Subscribe:


ShoutMix chat widget
Peperangan Pertama Yang Dilakukan Rasulullah saw
 
Telah kita katakan bahwa Hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang lebih kuat menyebutkan
bahwa permulaan disyariatkan peperangan ialah seudah Hijrah. Perintah perang ini
dilaksanakan pada bulan Shafar , awal bulan keduabelas sejak hijrah Nabi saw ke Madinah.
Saat itu Rasulullah saw keluar untuk pertama kali dengan tujuan perang. Peperangan ini
dikenal dengan perang „Widan“ yang bertujuan memerangi kaum Quraisy dan Nabi Hamzah.
Tetapi Rasulullah saw tidak melanjutkan peperangan karena Baniu hamzah menawarkan
perdamaian. Setelah itu Rasulullah saw, bersama para sahabatnya kembali ke Madinah tanpa
melakukan peperangan.

Perang Badar Kubra
 
Mendengar berita mengenai rencana kedatangan kafilah perdagangan kaum Quraisy dari
Syam di bawah pimpinan Abu Sofyan bin Harb, Rasulullah saw mengajak kaum Muslimin
langsung dibawah Komando Beliau untuk mencegat dan merampas kafilah tersebut, dengan
dalih sebagai ganti atas kekayaan mereka yang dirampas oleh kaum Musyrikin di Mekkah.
Anjuran Rasulullah saw ini , hanya disambut oleh sebagian kaum Muslimin, karena sebagian
yang lain menyangka tidak akan terjadi peperangan.
Di tengah perjalanan menuju Mekkah, Abu Sofyan mendengar bahwa kafilahnya akan
dihadang oleh kaum Muslimin. Maka diutuslah seorang kurir bernama Dhamdham bin Amer
al-Ghiffari ke Mekkah untuk menyampaikan berita kepada kaum Quraisy dan meminta
bantuan pasukan guna menyelamatkan harta kekayaan mereka. Demi mendengar berita ini,
seluruh kaum Quraisy dengan serta merta mempersiapkan diri, bersiaga penuh dan berangkat
keluar dengan tujuan perang. Tak seorang pun dari para tokoh Quraisy yang tertinggal dari
keberangkatan pasukan yang berjumlah sekitar seribu personil ini.
Sementara itu, menurut riwayat Ibnu Ishaq, Rasulullah saw keluar bersama dengan
314 sahabatnya pada suatu malam di bulan Ramadan dengan membawa 70 ekor unta. Setiap
ekor unta ditunggangi secara bergantian oleh dua atau tiga orang. Mereka tidak mengetahui
akan keberangkatan bala bantuan kaum Quraisy tersebut. Dalam pada itu, kafilah Abu Sofyan
berhasil lolos meninggalkan dan menyusuri air Badr dengan melalui jalan pantai menuju ke
arah Mekkah. Akhirnya ia berhasil menyelamatkan kafilah dan perniagaannya dari ancaman
bahaya.
Setelah mendengar berita keberangkatan kaum Quraisy , Rasulullah saw segera
meninta pandangan dari para sahabatnya. Kaum Muhajirin mendukung dan memandang baik
pendirian beliau. Di antaranya al-Miqdad bin Amer dengan tegas menyatakan :“Ya
Rasulullah saw , laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Allah kepada anda. Kami tetap
bersama anda.“ Tetapi Rasulullah saw terus memandang ke arah mereka dan
berkata.“Kemukakanlah pandangan kalian kepadaku, wahai manusia.“ Kemudian Sa‘d bin
Mu‘adz menjawab:“Demi Allah, tampaknya anda menghendaki ketegasan sikap kami, wahai
Rasulullah saw ?“ Nabi saw menjawab:“ Ya Rasulullah saw , laksanakanlah apa yang telah
diperintahkan Allah kepada anda. Kami tetap bersama anda.“ Tetapi Rasulullah saw terus
memandang ke arah mereka dan berkata.“Kemukakanlah pandangan kalian kepadaku, wahai
manusia.“ Kemudian Sa‘d bin Mu‘adz menjawab:“Demi Allah, tampaknya anda
menghendaki ketegasan sikap kami, wahai Rasulullah saw ?“ Nabi saw menjawab:“ Ya,
benar!“ Sa‘d menjawab:“ Kami telah beriman kepada anda, dan kami pun membenarkan
kenabian dan kerasulan anda. Kami juga telah menjadi saksi bahwa apa yang anda bawa
adalah benar. Atas dasar itu kami telah menyatakan janji dan kepercayaan kami untuk
senantiasa taat dan setia kepada anda. Jalankanlah apa yang anda kehendaki, kami tetap
bersama anda. Demi Allah, seandainya anda menghadapi lautan dan anda terjun ke dalamnya
, kami pasti akan terjun bersama anda.“
Mendengar jawaban Sa‘d ini Rasulullah saw merasa puas dan senang, kemudian
beliau memerintahkan :
„Berangkatlah dengan hari gembira, karena sesungguhnya Allah swt telah menjanjikan
kepadaku salah satu di antara dua golongan… Demi Allah aku seolah-olah melihat tempattempat
mereka bergelimpangan….“
Setelah itu Rasulullah saw mulai mencari berita tentang pasukan Quraisy melalui para
intel yang disebarkannya, sehingga kaum Muslimin mengetahui bahwa mereka berjumlah
sekitar sembiln ratus atau seribu orang dan bahwa mereka datang disertai seluruh tokoh kaum
Musyrikin.
Sebenarnya Abu Sofyan telah mengirim seorang kurir ke Mekkah, memberitahukan
bahwa kafilah telah selamat. Tetapi Abu Jahal tetap bersikeras untuk melanjutkan perjalanan,
sembari mengatakan :
„Demi Allah, kami tidak akan pulang sebelum tiba di Badr. Di sana kami akan tinggal selama
tiga hari memotong ternak, makan beramai-ramai dan minum arak sambil menyaksikan
perempuan-perempuan menyanyikan lagu-lagu hiburan. Biarlah seluruh orang Arab
mendengar tentang perjalanan kita semua dan biarlah mereka tetap gentar kepada kita selamalamanya.“
Kemudian mereka bergerak sampai tiba di pinggir sebelah seberang lembah Badr.
Sedangkan Rasulullah saw telah tiba di pinggir lembah seberang lain dengan posisi nyaris
sehadap dengan lawan, dekat mata air Badr. Al Habbab bin Mundzir bertanya kepada
Rasulullah saw :
„Ya Rasulullah saw , apakah dalam memilih tempat ini anda menerima wahyu dari Allah swt,
yang tidak dapat diubah lagi? Ataukah berdasarkan tipu muslihat peperangan ? Rasulullah
saw menjawab:““Tempat ini kupilih berdasarkan pendapat dan tipu muslihat peperangan“. Al-
Habbab mengusulkan :“Ya Rasulullah saw , jika demikian, ini bukan temapt yang tepat.
Ajakalh pasukan pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh, kita membuat kubu
pertahanan di sana dan menggali sumur-sumur di belakangnya. Kita membuat kubangan dan
kita isi dengan air hingga penuh. Dengan demikian kita kana berperang dalam keadaan
mempunyai persediaan air minum yang cukup, sedangkan musuh tidak akan memperoleh air
minum.“ Rasulullah saw menjawab:“pendapatmu sungguh baik.“
Rasulullah saw kemudian bergerak dan pindah ke tempat yang diusulkan oleh Habbab. Di
samping itu SA‘d bin Mu‘adz mengusulkan supaya dibuatkan ‚Arisy (kemah) untuk Nabi
saw, sebagai tempat perlindungan, dengan harapan supaya bila ada sesuatu dan lain hal yang
tidak diharapkan tejradi, Nabi saw dapat kembali dengan mudah dan selamat kepada kaum
Muslimin di Madinah dan agar mereka tidak lemah semangat karena ketidak beradaan Nabi
saw di antara mereka. Usulan ini disetujui Nabi saw kemudian Rasulullah saw menenangkan
jiwa para sahabatnya dengan adanya dukungan dan pertolongan Allah swt, sampai-sampai
Rasulullah saw menegaskan kepada mereka :“Di sini tempat kematian si Fulan dan si Fulan (
dari kaum Musyrikin)“, seraya meletakkan telapak tangannya di atas tanah.
Akhirnya nama-nama yang disebutkan Nabi saw itu ternyata benar bergelimpangan
tepat di tempat yang telah ditunjukkannya itu.
Selanjutnya Rasulullah saw dengan khusyu‘ memanjatkan do'a kepada Allah swt pada
malam Jum‘at tanggal 17-Ramadhan. Di antara yang diucapkannya ialah :
„Ya, Allah. Inilah kaum Quraisy yang datang dengan segala kecongkakan dan kesombongan
untuk memerangi Engkau dan mendustakan Rasul-Mu. Ya, Allah, tunaikanlah janji
kemenangan yang telah Engkau berikan kepadaku. Ya, Allah kalahkanlah mereka esok hari.“
Beliau terus memanjatkan do'a kepada Allah swt , dengan merendah diri dan khusyu‘
seraya menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit, sehingga karena mereka iba Abu
Bakar berusaha menenangkan hati Nabi saw dan berkata kepadanya :“ Ya Rasul Allah, demi
diriku yang berada di tangan-Nya, bergembiralah. Sesungguhnya Allah pasti akan memenuhi
janji yang telah diberikan kepadamu.“
Demikian pula kaum Muslimin , mereka ikut berdo'a kepada Allah swt memohon
pertolongan dengan penuh ikhlas dan merendahkan diri di Hadapan-Nya.
16
Pada suatu hari Jum‘at tahun kedua Hijrah, mulailah pertempuran antara kaum
Musyrikin dengan kaum Muslimin. Memulai pertempuran ini, Rasulullah saw mengambil
segenggam kerikil kemudian dilemparkannya ke arah kaum Quraisy seraya berkata :“
Hancurlah wajah-wajah mereka.“ , kemudian meniupkannya ke arah mereka sehingga
menimpa mata semua pasukan Quraisy. Selain itu , Allah swt juga mendukung kaum
Muslimin dengan mengirim bala bantuan Malaikat. Akhirnya peperangan dimenangkan oleh
kaum Muslimin dengan suatu kemenangan yang besar. Dari pihak kaum Musyrikin , terbunuh
70 orang dan yang tertawan 70 orang. Sedangkan dari pihak kaum Muslimin gugur mencapai
syahid 14 orang.
Mayat-mayat kaum Musyrikin yang tebunuh dalam peperangan ini termasuk para
tokoh mereka dilemparkan ke dalam sumur tua di Badr. Ketika mayat-mayat itu dilemparkan
ke dalamnya, Rasulullah saw berdiri di mulut perigi itu seraya memanggil nama-nama mereka
berikut nama bapak-bapaknya :
„Wahai Fulan bin Fulan bin Fulan, apakah kalian telah berbahagia karena kalian mentaati
Allah swt dan Rasul-Nya ? Sesungguhnya kami telah menerima kebenaran janji Allah swt,
yang diberikan kepada kami, apakah kalian juga telah menyaksikan kebenaran yang
dijanjikan Allah swt kepada kalian?“
Mendengar ini, Umar ra bertanya :“Ya,Rasulullah kenapa anda mengajak bicara jasad
yang sudah tidak bernyawa ?“ Beliau menjawab : „Demi Dzat yang diri Muhammad berada di
tangann-Nya, kalian tidak lebih mendengar perkataanku daripada mereka.“
Kemudian Rasulullah saw meminta pendapat para sahabatnya, berkenaan dengan
masalah tawanan. Abu Bakar ra, mengusulkan supaya Nabi saw membebaskannya dengan
mengambil tebusan dari mereka sehingga harta tebusan itu diharapkan menjadi pemasok
kekuatan material bagi kaum Muslimin, disertai harapan mudah-mudahan Allah swt
menunjuki mereka. Sementara Umar Bin Khathab ra, mengusulkan supaya mereka dibunuh
saja, karena mereka adalah tokoh dan gembong kekafiran. Tetapi Nabi saw cenderung kepada
pendapat dan usulan Abu Bakar ra yang memberikan belas kasihan kepada mereka dan
mengambil tebusan. Akhirnya pendapat ini pun dilaksanakan oleh Nabi saw. Tetapi beberapa
ayat Al-Quran kemudian diturunkan menegur kebijaksanaan Nabi saw, dan mendukung
pendapat Umar. Firman Allah :
„Tidak patut bagi seornag Nabi mempunyai tawanan ia dapat melumpuhkan musuhnya di
muka bumi …“. Sampai dengan firman Allah swt : „Maka makanlah dari sebagian rampasan
perang yang telah kamu ambil itu …“. QS Al-Anfal (8) : 67-69
Beberapa Ibrah.
Perang Badr Kubra ini mengandung beberapa pelajaran dan ibrah yang sangat penting
, di samping mengandung mu‘juzat besar berkenaan dengan dukungan dan pertolongan Allah
swt kepada kaum Muslimin yang berpegang teguh kepada prinsip-prinsip keimanan mereka
dan keikhlasan dalam melaksanakan tanggung jawab agama mereka.
1.-Sebab pertama bagi terjadinya perang Badr ini menunjukkan bahwa motif utama kaum
Muslimin keluar bersama Rasulullah saw , bukan untuk berperang., tetapi karena didorong
oleh tujuan mencegat kafilah Quraisy yang datang dari Syam di bawah kawalan Abu Sofyan.
Tetapi kemudian Allah swt menghendaki ghanimah (rampasan perang) dan kemenangan yang
lebih besar bagi para hambah-Nya, disamping merupakan tindakan yang lebih mulia dan lebih
sesuai dengan sasaran yang harus dicapai oleh setiap Muslim dalam kehidupannya. Allah swt
meloloskan kafilah yang menjadi tujuan utama mereka, dan menggantikannya dengan
peperangan yang sama sekali tidak pernah mereka duga.
Peristiwa ini menunjukkan dua hal :
Pertama,
Bahwa semua harta kekayaan kaum kafir harbi, oleh kaum Muslimin dianggap sebagai harta
yang tidak mulia. Boleh dirampas dan dikuasai oleh kaum Muslimin manakala mereka
mampu mengambilnya. Apa saja yang telah jatuh ke tangan kaum Muslimin dianggap telah
menjadi milik mereka. Hukum ini telah disepakati oleh para fuqaha. Di samping itu, kaum
Muhajirin yang telah diusir dari negeri mereka di Mekkah mempunyai alasan lain untuk
merampas kafilah Quraisy , yaitu usaha pengambilan hak ganti rugi dari harta kekayaan
mereka yang masih tertinggal di Mekkah dan dikuasai oleh kaum Musyrikin.
Kedua,
Kendatipun tindakan ini dibolehkan, tetapi Allah menghendaki kepada hamba-Nya yang
beriman suatu tujuan yang lebih mulia daripada tindakan tersebut dan lebih sesuai dengan
tugas yang menjadi sasaran penciptaan mereka, yaitu berdakwah kepada agama Allah swt.
Jihad di jalan Allah swt dan berkorban dengan nyawa dan harta demi meninggikan kalimat
Allah swt. Itulah sebabnya, kemudian Abu Sofyan berhasil lolos bersama kafilahnya dari
kaum Muslimin. Sementara itu pasukan Quraisy menderita kekalahan besar di medan jihad
yang berkecamuk antara kaum Muslimin dan kaum Musyrikin. Hal ini merupakan tarbiyah
Illahiyah bagi kaum Muslimin yang dengan jelas nampak tergambar dalam firman Allah swt :
„Dan (ingatlah), ketika Allah swt, menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan
(yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak
mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan
yang benar (membuktikan kebenaran) dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang
kafir.“ QS al-Anfal (8) : 7.
2.- Kalau kita perhatikan bagaimana Rasulullah saw duduk bersama para sahabatnya untuk
meminta pandangan mereka dalam menghadapi masalah yang mendadak (perang), setelah
kafilah lolos dari mereka dan muncul cebagai gantinya pasukan berkekuatan senjata, maka
dapat dicatat dua pelajaran yang sangat penting.
Pertama,
Komitmen Rasulullah saw kepada prinsip musyawarah dengan para sahabatnya. Jika kita
telusuri kehidupan Rasulullah saw akan kita temukan bahwa Nabi saw selalu berpegang teuh
kepada prinsip syuro ini dalam menghadapi semua masalah yang tidak ditandaskan secara
tegas oleh wahyu Allah swt, khususnya maslah-masalah yang berkaitan dengan tadbir
(perencanaan) dan siyasah syariyah 8kebijaksanaan). Oleh sebab itu, kaum Muslimin
menyepakai bahwa syuro, dalam masalah yang tidak ditegaskan oleh nash al-Quran dan as-
Sunnah, adalah merupakan prinsip perundang-undangan yang tidak boleh diabaikan. Adapun
seandainya manyangkut masalah yang sudah ditegaskan oleh al-Quran atau Hadits, maka
tidak diperlukan lagi adanya syura dan bahwa tidak dikalahkan oleh kekuatan apa pun.
Kedua,
Bahwa kondisi-kondisi peperangan atau perjanjian antara kaum Muslimin dengan ummat lain,
boleh tunduk kepada apa yang disebut dengan siyasah syariyah (kebijaksanaan) atua hukum
al-Imamah (keputusan pemimpin). Sebagai penjelasannya bahwa, pensyariatan perdamauan
dan perjanjian ini tidak boleh dibatalkan atau dicabut dari hukum syariat Islam. Tetapi bagian18
bagian dari bentuk-bentuk pelaksanaannya yang beraneka ragam itu boleh disesuaikan dengan
situasi jaman, tempat dan kondisi kaum Muslimin dan musuh mereka. Pengambilan
kebijaksanaan ini pun hanya dilakukan oleh seorang Imam yang memiliki pandangan yang
akurat, adil, berpegang teguh kepada nilai-nilai agama, dan kebijaksanaan yang bersumber
dari penguasaan agama yang mendalam serta dilakukannya secara ikhlas, di samping harus
tetap melakukan syura dengan kaum Muslimin dan memanfaatkan berbagai pengalaman dan
kemampuan mereka.
Jika seorang pemimpin pemerintahan (negara Islam) berpendapat bahwa sebaiknya
kaum Muslimin tidak menghadapi musuh mereka dengan kekuatna dan perang, yang
pendapatnya ini dikaji dengan cermat dan disepakati oleh Majlis syura maka dia boleh
memilih sikap damai dengan mereka (musuh). Sikap ini tidak bertentangan dengan nash-nash
Syariat yang telah ditetapkan, sambil menunggu situasi yang tepat dan cocok untuk
melakukan peperangan dan melancarkan jihad. Sebagaimana dia (Imam) boleh menggerakkan
rakyatnya untuk melakukan peperangan manakala dia memandang baik untuk melakukannya.
Demikianlah kesepatakan yang telah dibuat oleh para Fuqaha dan sesuai dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam Sirah Nabi saw. Kecuali jika musuh menyerang kaum
Muslimin di dalam negeri mereka, maka kaum Muslimin wajib melawannya dengan
mengerahkan segenap kekuatan betapun situasi dan sarana yang mereka miliki. Bahkan
kewajiban ini berlaku bagi semua kaum Muslimin baik lelaki maupun wanita yang memenuhi
syarat-syarat taklif (pembebanan yang diembankan sesuai dengan persyaratan).
Di samping itu, sebagian Fuqaha menetapkan bahwa, syura ini diwajibkan tetapi
seorang penguasa (pemimpin pemerintahan) tidak harus mengambil pendapat mayoritas
seandainya pendapat mereka bertentangan dengan pendapatnya.
Mengenai hal ini al-Qurthuby berkata :
„Orang yang meinta pendapat harus memperhatikan berbagai pendapat yang dilontarkan dan
mencari yang paling dekat kepada al-Quran dan as-Sunnah jika memungkinkannya. Jika
Allah swt, menunjukkannya kepada pendapat lain yang ia kehendaki maka ia boleh
memutuskan dan melaksanakannya seraya bertawakal kepada Allah swt.
3.- Barangkali timbul pertanyaan , mengapa jawaban Abu Bakar, Umar dan al-Miqdad belum
memuaskan hati Rasulullah saw , tetapi masih terus memandang ke arah mereka sampai Sa‘d
bin Mu‘adz berbicara kemudian barulah hati Rasulullah saw merasa puas ?
Jawabannya bahwa Nabi saw hanya ingin mengetahui pendapat kaum Anshar dalam
masalah tersebut. Apakah mereka akan mengemukakan pendapat dan keputusan yang
didasarkan kepada mu‘ahadah (janji setia) di antara mereka dengan Rasulullah saw , yakni
janji setia yang bersifat khusus dan harus ditaati, yang dengan demikian berarti Nabi saw
tidak punya hak untuk memaksa mereka berperang bersamanya dan memberikan pembelaan
terhadapnya. Kecuali di dalam kota Madinah, sebagiamana dinyatakan pada butir janji setia
tersebut. Ataukah mereka akan mengemukakan pendapat berdasarkan rasa ke-Islaman mereka
dan mu‘ahadah kubra (janji setia besar) mereka terhadap Allah ? Atas dasar ini, berarti Nabi
saw memiliki hak untuk menjadi penerima amanah di antara mereka guna melaknsakan
mu‘ahadah kubra tersebut dan adalah kewajiban mereka memenuhi hak-hak mu‘ahadah ini
serta melaksanakan tanggung-jawabnya secara sempurna.
Mengamati jawaban Sa‘d bin Mu‘adz, dapatlah diketahui bahwa mubaya‘ah
(bai'at/janji setia) kaum Anshar yang diberikan kepada Rasulullah saw di Mekkah sebelum
Hijrah, tidak lain justru merupakan mubaya‘ah kepada Allah swt. Mereka tidak pernah
beranggapan lain, ketika memberikan pembelaan kepada Rasulullah saw setelah berhijrah
kepada mereka-kecuali sebagai pembelaan terhadap agama dan syariat Allah swt.
Persoalannya bukan sekedar menyangkut nash-nash (butir-butir) tertentu yang telah mereka
sepakati bersama Rasulullah saw , sehingga mereka tidak mau komit dengan hal-hal di luar
butir-butir yang telah dibuat, tetapi persoalannya bahwa dengan mubaya‘ah itu berarti mereka
telah menandatangai suatu perjanjian yang dimuat oleh firman Allah swt :
„Sesungguhnya Allah swt, tetalh membeli dari orang-orang yang beriman (Mukmin) diri dan
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah swt,
lalu mereka membunuh atau terbunuh (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah swt di
dalam Taurat, Injil dan al-Quran. Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada
Allah swt ? Bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu. Itulah kemenangan
yang besar.“ QS At-Taubah (9) : 111
Oleh sebab itu Sa‘d bin Mu‘adz menjawab dengan ucapannya :
„Kami telah beriman kepada Anda dan kamipun membenarkan kenabian dan kerasulan anda.
Kami juga telah menjadi saksi bahwa apa yang anda bawa adalah kebenaran. Atas dasar itu
kami telah menyatakan janji dan kepercayaan kami untuk taat dan setia kepada anda.
Jalankanlah apa yang anda kehendaki, kami tetap bersama anda (yakni tetap berjalan bersama
anda sesuai dengan perjanjian yang lebih besar daripada perjanjian yang telah kita sepakati di
Bai‘at Aqabah pertama …“
4.- Dalam melaksanakan jihad dan lainnya, Imam dibolehkan menggunakan „intel“ (spionase,
mata-mata) yang disebarkan di kalangan musuh guna membongkar dan mengetahui
perencanaan dan kondisi kekuatan mereka. Untuk melaksanakan tujuan ini dibolehkan
menggunakan beraneka ragam sarana , asalkan tidak merusak kepentingan yang lebih besar
ketimbang kepentingan mengetahui kondisi lawan. Mungkin sarana itu berupa kerahasiaan
atau semacam siasat dan tipu daya peperangan. Semua ini dibolehkan dan baik karena
merupakan sarana yang diperlukan untuk kemaslahatan kaum Muslimin dan pemeliharaan
mereka.
Disebutkan di dalam buku-buku Sirah, bahwa ketika Nabi saw, turun di dekat badr,
beliau bersama seorang sahabatnya naik unta dan bertemu dengan seorang tua (syaikh) dari
Arab, kemudian Nabi saw bertanya kepadanya tentang pasukan Quraisy dan Muhammad
beserta para sahabatnya. Orang tua itu bertanya :“ Aku tidak akan menyampaikan berita
kepada kalian berdua sebelum kalian menjelaskan kepadaku siapa kalian berdua ini ?“ Nabi
saw berkata ;“Kami akan menjelaskan setelah anda memberikan berita kepada kami.“ Orang
tua itu menyahut :“Apakah ini ditukar dengan itu?“ Jawab Nabi saw . „Ya“. Kemudian orang
tua itu menjelaskan kepada Nabi saw apa yang diketahuinya tentang kaum Musyrikin dan
tentang Nabi saw beserta para sahabatnya . Setelah selesai menjelaskan , orang tua itu
bertanya,“ Sekarang siapakah kalian berdua ini ?“ Nabi saw menjawab :“Kami dari air.“
Kemudian Nabi saw meninggalkannya. Akhirnya orang tua itu bertanya-tanya :“Dari air mana
?“ Apakah dari air Iraq?“
5.- Pembagian Tindakan Nabi saw.
Dialog yang berlangsung antara Nabi saw dan Habbab bin Mundzir (hadits sanadnya shahih)
tentang penempatan pasukan, menunjukkan bahwa tindakan-tindakan Nabi saw, tidak
semuanya bernilai tasyri‘ (menjadi syariat). Bahkan dalam banyak hal Nabi saw sering
bertindak dalam statusnya sebagai manusia biasa yang berpikir dan membuat perencanaan.
Tidak diragukan lagi bahwa , kita tidak diwajibkan selalu mengikuti Nabi saw dalam
tindakan-tindakan beliau ini. Di antaranya ialah tindakan Nabi saw dalam menentukan tempat
dalam peperangan ini. Seperti telah kita ketahui bahwa Habbab mengusulkan supaya Nabi
saw pindah ke tempat lain dan Nabi saw pun menyetujuinya. Usulan Habbab itu dikemukakan
kepada Nabi saw setelah mendapatkan penegasan bahwa pilihan Nabi saw terhadap termpat
tersebut bukan atas perintah wahyu Allah swt.
Banyak tindakan Nabi saw yang masuk ke dalam kategori siyasah syari'ah
(kebijaksanaan) sebagai Imam dan kepala negara, bukan sebagai Rasul yang menyampaikan
wahyu dari Allah. Seperti dalam hal pemberian dan perencanaan-perencanaan militernya.
Masalah ini oleh para Fuqaha dibahas secara detail , yang tidak mungkin kami kemukakan
dalam kesempatan ini.
6. Pentingnya Merendahkan Diri Kepada Allah dan Meminta dengan Sangat Kepada-
Nya
Seperti telah kita ketahui bahwa Nabi saw menenangkan hati para sahabatnya dengan
menegaskan bahwa kemenangan berada di pihak kaum Muslimin , sampai-sampai Nabi saw
menunjuk ke beberapa tempat di tanah seraya berkata :“ Ini adalah tempat kematian si Fulan“
Dan sebagaimana disebutkan oleh Hadits shahih, nama-nama yang disebutkan Nabi saw itu
roboh terbunuh tepat di tempat yang telah ditunjukannya.
Sekalipun demikian , Nabi saw tetap berdiri sepanjang malam Jum‘at itu di dalam
kemah yang dibuat khusus bagi beliau, memanjatkan do'a kepada Allah swt dengan penuh
khusyuk dan merendah diri seraya menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit
memohon kepada Allah swt agar pertolongan yang dijanjikan-Nya ditunaikan. Dalam munjat
ini bahnkan Nabi saw sampai tidak menyadarai kalau selendangnya terjatuh, sehingga Abu
Bakar merasa kasihan terhadapnya kemudian memberanikan diri berkata kepada Nabi saw
:“Cukup Ya Rasulullah saw, sesungguhnya Allah swt pasti akan menunaikan janji-Nya yang
telah diberikan kepadamu.“
Mengapa Nabi saw sampai merendahkan dirinya sedemikian rupa di hadapan Allah
swt , padahal beliau telah yakin akan mendapatkan pertolongan sampai beliau menyatakan :“
Seolah-olah aku melihat tempat kematian mereka.“ Bahkan Nabi saw menentukan beberapa
tempat kematian mereka di tanah ?
Jawabannya bahwa keyakinan dan keimanan Nabi saw terhadap kemenangan hanylaah
merupakan pembenaran kepada janji yang telah diberikan Allah swt kepada Rasul-Nya. Tidak
diragukan lagi bahwa Allah swt tidak akan menyalahi janji atua mungkin nabi saw diberi
kabar kemenangan itu di tengah peristiwa tersebut.
Adapun kekhusyu‘kan Nabi saw dalam berdo'a dan menengadahkan kedua telapak
tangannya ke langit , maka hal itu sudah menjadi tugas ‚ubudiyah yang menjadi tujuan
penciptaan manusia. Dan itulah harga kemenangan secara kontan.
Kemenangan itu tiada lain betapapun didukung oleh sarana dan perjuangan yang baik
hanylaah berasal dari Allah swt dan dengan persetujuan-Nya. Allah swt tidak menginginkan
kita kecuali untuk menjadi hamba-Nya yang baik secara tabii atau ikhtiari (terpaksa atau
tidak). Tiadka ada sesuatu yang lebih besar untuk mendekatkan diri kepada Allah swt ,
kecuali sikap ‚uudiyah kepada-Nya. Tidak ada perantara yang lebih diterima oleh Allah swt
selain daripada perendahandiri , sedemikian rupa melalui ‚ubudiyah di hadapan Allah swt.
Segala bentuk musibah dan bencana yang menimpa manusia dalam kehidupan ini
tiada lain hanyalah merupakan peringatan yang menyadarkannya terahadap kewajiban
‚ubudiyah kepada Allah swt dan mengingatkannya kepada Keagungan dan Kekuasaan Allah
swt Yang Maha Besar. Agar manusia lari menuju Allah swt yang menyatakan segala
kelemahannya di hadapan Allah swt , serta memohon perlindungan kepada-Nya dari segala
fitnah dan cobaan. Apabila manusia telah menyadari hakekat ini dan menghayati maka dia
telah sampai kepada puncak yang diperintahkan Allah swt, kepada semua hamba-Nya.
‚Ubudiyah yang tercermin dalam kekhusyu‘an do'a Nabi saw meminta kemenangan
kepada Allah swt merupakan harga yang berhak mendapatkan dukungan Ilahi Yang Maha
Agung di dalam pertempuran tersebut. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh ayat berikut :
„(ingatlah) ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabb-mu lalu diperkenankan-Nya
bagimu ,“Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu
malaikat yang datang secara bergelombang.“ QS Al-Anfal : 9
Kemantapan Rasulullah saw melalui ‚ubudiyah inilah yang membuat Rasul saw yakin
akan datangnya kemenangan bagi kaum Muslimin. Bandingkanlah sikap ‚ubidiyah yang
ditunjukkan Nabi saw ini beserta hasil-hasilnya itu dengan sikap congkak dan sombong yang
ditunjukkan oleh Abu Jahal ketika berkata :“Kami tidak akan pulang sebelum tiba di Badr. Di
sana kami akan memotong ternak, makan beramai-ramai dan minum arak sambil
menyaksikan perempuan-perempuan yang menyanyikan lagu-lagu hiburan. Biarlah semua
orang Arab mendengar berita tentang perjalanan kita semua dan biarlah mereka tetap gentar
kepada kita selama-lamanya,“ beserta segala akibat yang ditimbulkannya.
‚Ubudiyah dan kepatuhan kepada Allah swt , menghasilkan izzah dan kemuliaan yang
membuat wajah dunia tertunduk kepadanya. Sementara itu kecongkakan dan kesombongan
merupakan kepalsuan dan pusara kehinaan yang digali oleh dan untuk para pemilik sifat dan
sikap tersebut. Kuburan tempat dimana mereka akan dituangi khamar, kehinaan dan
digendongi lagu-lagu kenistaan. Itulah sunatullah yang berlaku di alam ini, manakala
‚ubudiyah yang murni kepada Allah swt , bertemu dan berhadapan dengan kecongkakan dan
kesombongan.
7. Bala Bantuan Malaikat pada Perang Badr
Perang Badr mencatat salah satu mukjizat terbesar yaitu mukjizat dukungan dan
kemenangna kum Muslimin yang sejati. Dalam peperangan ini Allah swt telah mendukung
kaum Mulsimin dengan mengirim malaikat yang ikut berperang bersama mereka. Hakekat ini
telah disebutkan secara tegas oleh al-Quran dan as-Sunnah.
Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Nabi saw pingsan beberapa saat di dalam
kemahnya kemudian sadar kembali lalu berkata kepada Abu Bakar :
„Hai, Abu Bakar , gembiralah , pertolongan Allah swt telah datang kepadamu. Itulah Jibril
memegang tali kekang dan menuntun kudanya.“
Turunnya para malaikat untuk berperang bersama kaum Muslimin hanyalah
merupakan peneguhan hati kaum Muslimin dan jawaban secara empirik (istijabah hissiyah)
terhadap istiqasah (permohonan pertolongan) demi menghadapi peperangan pertama di jalan
Allah swt melawan musuh yang jumlahnya tiga kali lipat lebih banyak. Sesungguhnya
kemenangan itu semata-mata datangnya dari Allah swt. Para Malaikat itu sendiri tidak
memiliki pengaruh secara langsung (ta‘sir dzati). Sebagai penjelasan terhadap masalah inilah
maka Allah swt berfirman menjelaskan turunnya malaikat :
„Dan Allah swt tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan malaikat) melainkan sebagai
kabar gembira agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanylaah dari
sisi Allah swt. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.“ QS Al-Anfal : 10
8. Kehidupan Barzakh bagi Orang Mati
Berdirinya Rasulullah saw di mulut sumur seraya menyebut dan memanggil nama
mayat-mayat kaum Musyrikin dan mengajaknya berbicara, juga jawaban Rasulullah saw
terhadap pertanyaan Umar ra, pada saat itu, merupakan dalil yang tegas bahwa orang-orang
yang sudah meninggal memiliki kehidupan ruhani secara khusus, kita tidak mengetahui
hakekat dan kaifiatnya. Juga menunjukkan bahwa ruh-ruh orang-orang yang telah meninggal
tetap berada di sekitar jasad mereka. Dari sinilah kita dapat menggambarkan adanya siksa
kubur dan kenikmatannya. Hanya saja tidak dapat diketahui oleh akal dan indera kita di dunia
ini. Karena kehidupan ruhani tersebut (alam ghaib) yang tidak dapat dijangkau oleh indera
dan pengalaman rasio yang bersifat empirik. Mengimaninya adalah merupakan jalan satusatunya
untuk bisa menerima hakekat ini, setelah semua dalil-dalilnya sampai kepada kita
melalui sanad yang shahih.
9. Masalah Tawanan Perang
Menyangkut masalah tawanan perang dan musyawarah Rasulullah saw dengan para
sahabtnya , merupakan pembahasan yang sarat oleh pelajaran penting, antara lain :
Pertama,
Tawanan dan Ijtihad Rasulullah saw.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa Nabi saw mempunyai hak berijtihad. Pendapat ini
dikemukakan oleh Jumhur ulama ushul. Jika Rasulullah saw punya ijtihad maka berarti ijtihad
beliau bisa benar dan salah. Hanya saja kesalahan ijtihad Rasulullah saw tidak akan
berkepanjangan karena beliau selalu dikoreksi langsung oleh al-Quran. Jika tidak ada ayat al-
Quran yang menegurnya berarti ijtihad Rasulullah saw benar dalam Pengetahuan Allah swt.
Kedua,
Perang dan Perampasan.
Sebagaimana dimaklumi bahwa selan perang Badr merupakan pengalaman pertama
bagi kaum Muslimin dalam hal perang-campuh yang menyita banyak pengorbanan di jalan
Allah swt, dalam kondisi mereka yang sangat lemah dan sedikit, ia pun merupakan
pengalaman pertama pula bagi kaum Muslimin dalam menangani maslah harta rampasan yang
diperoleh menyusul pertempuran yang terjadi dalam kondisi mereka yang miskin dan sangat
memerlukan.
Pada kasus pertama (pengalaman perang dalam kondisi serba lemah) Allah swt
mengatasinya dengan meneguhkan hati kaum Muslimin seperti telah disebutkan melalui halhal
luar biasa yang menjadi indikasi kemenangan. Sedangkan pada kasus kedua (pengalaman
kekuarangan) Allah swt mengobatinya melalui berbagai sarana tarbiyah secara cermat dan
tepat pada waktunya. Pengaruh pengalaman ini tampak dengan jelas dalam dua peristiwa yang
terjadi sesudah peperangan. Pertama ketika kaum Musyrikin berhasil dikalahkan sehingga
meninggalkan harta benda mereka yang beraneka ragam. Harta kekayaan ini menjadi ajang
rebutan di kalangan kaum Muslimin sehingga nyaris terjadi persengketaan. Karena hukum
tentang pembagian harta rampasan belum diturunkan maka mereka pergi menemui Rasulullah
saw menanyakan dan meminta keputusan terhadap perselisihan yang terjadi. Pada saat itu
turunlah firman Allah swt :
„Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah.“
Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah, Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan
perbaikilah perhubungan di antara sesamamu serta taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika
kamu adalah orang-orang yang beriman.“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adlah
mereka yang apabila disebut asma Allah gemetarlah hati mereka, dan apabia dibacakan
kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah
mereka bertawakal.“ QS Al-Anfal : 1-2.
Di dalam kedua ayat ini tida terdapat jawaban bagi pertanyaan mereka, tetapu justru
memalingkan mereka dari masalah yang mereka tanyakan, karena harta rampasan perang itu
bukan milik salah seorang pun di antara mereka , melainkan semata-mata milik Allah dan
Rasul-Nya. Sebaliknya, mereka harus memperbaiki dan menyelesaikan pertentangan yang
terjadi di antara mereka , mentaati perintah-perintah Allah swt, dan menjauhi laranganlarangan-
Nya. Itulah tugas mereka. Adapun soal harta dan dunia maka harus diserahkan
kepada Allah swt sepenuhnya. Setelah kaum Muslimin mengikuti dan melaksanakan
kandungan kedua ayat tersebut serta mengakhiri pertentangan dan perselisihan yang
menetapkan cara pembagian harta rampasan perang kepada para Mujahidin. Ini merupakan
sarana tarbiyah yang sangat tepat dan baik.
Kasus kedua yaitu ketika Rasulullah saw meminta pendapat dari pada sahabatnya
mengenai tawanan perang. Hampir semua sahabat menyetujui pembebasan para tawanan
dengan penebusan. Pertimbangan mereka ialah, pertama menunjukkan rasa belas kasih
kepada para tawanan dengan harapan mereka akan tergugah untuk beriman kepada Allah.
Kedua sebagai ganti dari harta kaum Muhajirin yang tertinggal di Mekkah dengan harapan
akan dapat membantu memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Kecenderungan Rasulullah saw
kepada pendapat ini menunjukkan rasa belas kasih Rasulullah saw kepada para sahabatnya.
Perasaan belas kasih inilah yang mendorong Nabi saw untuk mengangkat kedua tangannya
memanjatkan do'a buat kaum Muhajirin ketika beliau melihat mereka berangkat menuju Badr
dalam kondisi yang serba kekurangan :
„Ya, Allah mereka berjalan tanpa alas kaki, maka ringankanlah langkah mereka. Ya Allah
mereka kekurangan pakaian, anugerahkanlah mereka pakaian. Ya Allah mereka itu lapar,
maka kenyangkanlah mereka.“
Tetapi hikmah Ilahiyah tidak menyetujui kaum Muslimin menjadikan harta benda
sebagai ukuran atau bagian dari ukuran dalam memutuskan perkara-perkara mereka yang
terbesar yang harus semata-mata didasarkan kepada pandangan agama betapapun kondisi
yang dihadapi. Sebab, jika pandangan materialistik itu dibiarkan pada saat mereka
menghadapi pengalaman pertama dalam masalah seperti itu, dikhhawatirkan dal tersebut akan
menjadi kaidah yang baku. Sehingga pertimbangan materialistik tersebut akan
menghancurkan hukum-hukum yang harus tetap bersih tidak tercampuri oleh tujuan-tujuan
duniawi. Adalah susah bagi orang yang telah jauh tenggelam ke dalam lumpur dunia untuk
kembali membebaskan diri dari liputannya.
Imam Muslim meriwayatkan dari Umar bin Khathab ra, ia berkata :
„Aku masuk menemui Rasulullah saw , setelah beliau memutuskan penebusan tawanan. Tibatiba
aku dapati Rasulullah saw bersama Abu Bakar ra sedang menangis. Aku bertanya ,
Wahai Rasulullah saw ceritakanlah kepadaku kenapakah anda dan sahabat anda menagis ?
Jika aku dapati alasan untuk menangis maka aku akan menangis. Jika tidak ada alanan untuk
menangis maka aku akan memaksakan diir untuk menangis karena tangis anda berdua. Jawab
Rasulullah saw :“Aku menangis karena usulan pengambilan tebusan yang diajukan oleh pada
sahabatmu kepadaku, padahal siksa mereka telah diajukan kepadaku lebih dekat dari pohon
ini (pohon di dekat Nabi saw). Kemudian Allah menurunkan firman-Nya :
„Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi..“, sampai firman Allah :“Maka makanlah dari sebagian rampasan
perang yang telah kamu ambil itu ….“

0 Komeng:

Post a Comment

 
Copyright 2009 Intelektual-Muslim™