyataan dan keinginan berdamai (antara kaum
Muslimin dan Ghatfahan) itu tidak lain hanyalah sebagai manuver belaka.
Dalam pada itu kaum Musyrikin dikejutkan oleh parit di hadapannya. Mereka berkata ,
sungguh ini merupakan tipu daya yang tidak pernah dilakukan oleh bangsa Arab. Kemudian
mereka mengambil posisi dan berkemah di sekitar parit mengepung kaum Muslimin. Tetapi
tidak terjadi pertempuran kecuali beberapa orang Musyrik yang berusaha menyeberangi parit
di suatu sudut yang sempit dan berhasil dicegat oleh kaum Muslimin. Dalam usaha ini
sebagian mereka kembali dan sebagian yang lain terbunuh. Di antara orang Musyrik yang
terbunuh itu terdapat Amer bin Wudd. Ia dibunuh oleh Ali bin Abi Thalib.
Kekalahan kaum Musyrikin tanpa peperangan
Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin dalam perang Khandaq ini
tanpa melalui pertempuran. Allah mengalahkan mereka dengan dua sarana yang tidak
melibatkan kaum Muslimin sama sekali. Pertama, dengan seorang lelaki dari kaum Musyrikin
bernama Nu‘aim bin Mas‘du, yang datang kepada Nabi saw menyatakan diri masuk Islam
yang kemudian menawarkan diri kepada Nabi saw untuk melaksanakan segala bentuk
perintah yang diinginkan oleh Nabi saw. Lalu Nabi saw memberikan tugas untuk memecah
kekuatan musuh. Kepadanya Nabi saw berpesan :
„Diantara kita, engkau adalah satu-satunya orang yang dapat melaksanakan tugas itu. Bila
engkau sanggup, lakukanlah tugas itu untuk menolong kita. Ketahuilah bahwa peperangan,
sesungguhnya adalah tipu muslihat.“
Nu‘aim kemudian segera pergi mendatangi orang-orang Bani Quraidlah untuk
meyakinkan. Mereka mengira Nu‘aim masih sebagai seorang Musyrik agar mereka tidak turut
berperang bersama-sama kaum Quraisy sebelum mendapat jaminan dari mereka berupa
beberapa orang terkemuka sebagai sandera, supaya kaum Quraisy tidak mundur
meninggalkan mereka sendirian di Madinah tanpa pembela dalam menghadapi Muhammad
dan para sahabatnya. Mereka menjawab :“Engkau telah memberikan suatu pendapat yang
amat baik.“
Setelah itu Nu‘aim pergi mendatangi pemimpin-pemimpin Quraisy. Kepada mereka
Nu‘aim memberitahukan bahwa Bani Quraidlah telah menyesal atas apa yang mereka lakukan
dan secara sembunyi-sembunyi mereka telah melakukan kesepakatan bersama Nabi saw
untuk menculik beberapa pemimpin Quraisy dan Ghatfahan untuk diserahkan kepada Nabi
saw untuk dibunuhnya. Karena itu, bila orang-orang Yahudi itu datang kepada kalian untuk
meminta beberapa orang sebagai sandera, janganlah kalian menyerahkan seorang pun kepada
mereka.
Nu‘aim kemudian pergi mendatangi orang-orang Bani Quraidlah. Kepada mereka ia
mengemukakan apa yang dikemukakannya kepada orang-orang Quraisy. Demikianlah
akhirnya terjadi salah paham di antara mereka dan saling tidak mempercayai. Sehingga
masing-masing dari mereka menuduh terhadap yang lainnya sebagai berkhianat.
Kedua, dengan mengirimkan angin taufan pada malam hari yang dingin dan
mencekam. Angin taufan datang menghempaskan kemah-kemah mereka dan menerbangkan
kuali-kuali mereka. Hal ini terjadi setelah mereka melakukan pengepungan kepada kaum
Muslimin selama sepuluh hari lebih.
Muslim meriwayatkan dengan sanad-nya dari Hudzaifah bin al-Yaman ra, ia berkata
:“Pada suatu malam dalam situasi perang Ahzab, kami bersama Rasulullah saw merasakan
tiupan angin yang sangat kencang, dan dingin mencekam. Kemudian Rasulullah saw bersabda
:“Adakah orang yang bersedia mencari berita musuh dan melaporkannya kepadaku, mudahmudahan
Allah menjadikannya bersamaku pada Hari Kiamat.“ Kami semua diam, tak seorang
pun dari kami menjawabnya. Rasulullah saw mengulangi pertanyaan itu sampai tiga kali.
Kemudian berkata :"“Bangkitlah wahai Hudzaifah, carilah berita dan laporkanlah kepadaku.“
Maka tidak boleh tidak aku harus bangkit, karena beliau menyebut namaku. Nabi saw
berpesan :“Berangkatlah mencari berita musuh dan janganlah engkau melakukan tindakan
apapun.“ Ketika aku berangkat dari sisinya aku berjalan seperti orang yang sedang
dicengkeram kematian, hingga aku tiba di basis mereka. Kemudian aku lihat Abu Shofyan
sedang menghangatkan punggungnya di perapian. Lalu aku pasang anak panah di busur untuk
memanahnya, tetapi aku segera teringat pesan Rasulullah saw,“Janganlah engkau melakukan
tindakan apapun.“ Kalau aku panahkan pasti akan mengenai pahanya. Kemudian aku kembali
dengan berjalan seperti orang yang sedang dalam cengkeraman maut. Setelah aku datang
kepada Nabi saw dan menyampaikan berita tentang kaum Musyrikin, Nabi saw menyelimuti
aku dengan kainnya yang biasa dipakai untuk shalat. Malam itu aku tidur sampai pagi dan
dibangunkan oleh Nabi saw seraya berkata ,“Bangun, hai tukang tidur.“
Ibnu Ishaq meriwayatkannya dengan tambahan : Kemudian aku masuk di kalangan
kaum Musyrikin, ketika angin dan tentara-tentara Allah sedang mengobrak-abrik mereka,
menerbangkan kuali, memadamkan api, dan menumbangkan perkemahan. Kemudian Abu
Shafyan bangkit seraya berkata :“ Wahai kaum Quraisy, setiap orang hendaknya melihat siapa
teman duduknya ?“ Hudzaifah berkata :“Kemudian aku memegang tangan orang yang berada
di sampingku lalu aku bertanya kepadanya :“Siapakah anda ?“ Dia menajwab :“Fulan bin
Fulan. Selanjutnya Abu Shofyan berkata :“Wahai kaum Quraisy, demi Allah swt, kalian tidak
mungkin lagi dapat terus berada di tempat ini. Banyak ternak kita yang mati. Orang-orang
Bani Quraidlah telah menciderai janji dan kita mendengar berita yang tidak menyenangkan
tentang sikap mereka. Kalian tahu sendiri kita sekarang sedang menghadapi angin taufan yang
hebat. Karena itu, pulang sajalah kalian, dan aku pun akan berangkat pulang.“
Pada keesokkan harinya seluruh kaum Musyrikin kembali meninggalkan medang
perang, dan Rasulullah saw pun bersama para sahabatnya kembali ke Madinah.
Selama perang Ahzab ini berlangsung Nabi saw tidak henti-hentinya, siang malam
senantiasa beristighfar, merendahkan diri, dan berdo'a kepada Allah untuk kemenangan kaum
Muslimin. Di antara do'a yang diucapkannya ialah :
Ya, Allah, Tuhan yang menurunkan kitab (Al-Quran) yang Maha cepat hisab-Nya,
kalahkanlah barisan Ahzab (golongan Musyrikin). Kalahkanlah dan guncangkanlah mereka.“
Pada peperangan ini Nabi saw luput satu waktu shalat kemudian dilaksanakan (qadla)
di luar waktunya. Di sebutkan di dalam Ash-Shahihain bahwa Umar bin Khathab ra datang,
waktu perang Ahzab, setelah matahari terbenam kemudian dia mengecam orang-orang kafir
Quraisy lalu berkata :“Wahai Rasulullah saw ! Aku belum sempat shalat Ashar sampai
matahari hampir terbenam.“ Nabi saw menjawab :“Demi Allah , aku sendiripun belum shalat
(Ashar).“ Lalu kami berangkat ke tempat air dan berwudlu. Kemudian Nabi saw shalat Ashar
setelah matahari terbenam. Setelah itu Nabi saw melanjutkan dengan shalat maghrib.
Imam Muslim menambahkan Hadits lainnya bahwa Nabi saw bersabda pada perang
Ahzab,“Mereka (kaum Musyrikin) telah menyibukkan kita sehingga kita tidak sempat Shalat
Ashar. Semoga Allah swt memenuhi rumah-rumah dan kuburan-kuburan mereka dengan api.
Kemudian Nabi saw melaksanakan (shalat Ashar) antara Maghrib dan Isya‘
Beberapa Ibrah.
Peperangan ini juga terjadi karena pengkhianatan dan tipu muslihat orang-orang
Yahudi. Merekalah yang menggerakkan menghasut dan menghimpun golongan (Ahzab) dan
kabilah itu. Kejahatan dan pengkhianata ini tidak cukup dilakukan oleh orang-orang Yahudi
Bani Nadlir yang telah diusir dari Madinah. Bahkan Banu Quraidlah pun yang masih terikat
perjanjian bersama kaum Muslimin kini telah melakukannya. Padahal tidak ada satu pun
tindakan kaum Muslimin yang mengundang mereka untuk melanggar perjanjian tersebut.
Kita tidak perlu mengulas kembali peristiwa pengkhianatan ini, karena pengkhianatanpengkhianatan
seperti ini telah menjadi catatan sjearah yang sudah dikenal pada setiap jaman
dan tempat.
Sekarnag , mari kita kembali kepada peristiwa-peristiwa yang telah kami bentangkan
dalam peperangan ini, untuk mencatat beberapa pelajaran dan hukum yang terkandung di
dalamnya.
1.- Di antara sarana perang yang digunakan oleh kaum Muslimin dalam peperangan ini ialah
penggalian parit. Perang dengan menggali parit ini merupakan peperangan yang pertama kali
dikenal dalam sejarah bangsa Arab dan Islam. Karena taktik dan teknik peperangan seperti ini
biasanya dikenal oleh bangsa Ajam (non-Arab). Seperti anda ketahui bahwa orang yang
mengusulkan cara ini dalam perang Ahzab ialah Salman al-Farisi. Nabi saw sendiri
mengagumi usulan ini dan segera mengajak para sahabatnya untuk melaksanakannya.
Ini merupakan salah satu dari sejumlah dalil yang menunjukkan bahwa ,“Pengetahuan
adalah milik kaum Muslimin yang hilang. Di mana saja didapatinya maka mereka berhak
mengambilnya daripada orang lain.“ Sesungguhnya syariat Islam, sebagaimana melarang
kaum Muslimin mengikuti orang lain secara membabi buta, juga mengajukan kepada mereka
untuk mengambil dan mengumpulkan nilai-nilai kebaikan dan prinsip-prinsip yang
bermanfaat di mana saja didapatinya. Kaidah Islam dalam masalah ini ialah bahwa seorang
Muslim tidak boleh mengabaikan akalnya yang merdeka dan pikirannya yang cermat dalam
segala perilaku dan urusannya. Dengan demikian maka dia tidakakan dapat dikuasai dan
dibawah ke mana saja oleh sistem yang bisa diterima oleh akal sehat dan sesuai dengan
pirnsip-prinsip syariat Islam.
Sikap yang digariskan Allah swt kepada seorang Muslim ini hanya munculdari sumber
utama yaitu kehormatan yang ditetapkan Allah swt kepada manusia sebagai tuan (pemimpin)
segenap makhluk. Praktek ubudiyah kepada Allah swt dan kepatuhan tehradap Hukum-hukum
Syariatnya hanyalah merupakan jaminan untuk memelihara kehormatan dan kepemiminan
tersebut.
2.- Apa yang telah kami sebutkan tentang kerja para sahabat bersama Rasulullah saw dalam
menggali parit merupakan suatu pelajaran besar yang menjelaskan hakekat persamaan yang
ditegakkan oleh masyarakat Islam di antara seluruh anggotanya. Ia juga bukan sekedar slogan
yang menarik untuk mengelabui masyarakat. Tetapi merupakan asas yang benar-benar
memancarkan semua nilai dan prinsip Islam baik secara lahiriah ataupun batiniah.
Anda lihat bahwa Rasulullah saw tidak memerintahkan kaum Muslimin untuk
menggali parit sementara dia sendiri pergi ke istana mengawasi mereka dari kejauhan. Beliau
juga tidak datang kepada mereka dalam suatu pesta yang meriah untuk meletakkan batu
pertama pertanda dimulainya pekerjaan kemudian setelah itu pergi meninggalkan mereka.
Tetapi Rasulullah saw secara langsung berperan aktif menggali bersama para sahabatnya
sampai pakaian dan badannya kotor bertaburan debu dengan tanah galian sebagaimana para
sahabatnya. Mereka bersahut-sahutan mengucapkan senandung ria, maka beliau pun ikut
bersenandung untuk menggairahkan semangat mereka. Mereka merasakan letih dan lapar,
maka beliau pun yang yang paling letih dan lapar di antara mereka. Itulah hakekat persamaan
antara penguasa dan rakyat, antara orang kaya dan orang miskin, antara Amir dan rakaya
jelata, yang ditegakkan oleh syariat Islam. Seluruh cabang syariat dan hukum Islam
didasarkan kepada prinsip ini dan untuk menjamin terlaksananya hakekat ini.
Tetapi janganlah anda menamakan hal ini dengan istilah demokrasi dalam perilaku
atau pemerintahan. Prinsip persamaan dan keadilanini sama sekali tidak dapat dipersamakan
dengan demokrasi manapun. Karena sumber keadilan dan persamaan dalam Islam ialah
ubudiyah kepada Allah swt yang merupakan kewajibab seluruh manusia. Sedangkan sumber
demokrasi ialah pendapat mayoritas atau mempertuankan pendapat mayoritas atas orang lain,
betapa pun wujud dan tujuan pendapat tersebut.
Oleh karena itu, Syariat Islam tidak pernah memberikan hak istimewa kepada
golongan atau orang tertentu. Juga tidak pernah memberikan kekebalan kepada kelompok
tertentu betapapun motivasi dan sebabnya, karena sifat ubudiyah (kehambaan kepada Allah
swt) telah meleburkan dan menghapuskan semua itu.
3.- Dalam peristiwa sirah ini pula terkandung pelajaran lain yang mengungkapkan potret
Kenabian dalam sosok kepribadian Nabi saw. Menampakkan kecintaan para sahabat kepada
Nabi saw dan kasih sayangnya kepada mereka. Dan memberikan contoh lain dari perkara luar
biasa dan mukjizat yang dianugerahkan Allah kepada Nabi-Nya.
Pribadi Kenabiannya tampak pada perjuangannya menghadapi rasa lapar yang
dialaminya pada saat bekerja bersama para sahabatnya , sampai-sampai beliau mengikatkan
batu pengganjal ke perutnya untuk menghilangkan rasa nyeri dan sakit di lambungnya akibat
lapar. Apakah gerangan yang membuat beliau tahan menghadapi penderitaan dan kesulitan
seperti ini ? Adakah karena ambisinya kepada kepemimpinan ? Ataukah karena kerakusannya
terhadap harta kekayaan dan kekuasaan ? Ataukah karena keinginannya untuk mendapatkan
pengikut yang selalu mengawalnya setiap saat ? Semua itu bertentangan dengan diametral
dengan penderitaan dan perjuangan yang dilakukannya itu. Orang yang tamak atas
kedudukan, kekuasaan atau kekayaan tidak akan tahan bersabar menanggung penderitaan
seperti ini.
Yang membuatnya sanggup menghadapi semua itu hanyalah tanggung jawab Risalah
dan amanah yang dibebankan kepadanya untuk menyampaikan dan memperjuangkannya
kepada manusia dalam suatu perjuangan yang memiliki tabiat seperti itu. Itulah pribadi
Kenabian yang tampak pada kerjanya bersama sahabat ketika menggali parit.
Sedangkan kecintaan Nabi saw kepada para sahabatnya dapat anda lihat jelas dalam
sikap responsifnya terhadap undangan Jabir untuk menikmati hidangan yang hanya sedikit itu.
Sesuatu yang mendorong Jabir untuk mengundang Nabi saw ialah pemandangan yang
menyedihkan. Yaitu ketika melihat Nabi saw mengikatkan baru ke perutnya karena menahan
lapar. Jabir tidak mendapatkan makanan di rumahnya kecuali untuk beberapa orang, sehingga
dia mengundang beberapa orang saja.
Tetapi mungkinkah Nabi saw meninggalkan para sahabatnya bekerja sambil menahan
lapar sementara dirinya bersama tiga atau empat orang sahabatnya beristirahat menikmati
hidangan ? Sesungguhnya kasih sayang Nabi saw kepada para sahabatnya lebih besar
ketimbang kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.
Jabir terpaksa melakukan tindakan itu, sebenarnya wajar, karena dia sebagaimana
manusia biasa tidak dapat bertindak kecuali sesuai dengan sarana material yang dimilikinya.
Makanan yang ada padanya tidak mencukupi, menurut ukuran manusia biasa, kecuali untuk
beberapa orang saja, sehingga dia hanya mengundang Nabi saw dan beberapa orang
sahabatnya.
Namun Nabi saw tidak akan pernah terpengaruh oleh pandangan Jabir tersebut.
Pertama, karena tida mungkin Nabi saw mengutamakan dirinya daripada para sahabatnya
dalam menikmati hidangan dan istirahat. Kedua, karena tidak mungkin Nabi saw menyerah
kepada faktor.-faktor material dan batas-batasnya yang bisa membelenggu manusia. Tetapi
karena Allah swt, semata sebagai Pencipta segala sebab maka mudah bagi-Nya untuk
memberkati makanan yang sedikit sehingga mencukupi orang banyak.
Demikianlah Nabi saw, memiliki pandangan bahwa dirinya dan para sahabatnya
adalah saling takaful (sepenanggungan). Saling berbagi rasa baik dalam suka atau pun duka.
Oleh sebab itu, Nabi saw menyuruh Jabir pulang untuk mempersiapkan makanan bagi
mereka, sementara itu Nabi saw memanggil para sahabatnya untuk menikmati hidangan besar
di rumah Jabir.
Mukjizat yang terjadi dalam kisah ini ialah berubahnya seekor kambing kecil milik
Jabir menjadi makanan yang banyak dan mencukupi ratusan sahabat, bahkan masih bersisa
banyak sehingga Nabi saw mengusulkan kepada Sahibul bait (istri Jabir) agar membaginya
kepada orang lain. Mukjizat yang mengagumkan ini dianugerahkan kepada Nabi saw sebagai
penghargaan Ilahi karena cintanya kepada para sahabatnya dan sikapnya yang tidak mau
menyerah kepada faktor-faktor material karena keyakinannya kepada kekuasaan Allah swt,
yang mutlaq.
Apa yang saya inginkan dalam masalah ini ialah supaya para pembaca menyadari
adanya dukungan Ilahi yang diberikan kepada Nabi saw melalui sebab-sebab material. Hal itu
merupakan salah satu faktor terpentig untuk menonjolkan pribadi Kenabiannya kepada para
pengkaji dan pemangat sirah Nabi saw. Faktor ini dapat kita jadikan sebagai dalil yang kuat
untuk menghadapi mereka yang tidak mau mengakui aspek Kenabian pada pribadi
Muhammad saw.
4.- Apakah gerangan hikmah musyawarah Nabi saw kepada sebagian sahabatnya, untuk
menawarkan perdamaikan kepada banu Ghatfahan dengan imbalan memberikan sepertiga
hasil panen kota Madinah kepada mereka asalkan mereka bersedia menarik dukungannya
kepada kaum Quraisy dan golongan-golongan lainnya ? Apakah dalil Syariat yang dapat
dijadikan sebagai landasan pemikiran ini ?
Hikmahnya ialah bahwa Nabi saw mengetahui sejauh mana para sahabatnya itu telah
memiliki kekuatan moral dan sikap tawakal kepada pertolongan Allah swt pada saat
menghadapi kepungan kaum Musyrikin secara mendadak itu, di samping melihat
pengkhianatan yang dilakukan oleh banu Quraidlah. Sudah menjadi kebiasaan Nabi saw
seperti telah anda ketahui bahwa ia tidak suka menyeret para sahabatnya kepada suatu
peperangan atau petualangan yang mereka sendiri belum cukup memiliki keberanian untuk
memasikunya, atau tidak meyakini segi-segi positifnya. Hal ini termasuk salah satu uslub
tarbiyah Nabi saw yang paling menonjol kepada para sahabatnya. Oleh sebab itu, beliau
mengemukakan bahwa padnagan itu bukan ketetapan dari Allah, tetapi sekedar pandangan
yang dikemukakan dalam rangka, upaya menghancurkan kekuatan kaum Musyrikin apabila
mereka (para sahabat) tidak memiliki kemampuan untuk menghadapinya.
Dalil Syariat yang menjadi landasan pemikiran ini ialah prinsip bahwa syura itu
dilakukan pada masalah yang tidak ditegaskan oleh nash. Tetapi setelah itu tidak berarti
bahwa kaum Muslimin boleh memberikan sebagian tanah mereka atau hasil panen buminya
kepada musuh apabila mereka (musuh) menyerangnya, demi untuk menghentikan serangan.
Karena telah disepakati dalam dasar-dasar Syariat Islam bahwa tindakkan Rasulullah saw
yang dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil) ialah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya
yang telah dilaksanakannya, kemudian tidak ditentang oleh kitab Allah (al-Quran). Adapun
hal-hal yang masuk ke dalam batas-batas usulan (dalam permusyawaratan) dan dengar
pendapat semata-mata, tidak dapat dijadikan sebagai dalil. Karena diadakannya musyawarah
itu , pertama, mungkin sekedar untuk menjajagi mentalitas seperti yang kami sebutkan di atas.
Yakni sebagai amal tarbawi (pembinaan) semata-mata. Kedua, seandainya pun telah
dilaksanakan mungkin setelah itu datang sanggahan dari kitab Allah, sehingga tidak lagi
memiliki nilai sebagai dalil Syariat.
Tetapi para Ulama risah dalam masalah ini telah menyebutkan bahwa Nabi saw tidak
sampai menjadi mengadakan perdamaian dengan kabilah Ghatfahan. Bahkan sebenarnya Nabi
saw tidak pernah memiliki keinginan untuk berdamai dengan bani Ghatfahan. Apa yang
diusulkan hanyalah sekedar sebagai manuver dan penjajagan.
Hal ini kami katakan karena ada sementara pihak di masa sekarang ini yang
mengemukakan pendapat aneh : Bahwa Kaum Muslimin harus membayar jizyah (upeti)
kepada non-Muslim manakala diperlukan. Dengan alasan bahwa Nabi saw pernah meminta
pandangan para sahabatnya ketika perang Ahzab untuk melakukan hal tersebut.
Terlepas dari apa yang telah kami jelasnkan, bahkan usulan semata-mata yang
dikemukakan dalam pembahasan musyawarah tidak bisa dijadikan dalil. Kami tidak tahu apa
hubungannya antara jizyah dan sesuatu yang mungkin dapat mendamaikan atas kedua pihak
yang berperang itu ?
Mungkin anda bertanya : „Seandainya kaum Muslimin terpaksa karena lemah harus
melepas sebagian harta mereka demi untuk melindungi kehidupan mereka dan khawatir akan
dimusnahkan semuanya, apakah mereka tidak boleh melakukan itu ?
Jawabannya, banyak sekali kondisi yang menunjukkan betapa harta kaum Muslimin
dirampas dan dijadikan barang rampasan oleh musuh-musuhnya. Banyak kaum kafir yang
telah menyerbu negeri Islam dan menguras kekayaannya. Tetapi kaum Muslimin tidak
menerima kenyataan ini secara suka rela atau karena mengikuti fatwa. Mereka dipaksa harus
tunduk kepada kondisi tersebut. Kendatipun demikian mereka senantiasa menari dan
menunggu kesempatan untuk melawan musuh mereka. Anda tentunya tahu bahwa Hukum-hukum Syariat Islam ditujukan kepada orang-orang yang tidak dipaksa, sebagaimana tidak
ditujukan kepada anak-anak kecil atau orang gila.
Oleh karena itu, adalah keliru dan sia-sia belaka jika hukum taklifi itu ditetapkan
kepada orang-orang yang berada di luar batas taklif.
5.- Bagaimana dan dengan sarana apa kaum Muslimin berhasil memetik kemenangan atas
kaum Musyrikin dalam peperangan ini ?
Sebagaimana kita ketahui bahwa sarana yang digunakan Rasulullah saw dalam
peperangan ini (perang Khandaq) sama dengan sarana yang pernah digunakan dalam perang
Badr. Yaitu Sarana mendekatkan diri kepada Allah swt. Sarana inilah yang senantiasa
digunakan Rasulullah saw setiap kali menghadapi musuh di medan jihad. Sarana yang mutlak
harus digunakan oleh kaum Muslimin jika mereka ingin memetik kemenangan.
Bagaimana kaum Musyrikin yang berjumlah banyak itu bisa terkalahkan, setelah
kaum Muslimin menunjukkan keteguhan, kesabaran, dan kesungguhan dalam meminta
pertolongan kepada Allah swt. Dapat kita baca dalam penjelasan Allah swt di dalam firman-
Nya :
„Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah swt , (yang telah dikaruniakan)
kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin
taufan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan Allah Maha Melihat akan apa yang
kamu kerjakan. Yaitu ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika
tidak tetap lai perlihatanmu dan hatimu naik menesak sampai ke tenggorokkan dan kamu
menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka .. sampai dengan firman
Allah ,“Dan Alah yang menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereaka penuh
kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan
orang-orang Mukmin dari peperangan . Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.“ QS
al-Ahzab : 9-25
Sesungguhnya pertolongan Allah swt yang selalu terulang dalam peperanganpeperangan
Rasulullah saw ini tidak berarti menggalakkan kaum Muslimin untuk melakukan
„petualangan“ dan jihad tanpa persiapan dan perencanaan. Ia hanya menjelaskan bahwa setiap
Muslim harus mengethaui dan menyadari bahwa sarana kemenangan yang terpenting,
disamping sarana-sarana yang lainnya, ialah kesungguhan dalam meminta pertolongan kepada
Allah swt, dan mengikhlaskan ubudiyah hanya kepada-Nya. Seluruh sarana kekuatan tidak
akan berguna apabila sarana ini tidak terpenuhi secara baik. Jika sarana ini telah dipersiapkan
secara memadai oleh kaum Muslimin maka Ia (Allah swt) akan memberikan beraneka
mukjizat kemenangan.
Jika bukan karena pertolongan Allah swt dari manakah datangnya angin topan yang
memporak-porandakan tentara-tentara Musyrikin itu sementar akaum Muslimin tenang tanpa
merasakannya ? Di pihak Musyrikin angin itu menghempaskan kemah-kemah mereka,
menerbangkan kuali-kuali mereka , dan mengguncangkan hati mereka. Tetapi di pihak kaum
Muslimin ia adalah angin sejuk yang menyegarkan.
6.- Pada peperangan ini Rasulullah saw tidak sempat shalat Ashar karena kesibukkannya
menghadapi musuh sehingga beliau mengqadla-nya setelah matahari terbenanm. Di dalam
beberapa riwayat, selain dari Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa shalat yang terlewatkan
lebih dari satu shalat, kemudian Nabi saw melaksanakannya secara berturut-turut di luar
waktunya.
Ini menunjukkan dibolehkannya mengqadlah shalat yang terlewatkan. Kesimpulan ini
tidak dapat dibantah oleh pendapat yang mengatakan bahwa penundaan shalat karena
kesibukkan seperti itu dibolehkan pada waktu itu, namun kemudian dihapuskan ketika shalat
khauf disyariatkan kepada kaum Muslimin, baik yang berjalan kaki ataupun yang
berkendaraan. Tetapi penghapusan itu seandainya benar bukan terhadap dibolehkannya
mengqadlah. Ia hanya menghapuskan bolehnya menunda shalat karena kesibukkan. Yakni
penghapusan bolehnya menunda tidak berarti juga penghapusan terhadap bolehnya
mengqadlah. Dibolehkannya mengqadlah tetap sebagaimana ketentuan semula. Di samping
itu, dalil yang pasti menegaskan bahwa shalat khauf disyariatkan sebelum peperangan ini,
sebagaimana telah dibahas ketika membicarakan perang Dzatur Riqaa‘.
Di antara dalil lain yang menunjukkan bolehnya qadla shalat ialah riwayat yang
disebutkan di dalam Ash-Shahihain bahwa Nabi saw bersabda pada waktu berangkat kembali
ke Madinah dari perang Ahzab. „Janganlah ada seorang pun yang shalat Ashar (atau Zhuhur)
kecuali setelah sampai di bani Quraidlah.“ Kemudian di tengah perjalanan datanglah waktu
shalat Ashar. Sebagian berkata,“Kami tidak akan shalat sebelum smapai ke sana (Bani
Quraidlah)“. Sedangkan sebagian yang lainnya berkata,“Kami akan shalat, Beliau tidak
memaksudkan itu (melarang shalat)“. Akhirnya kelompok pertama melaksanakan shalat
setelah samapi di Banu Quraidlah sebagai shalat qadla.
Kewajiban mengqadlah shalat yang terlewatkan ini sama saja, baik terlewatkan karena
tidur, lalai atau sengaja ditinggalkan. Karena setelah adalnya dalil umum yang mwajibkan
qadlah shalat yang terlewatkan tidak ada dalil yang mengkhususkan syariat qadlah ini dengan
sebab-sebab tertentu. Para sahabat yang meninggalkan shalatnya di tengah perjalannya
menuju Bani Quraidlah itu bukan karena tidur atau lupa. Oleh sebab itu, adalah keliru jika
syariat qadlah shalat yang terlewatkan ini dikhususkan bagi orang yang tidak sengaja
melewatkannya. Tindakan ini seperti orang yang mengkhususkan qadlah shalat dengan shalat
wajib tertentu saja, tanpa landasan syariat.
Barangkali ada sebagian orang yang memahami hadits di bawah ini sebagai dalil yang
mengkhususkan keumuman syariat qadlah itu :
„Siapa saja yang shalatnya terlewatkan karena tertidur atau lupa maka hendaklah ia
melaksanakan pada waktu ia teringat.“
Tetapi pemahaman ini tidak dapat diterima. Sebab, tujuan utama Hadits ini bukan
hanya memerintahkan orang yang lupa dan tertidur untuk mengqadlah shalatnya, tetapi
tujuanyna ialah untuk menegaskan keterangan pada waktu ia teringat. Keterangan ini
menjelaskan bahwa orang yang ingin mengerjakan shalatnya yang terlewatkan tidak
disyariatkan untuk menunggu datangnya waktu shalat tersebut pada hari berikutnya. Tetapi ia
harus segera mengqadlah pada saat ia teringat, kapan saja. Dengan demikian mafhum
mukhalafah dari hadits di atas tidak dapat dibenarkan.

0 Komeng:

Post a Comment

 
Copyright 2009 Intelektual-Muslim™