Subscribe:


ShoutMix chat widget
Banu Qainuqa‘ Pengkhianatan Pertama Kaum Yahudi terhadap Kaum Muslimin
 
Ibnu Ishaq berkata : Pada suatu kesempatan Rasulullah saw mengumpulkan Banu
Qunaiqa‘ di pasar Qunaiqa‘ kemudian bersabda :“Wahai kaum Yahudi, takutlah kalian
kepada murka Allah yang pernah ditimpahkan-Nya kepada kaum Quraisy.Masuklah kalian ke
dalam Islam karena sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa aku adalah Nabi yang
diutus (Allah), sebagaimana kalian dapati di dalam Kitab kalian dan Janji Allah kepada
kalian!“ Jawab mereka :“Wahai Muhammad, apakah kamu mengira kami ini seperti
kaummu? Janganlah kamu membanggakan kemenangan terhadap suatu kaum yang tidak
mengerti ilmu peperangan. Demi Allah, seandainya kami yang kamu dapati dalam peperangan
, niscaya kamu akan mengetahui siapa sebenarnya kami ini!“.
Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Abdullah bin Ja‘far bin al-Musawwir bin Makhramah
dari Abu ‚Uwaha bahwa, seorang wanita Arab datang membawa perhiasannya ke tempat
perdagangan Yahudi Bani Qainuqa‘. Ia mendatangi seorang tukang sepuh untuk
menyepuhkan perhiasannya. Ia kemudian duduk menunggu sampai tukang sepuh Yahudi itu
menyelesaikan pekerjaannya. Tiba-tiba datanglah beberapa orang Yahudi berkerumun
mengelilinginya dan minta kepada wanita Arab itu, secara diam-diam si tukang sepuh itu
menyangkutkan ujung pakaiannya yang menutup seluruh tubuhnya pada bagian
punggungnya.
Ketika wanita itu berdiri terbukalah aurat bagian belakangnya. Orang-orang Yahudi
yang melihatnya tertawa gelak-bahak. Wanita itu menjerit minta pertolongan. Mendengar
teriakan itu, salah seorang dari kaum Muslimin yang berada di perniagaan itu secara kilat
menyerang tukang sepuh Yahudi dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi yang berada di
tempat itu kemudian mengeroyoknya hingga orang Muslim itu pun mati terbunuh. Tindakan
orang-orang Yahudi yang membunuh orang Muslim itu menyebabkan kemarahan kaum
Muslimin, sehingga terjadilah peperangan antara kaum Muslimin dengan orang-orang Yahudi
Banu Qunaiqa‘. Dengan demikian, mereka adalah kaum Yahudi pertama kali melanggar
perjanjian yang diadakan di antara mereka dengan Nabi saw.
Insiden ini menurut riwayat ath-Thabary dan al-Waqidy, terjadi pada pertengahan
bulan Syawawal tahun kedua Hijra.
Kemudian Rasulullah saw mengepung mereka selama beberapa hari hingga mereka
menyerah dan menerima hukuman yang akan diputuskan oleh Rasulullah saw. Setelah mereka
berada di bawah kekuasaan beliau, datanglah Abdullah bin Ubay lalu berkata :
„Hai Muhammad, perlakukanlah para sahabatku itu dengan baik.“
Permintaan Abdullah bin Ubay itu tidak diindahkan oleh Rasulullah saw. Abdullah bin
Ubay mengulangi lagi permintaannya, tetapi beliau saw berpaling muka sambil memasukkan tangannya ke dalam baju besinya. Wajah beliau tampak marah, hingga raut wajahnya tampak
merah padam. Beliau mengulangi kembali ucapannya sambil memperlihatkan kemarahannya :
„Celaka engkau , tinggalkan aku!“. Abdullah bin Ubay menyahut :“Tidak, demi Allah, aku
tidak akan melepaskan anda sebelum anda mau memperlakukan para sahabatku itu dengan
baik. Empat ratus orang tnapa perisai dan tiga ratus orang bersenjata lengkap telah
membelaku terhadap semua musuhku itu, apakah hendak anda habisi nyawanya dalam waktu
sehari ? Demi Allah, aku betul-betul mengkhawatirkan terjadinya bencana itu !“. Rasulullah
saw akhirnya berkata :“Mereka itu kuserahkan padamu dengan syarat mereka harus keluar
meninggalkan Madinah dan tidak boleh hidup berdekatan dengan kota ini.“
Orang-orang Yahudi Banu Qainuqa‘ itu kemudian pergi meninggalkan Madinah
menuju sebuah pedusunan bernama ‚Adzara‘at di daerah Syam. Belum berapa lama tinggla di
sana, sebagian besar dari mereka mati ditimpa bencana.
Sebagai seorang Muslim yang memiliki hubungna „persekutuan“ dengan orang-orang
Yahudi Banu Qainuqa‘, sebagaimana Abdullah bin Ubay , maka ‚Ubadah bin Shamit pun
datang menemui Rasulullah saw , lalu berkata :“Sesungguhnya aku memberikan loyalitas
kepada Allah swt, Rasul-Nya dan kaum Mukminin, dan aku melepaskan diriku dari ikatan
persekutuan dengan orang-orang kafir tersebut.“
Sehubungna dengan kedua orang (Abdullah bin Ubay dan ‚Ubadah bin Shamit) inilah
Allah menurunkan firman-Nya :
„Hai orang-ornag yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang
lain. Siapa saja di antara kamu mengambil mereka menjadi pimpinan, sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang dzalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orangorang
munafiq) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani) seraya berkata :“ Kami
takut akan mendapat bencana“. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan
(kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Oleh sebab itu, mereka menjadi
menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.“ QS Al-Maidah (5) : 51-
52
Beberapa Ibrah.
Peristiwa ini secara keseluruhan menunjukkan watak pengkhianatan orang-orang
Yahudi. Mereka tidak pernah putus sebelum dapat mengkhianati orang-orang yang
bertetangga atau bergaul dengan mereka. Dengan menghalalkan segala cara mereka siap
melaksanakan pengkhianatan.
Dengan peristiwa ini terdapat beberapa pelajaran dan prinsip di antaranya :
1. Hijab (Cadar) Wanita Muslimah.
Seperti kita ketahui bahwa biang keladi peristiwa (pengusiran Yahudi Banu Qainuqa‘)
ini berawal justru gara-gara ulah mereka sendiri, yaitu membuat onar dengan cara berusaha
memaksa untuk membuka tutup muka wanita Muslimah ketika wanita tersebut datang ke
pasar mereka untuk menyepuhkan perhiasannya.
Sumber terjadinya peristiwa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam ini tidak
bertentangan dengan riwayat lain yang menyebutkan bahwa sebab timbulnya peristiwa ini
ialah kedengkian orang-orang Yahudi terhadap kemenangan kaum Muslimin di perang Badr
sehingga mereka berkata kepada Rasulullah saw :
„Demi Allah, seandainya kami yang kamu hadapi dalam peperangan, niscaya kamu akan
mengetahui siapa sebenarnya kami ini ?“
Berkemungkinan dua sebab tersebut memang terjadi kedua-duanya bahkan yang satu
saling menyempurnakan yang lainnya. Karena tidak mungkin Rasulullah saw melakukan
pembatalan perjanjian dengan mereka hanya karena munculnya tanda-tanda pengkhianatan
dalam perkataan mereka. Di samping itu, pasti mereka telah melakukan tindakkan-tindakkan
pengkhiantan kepada kaum Muslimin sebagaimana dinyatakan oleh riwayat Ibnu Hisyam
tersebut.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa hijab yang disyariatkan oleh Islam kepada wanita
ialah dengan menutup muka. Seandainya tidak demikian, niscaya wanita tersebut tidak perlu
ke luar rumah dengan menutup mukanya. Seandainya menutup muka bagi kaum Muslimah
bukan menjadi hukum agama yang diperintahkan Islam, niscaya orang-orang Yahudi itu tidak
akan memaksa wanita Arab tersebut untuk membuka tutup mukanya. Sebab dengan tindakan
ini mereka hanya bermaksud menodai perasaan keagamannya yang secara jelas-jelas nampak
dalam pakaiannya.
Mungkin ada orang membantah bahwa peristiwa yang hanya diriwayatkan oleh Ibnu
Hisyam ini terdapat sedikit kelemahan dalam periwayatannya, sehingga tidak kuat untuk
menetapkan hukum seperti ini. Tetapi riwayat ini ternyata juga dikuatkan oleh sejumlah
Hadits Shahih, di antaranya :
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah ra, dalam Bab Pakaian Bagi Orang
Yang Ihram, ia berkata :
„Janganlah ia (wanita yang sedang berikhram) menutup muka dengan cadar dan memakai
pakaian yang dicelup dengan waras (wewangian) atau za‘faran“.
Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Malik di dalam al-Mawaththa dari Nafi‘
bahwa Abdullah bin Umar pernah berkata :
„Tidak boleh wanita yang sedang ihram memakai cadar muka, begitu pula memakai sarung
tangan.“
Apa arti larangan memakai cadar (tutup muka) bagi wanita yang sedang melakukan
ihram di waktu melaksanakan haji ? Mengapa larangan ini khusus bagi wanita saja, tidak
termasuk lelaki? Tidak diragukan lagi bahwa larangan atau pengecualian ini menunjukkan
bahwa menutup muka (memakai cadar) merupakan sesuatu yang biasa dilakukan oleh wanita
Muslimah di luar pelaksanaan haji.
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya dari Fatimah binti Qais bahwa
setelah dia diceraikan oleh suaminya, Rasulullah saw memerintahkannya supaya dia (Fatimah
binti Qais) menunggu masa iddah di rumah Ummu Syarik, kemudian Rasulullah saw
memberitahukan kepadanya bahwa rumah Ummu Syarik banyak dihuni oleh para sahabatnya
(sahabat Nabi saw). Akhirnya Rasulullah saw memerintahkan Fatimah binti Qais agar
menunggu masa iddah-nya di rumah anak paman Fatimah binti Qais yaitu Ibnu Ummi
Maktum, karena dia (Ibnu Ummi Maktum) seorang buta yang tidak akan melihat manakala ia
melepas kerudungnya.
Itulah dalil-dalil yang mewajibkan wanita Muslimah agar menutup muka dan seluruh
anggota tubuhnya dari lelaki asing.
Adapun dalil-dalil yang melarang lelaki melihat wanita termasuk wajahnya , dapat
kami sebutkan di antanya :
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi dari Barirah ra, ia berkata
:Rasulullah saw bersabda kepada Ali :
„Wahai Ali, janganlah kamu melihat (wanita) pandang demi pandang, karena kamu hanya
punya hak pada pandangan yang pertama tetapi tidak pada pandangan keuda (dan
seterusnya).“
Dalam riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas ra. Disebutkan bahwa Fadlal bin Abbas
pernah mengikuti di belakang Rasulullah saw pada hari penyembelihan qurban. Pada
kesempatan ini Nabi saw ditanya oleh seorang wanita dari suku Khats‘amiah yang terkenal
ceriwis. Ketika itu Fadlal memandang agak lama kepada wanita tersebut, lalu Rasulullah saw
memegang dagu Fadlal dan memutarnya kebelakang.
Di dalam kandungan Hadits-hadits di atas terdapat dua larangan. Larangan bagi wanita
untuk membuka wajahnya atau salah satu bagian dari anggota tubuhnya di hadapan lelaki
asing, dan larangan bagi kaum lelaki untuk melihatnya. Kiranya Hadits-hadits yang telah
kami sebutkan di atas cukup sebagai dalil bahwa , wajah wanita adalah aurat di hadapan lelaki
asing dalam kondisi-kondisi tertentu seperti, dharurat berobat, belajar , kesaksian dan lain
sejenisnya.
Tetapi di antara Imam Madzhab ada yang berpendapat bahwa wajah dan kedua telapak
tangan wanita bukan aurat yang wajib ditutup. Mereka menafsirkan Hadits-hadits mengenai
masalah ini sebagai perintah yang bernilai anjuran (nadb), bukan wajib. Kendatipun demikian,
semua fuqaha telah menyepakati bahwa seorang lelaki (asing, bukan muhrim) tidak boleh
melihat salah satu anggota tubuh wanita dengan syahwat, dan wajib atas wanita menutup
mukanya manakala kefasikkan telah menyebar luas sedemikian rupa di tengah-tengah
masyarakat, karena semua orang yang memandangnya adalah orang-orang fasik dan bermata
jalang.
Jika anda perhatikan kondisi kaum Muslimin sekarang dengan segala kefasikkan dan
kemungkaran, akibat lemahnya pembinaan dan akhlak, niscaya anda akan menyadari bahwa
tidak ada alasan untuk membolehkan wanita membuka wajahnya dalam kondisi seperti itu.
Sesungguhnya jurang berbahaya yang sedang dilalui masyarakat Islam dewasa ini menuntut
hati-hati dan pengetatan-pengetatan sampai kaum Muslimin mampu melewati tahapan
berbahaya tersebut dan mampu pula menguasai serta mendendalikan masalah yang
dihadapinya.
Atau dengan ungkapan lain, sesungguhnya orang yang selalu mengambil rukshah
(keonggaran) dan kemudahan-kemudahan agama, lambat laun akan menghanyutkan diri yang
bersangkutan kepada tindakkan melepaskan diri dari kewajiban secara keseluruhan selagi tida
ada arus sosial Islam yang mengendalikan keringan-keringanan tersebut dalam suatu Manhaj
Islami yang bersifat umum dan memeliharanya dari segala bentuk pelampauan batas yang
disyariatkan.
Tetapi anehnya ada sebagian orang yang berpegang teguh kepada apa yang mereka
namakan perubahan hukum mengikuti perubahan jaman, dalam masalah keringan, kemudahan
dan usaha-usaha melepaskan diri dari kewajiban saja, namun mereka tidak menyebutkan
kaidah tersebut sama sekali ketika situasi menuntut kebalikan daripadanya, sampai sekarang
saya belum mendapatkan satu contoh yang lebih tepat untuk menerapkan kaidah perubahan
hukum mengikuti perubahan jaman selain dari keharusan menetapkan kewajiban menutup
wajah bagi wanita, mengingat tuntutan-tuntutan jaman pada masa kita hidup sekararang ini di
samping mengingat banyaknya ranjau-ranjau yang menuntut kita agar lebih banyak berhatihati
dan berwaspada dalam meniti dan melangkahkan kaki, sambil menunggu datangnya
pertolongan Allah dalam mewujudkan masyarakat Islam yang kita cita-citakan.
2.- Insiden yang timbul karena Yahudi banu Qainuqa‘ ini menunjukkan kedengkian yang
terpendam selama ini di dalam hati mereka terhadap kaum Muslimin. Tetapi mengapa buktibukti
kedengkian itu baru muncul dan terbongkar setelah sekitar tiga tahun mereka
memendam kedengkian tersebut ?
Jawabannya, karena sesuatu yang menyulut kedengkian yang telah lama membara di
dalam dada mereka itu ialah peristiwa kemenangan kaum Muslimin pada perang Badr. Suatu
kemenangan yang tidak pernah mereka bayangkan sama sekali. Hati mereka terbakar oleh
kedengkian dan kebencian. Sementara itu mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk
menumpahkannya, sehingga akhirnya mereka melakukan tindakkan-tindakkan tersebut.
Kedengkian mereka terhadap kaum Muslimin itu tampak jelas dengan sungutan dan cibiran
mereka terhadap kemenangan kaum Muslimun pada perang Badr, sebagaimana dapat kita
bada dalam beberapa riwayat.
Ibnu Jurair meriwayatkan bahwa Malik bin Shaif salah seorang Yahudi berkata kepada
sebagian kaum Muslimin ketika mereka kembali dari perang Badr :
„Janganlah kalian tertipu oleh kemenangan terhadap kaum Quraisy yang tidak mengerti ilmu
peperangan! Seandainya kalian menghadapi kami, niscaya kalian tidak akan berdaya …:“
Seandainya orang-orang itu menghormati „perjanjian“ yang telah mereka sepekati
dengan kaum Muslimin dipastikan tidak akan ada seorang pun dari kaum Muslimin yang
mengusik dan menyakiti mereka. Tetapi mereka tidak menghendaki selain kejahatan,
sehingga kejahatan itu sendiri kembali kepada diri mereka.
3.- Perlakuan Islam kepada Orang Munafik.
Peristiwa ini berikut pembelaan Abdullah bin Ubay kepada orang-orang Yahudi dalam
bentuk yang telah kita ketahui dengan jelas membeberkan kemunafikan orang tersebut. Dari
sikapnya itu jelaslah sudah bahwa dia adalah seorang munafik yang menyimpan kedengkian
dan kebencian kepada Islam dan kaum Muslimin.
Tetapi kendatipun demikian, Rasulullah saw tetap memperlakukannya selaku seorang
Muslim. Beliau tidak menggugat kemunafikkannya. Tidak juga memperlakukannya sebagai
seorang musyrik atau murtad atau yang berdusta dalam menganut Islam. Bahkan Rasulullah
saw meluluskan permintaan dan tuntutannya itu.
Ini menunjukkan sebagaimana disepakati para ulama bahwa orang munafik selama di
dunia harus diperlakukan oleh kaum Muslimin sebagai seorang Muslin. Mereka harus
diperlakukan sebagai orang-orang Muslim sekalipun kemunafikannya telah dapat dipastikan.
Ini karena hukum-hukum Islam secara keseluruhan terdiri dari dua aspek. Aspek yang harus
diterapkan di dunia di mana kaum Muslimin berkewajiban menerapkannya dalam masyarakat
mereka, dengan dipimpin oleh seorang Khalifah atau kepada negara. Dan Aspek lain yang
akan diterapkan kelak di akherat, yang pada saat itu segala urusan dikembalikan kepada Allah
swt semata.
Sejauh menyangkut aspek yang pertama, seluruh persoalannya harus didasarkan
kepada bukti-bukti hukum yang bersifat material dan empirik, karena setiapkeputusan hukum
didasarkan kepadanya. Alasan-alasan yang didasarkan kepada keyakinan dalam hati dan
kesimpulan dari indikasi, tidak boleh digunakan di sini.
Adapun aspek yang kedua, maka sepenuhnya didasarkan kepada keyakinan dalam hati
dan yang akan bertindak mengadili adalah Allah swt. Kaidah ini dijelaskan oleh Rasulullah
saw dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Umar ra :
„Kami sekarang ini memutuskan (perkara) hanya berdasarkan kepada amalan kalian yang
bersifat lahiriah“
Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw
bersabda :
„Sesungguhnya kalian mengadukan perkara kepadaku, yang mungkin saja sebagian orang di
antaranya kalian lebih pandai berhujjah daripada yang lainnya sehingga aku memutuskan
perkaranya berdasarkan apa yang aku dengar. Maka siapa saja yang mendapatkan keputusan
dariku dengan kuberikan sesuatu yang sebenarnya menjadi hak saudaranya, hendakllah ia
tidak mengambilnya karena itu hanyalah segenggam dari api neraka.“
Hikmah ditetapkan kaidah ini, agar keadilan di antara manusia tetap terpelihara dan
tidak menjadi ajang permainan. Sebab, mungkin saja ada sebagian penguasa memutuskan
suatu perkara semata-mata berdasarkan kepada hal-hal yang bersifat dorongan perasaan dan
keyakinan hari, hanya karena ingin bertindak dzalim kepada sebagian orang.
Sebagai pelaksanaan terhadap kaidah syariat inilah maka Rasulullah saw kendatipun
banyak mengetahui ikhwal kaum Munafiqin dan apa yang terpendam di hati mereka melalui
wahyu Allah swt, dalam Hukum-hukum syariat secara umum memperlakukan mereka
(Munafiqin) sebagaimana halnya terhadap kaum Muslimin tanpa membeda-bedakan.
Ini tidak bertentangan dengan kewajiban kaum Muslimin untuk bersikap hati-hati
terhadap kaum Munafiqin dan bertindak arif dalam menghadapi berbagai tindakkan mereka.
Kerena hal ini merupakan kewajiban kaum Muslimin pada setiap waktu dan situasi.
4.- Memberikan Wala‘ (Kepemimpinan) kepada Non-Muslim.
Jika kita perhatikan Hukum Syariat yang dikeluarkan menyusul peristiwa ini, yaitu
ayat-ayat al-Quran yang diturunkan sebagai komentar terhadap kasus tersebut, dapatlah
diketahui bahwa seorang Muslim tidak boleh menjadikan non-Muslim sebagai Wali
(pemimpin atau tempat memberikan loyalitas), atau sebagai teman setia atau sejawat untuk
melakukan kerjasama dan menjalin tanggung jawab kewalian.
Masalah ini termasuk Hukum-hukum Islam yang tidak pernah diperselisihkan oleh
kaum Muslimin sepanjang masa, kerana ayat-ayat al-Quran menyangkut masalah ini banyak
sekali jumlahnya. Bahkan Hadits-hadits Nabawi pun yang menegaskan masalah ini, mencapai
derajat mutawatir ma‘nawi. Di sini tidak perlu kami sebutkan dalil-dalil tersebut, mengingat
sudah banya diketahui oleh masyarakat luas.
Tidak ada pengecualian dalam hukum wala‘ ini melainkan tersebab oleh satu kondisi ,
yaitu apabila kaum Muslimin dalam keadaan terlalu lemah menghadapi berbagai intimidasi
dipaksa sedemikian rupa untuk memberikan wala‘nya. Allah swt telah memberikan
keringanan ini dalam firman Allah swt :
„Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin)
dengan menidak-acuhkan atau meninggalkan orang-orang Mukmin (lainnya). Siapa saja
berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah swt . Terkecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Allah memperingatkan kamu terhahap
diri (siksa)-Nya. Hanya kepada Allah swt kembali(mu).“ QS Ali Imran : 28
Hendaknya diketahui bahwa larangan menjadikan non-Muslim sebagai Wali ini, tidak
berarti sebagai perintah untuk dengki terhadap mereka. Seorang Muslim dilarang berlaku
dengki kepada siapapun. Harus disadari pula bahwa seseorang marah terhadap orang lain
karena Allah swt, itu tidak sama dengan berbuat dengki kepadanya. Sebab tindakkan yang
pertama bersumber dari kemungkaran yang tidak diridhai Allah yang membuat seorang
Muslim marah karenanya, sedangkan tindakkan yang kedua bersumber dari pribadinya, tanpa
memandang tindakkan dan perbuatannya.
Marah karena Allah swt sebenarnya timbul karena rasa kasihan kepada orang yang
berbuat maksiat atau orang kafir yang sepatutnya mendapatkan murka tersebut. Sebab, orang
Mukmin diperintahkan supaya mencintai semua orang sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri. Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh seorang Mukmin selain daripada
membebaskan dirinya dari siksa hari Kiamat, dan meraih kebahagiaan abadi. Oleh sebab itu,
jika ia marah kepada orang-orang yang berbuat maksiat atau orang-orang kafir maka itu hanya
karena ghirahnya kepada mereka dan keprihatinannya melihat mereka terancam oleh
kesengsaraan abadi dan siksa dari Allah swt di akherat. Ini tentu bukan tindakkan dengki yang
dilarang. Tindakkan ini tak ubahnya seperti seorang ayah yang marah kepada anaknya demi
kemaslahatan dan kebahagiana sang anak tersebut.
Tindakkan ini juga tidak bertentangan dengan perintah bertindak „keras“ terhadap
kaum kafir. Karena seringkali tindakkan keras itu merupakan satu-satunya sarana untuk
perbaikan. Seorang penyair pernah berkata :
„Bertindaklah keras supaya mereka sadar,
Siapa yang mengasihi seseorang, hendaklah sekali-sekali bertindak keras kepadanya.“
Hendaknya diketahui pula bahwa larangan memberikan wala‘ kepada kum kafir tidak
berarti memberikan peluang untuk bertindak tidak adil kepada mereka atau tidak
menghormati perjanjian-perjanjian yang sedang berlangsung antara kaum Muslimin dengan
kaum kafir. Keadilan harus selalu ditegakkan. Kebencian dan kemarahan karena Allah sama
sekali tidak boleh menghalangi pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan.
Firman Allah :
„Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk
berbuat tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.“ QS Al-
Maidah:8
Hal ini bertujuan supaya anda menyadari bahaw kaum Muslimin, tidak seperti ummat
yang lain, adalah satu ummat sebagaimana ditegaskan oleh naskah perjanjian yang telah kami
jelaskan terdahulu. Dengan demikian wala‘ dan persaudaraan mereka harus dibatasi hanya
pada lingungan mereka saja. Adapun pergaulan (mu‘amalah) mereka kepada semua orang
maka harus didasarkan kepada prinsip-prinsip keadilan dan keinginan akan kebaikan bagi
semua orang.

0 Komeng:

Post a Comment

 
Copyright 2009 Intelektual-Muslim™