Subscribe:


ShoutMix chat widget
Perang Banu Quraidlah

Disebutkan dalam Ash-Shahihain bahwa ketika Nabi saw kembali dari Khandaq, tidak
lama setelah meletakkan senjata dan mandi, Jibril datang kepadanya lalu berkata,“Apakah
kamu sudah meletakkan senjata ? Demi Allah, kami belum meletakkannya. Berangkatlah
kepada mereka.“ Nabi saw bertanya ,“Kemana ?“ Jibril menjawab ,“Ke sana, seraya
menunjuk ke arah perkampungan Banu Quraidlah. Kemudian Nabi saw berangkat mendatangi
mereka.


Nabi saw memerintahkan kaum Muslimin supaya tidak seorang pun di antara mereka
melaksanakan shalat Ashar kecuali setelah sampai di banu Quraidlah. Di tengah perjalanan
tibahlah waktu shalat Ashar. Sebagian berkata, „Kami tidak akan shalat Ashar sehingga kami
sampai di sana.“ Sebagian lainnya berkata ,“Kami akan melakukan shalat.“ Karena bukan itu
yang dimaksudkan oleh Nabi saw.“ Kemudian mereka melaporkan kejadian itu kepada
Rasulullah saw, tetapi beliau tidak mengecam atau menegur terhadap salah seorang pun di
antara mereka.
Rasulullah saw mengepung Bani Quraidlah yang bertahan di benteng-benteng mereka
selama 25 malam, ada yang mengatakan selama 15 hari, sampai mereka menyerah dan Allah
swt melemparkan rasa takut ke dalam hati mereka.
Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Ka‘ab bin Asad berkata kepada orang-orang
Yahudi, karena melihat Rasulullah saw tidak mau beranjak meninggalkan mereka,“Wahai
kaum Yahudi, kalian bisa melihat sendiri apa yang telah menimpa saudara sekalian, saya
tawarkan tiga alternatif, ambillah yang kalian suka.“ Mereka bertanya ;“Apa itu?“ Ka‘ab
menjawab :“Kita mengikuti Muhammad dan membenarkannya, karena , demi Allah, tentu
telah jelas bagi kalian bahwa dia adalah seorang Rasul yang telah diutus dan kalian pun dapat
menemukannya dalam kitab suci kalian dan anak-anak kalian akan selamat.“ Mereka
menjawab:“Kami tidak akan melepaskan Hukum-hukum Taurat.“ Ka‘ab lalu berkata,“ Bila
kalian tidak mau menerima usulan ini, marilah kita habisi istri dan anak-anak kita lalu kita
hadapi Muhammad dan para sahabatnya dengan pedang terhunus, kita tinggalkan anak-anak
yang merana. Bila kita menang, kita bisa kawin lagi dan akan beranak pinak.“ Mereka
menjawab,“Apakah dosa makhluk-makhluk kesayangan ini ?“ Ka‘ab berkata lagi, „Bila
kalian juga menolak usulan ini, maka malam ini adalah malam Sabtu (Sabbat), bisa jadi
Muhammad dan para sahabatnya merasa aman dari gangguan kita, karenanya marilah kita
turun mungkin kita bisa menyergap mereka dengan tiba-tiba. Mereka terus berkata,“Haruskah
kita mengotori Sabbat dan melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kita
yang kemudian dijadikan kera?“ Ka‘ab terus berujar,“Tak seorang pun di antara kalian, sejak
hari lahir kalian, yang bisa melewati satu malam untuk memecahkan masalah yang
seharusnya.“
Akhirnya mereka menyerah kepada ketetapan Hukum Rasulullah saw, karena orangorang
Yahudi Banu Quraidlah adalah sekutu suku Aus maka Nabi saw ingin menyerahkan
ketetapan hukum mengenai mereka kepada salah seorang pemimpin suku Aus. Dalam hal ini
Nabi saw mempercayakan kepada Sa‘ad bin Muadz . Waktu itu Sa‘ad bin Muadz terkena
panah di Khandaq dan masih dirawat di kemah. Ketika Rasulullah saw mempercayakan
keputusan tentang banu Quraidlah ini kepadanya, ia datang dengan menunggang keledai.
Sebab ia sampai di dekat masjid, Nabi saw berkata kepada kaum Anshar,“Berdirilah kepada
pemimpin kalian atau orang yang terbaik di antara kalian.“ Kemudian Nabi saw bersabda
:“Sesungguhnya mereka (orang-orang Yahudi Banu Quraidlah) menyerah kepada
keputusanmu“. Sa‘ad bin Muadz menetapkan :
„Orang-orang yang menerjunkan diri dalam perang dibunuh dan keluarga mereka ditawan.“
Keputusan Sa‘ad ini disambut baik oleh Rasulullah saw dengan ucapan :
„Engkau telah mengambil keputusan sesuai dengan hukum Allah:“
Selanjutnya Muadz mengatakan :“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa
tidak ada orang yang lebih aku sukai untuk kuperangi selain dari kaum yang mendustakan
Rasul-Mu dan mengusirnya. Ya Allah, sesungguhnya aku yakin bahwa Engkau telah
mengakhiri peperangan antara kami dan mereka (Quraisy dan Musyrikin). Jika masih ada
peperangan melawan orang-orang Quraisy maka berilah kesempatan kepadaku untuk berjihad
melawan mereka di jalan-Mu. Jika Engkau telah mengakhiri peperangan maka letuskanlah
lulaku ini dan jadikanlah kematianku padanya.“
Kemudian luka Sa‘ad bin Muadz pun pecah, darahnya mengalir sampai ke dalam
kemah Bani Ghiffar di dalam mesjid. Para penghuni kemah terkejut seraya bertanya : Dari
manakah darah ini datang ? Ternyata darah itu adalah darah Sa‘ad bin Muadz yang mengucur
dari lukanya dan menjadi sebab kematiannya. Di dalam riwayat Ahmad disebutkan bahwa
lukanya itu sebesar lubang anting.
Kemudian orang-orang Yahudi Banu Quraidlah diminta turun dari benteng-benteng
mereka dan digiring ke parit-parit yang ada di Madinah. Di sanalah orang-orang lelaki mereka
bunuh dan para perempuan serta anak-anak mereka tawan. Di antara orang-orang yang
digiring untuk dibunuh terdapat Huyay bin Akhtab yang menghasut Banu Quraidlah untuk
melakukan pengkhianatan dan melanggar perjanjian. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa dia
dibawa ke hadapan Rasulullah saw dengan kedua tangannya diikat ketengkuknya. Ketika
melihat Nabi saw dia berkata:“Demi Allah, aku tidak mencela diriku karena memusuhimu,
tetapi siapa saja yang mempecundangi Allah swt, pasti dia akan dipecundangi.“ Kemudian dia
duduk lalu dipacung lehernya.
Beberapa Ibrah.
Para Ulama hadits dan Sirah menyimpulkan beberapa hukum dari peristiwa banu
Quraidlah ini :
Pertama : Boleh Memerangi orang-orang yang melanggar perjanjian
Bahkan Imam Muslim menjadikan hukum ini sebagai judul baig perang Banu
Quraidlah. Perdamaian, perjanjian dan pemberian perlindungan yang telah dibuat antara kaum
Muslimin dan non-Muslim wajib dijaga dan dihormati oleh kaum Muslimin selama pihak lain
tidak melanggar perjanjian tersebut. Jika pihak lain melanggar perjanjian yang telah
disepakati maka pada saat itu kaum Muslimin boleh memerangi mereka bila tindakan ini
dinilai akan membawa kemaslahatan.
Kedua : Boleh bertahkim dalam memutuskan Perkara kaum Muslimin
Imam Nawawi berkata :“Peristiwa ini menunjukkan bolehnya bertahkim, dalam
memutuskan perkara kaum Muslimi kepada keputusan seorang Muslim yang adil dan laik
memutuskan perkara. Para ulama telah menyepakati dalam kasus kaum Khawarij. Kaum
Khawarij ini menolak Ali ra dalam melakukan tahkim, tetapi ketentuan ini menjadi hujjah
atas mereka. Peristiwa ini juga menunjukkan bolehnya mengadakan perundingan bersama
penduduk suatu desa atau penghuni suatu benteng dengan menyerahkan keputusan kepada
seorang sebagai Hakum Muslim yang adil, laik memutuskan perkara dan dapat dipercaya
dalam urusan yang dimaksud. Sementara itu orang yang bertindak sebagai Hakim diwajibkan
mengambil keputusan yang akan membawa kemaslahatan kaum Muslimin. Bila Hakim telah
memutuskan sesuatu maka harus dipatuhi keputusannya, Imam ataupun mereka tidak boleh
menolak. Mereka boleh mencabut sebelum keputusan dijatuhkan.
Ketiga : Boleh Berijtihad dalam masalah Furu‘ dan kemestian terjadinya Perbedaan Pendapat.
Perselisihan para sahabat dalam memahami ucapan Rasulullah saw :
„Janganlah ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali setelah sampai di Banu Quraidlah.“
Dan tidak adanya seorang pun di antara mereka yang dikecam ataupun disalahkan oleh
Rasulullah saw, merupakan dalil penting bagi salah satu prinsip Syariat yang agung ini yaitu
ketetapan prinsip perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu‘ dengan menganggap
masing-masing dari kedua belah pihak yang berselisih pendapat mendapatkan pahala dan
terma‘afkan (kesalahannya), baik kita katakan bahwa pihak yang benar itu hanya satu atua
bisa lebih dari satu. Sebagaimana ia juga menetapkan prinsip sjtihad dalam menyimpulkan
Hukum-hukum Syariat. Di samping itu, peristiwa ini menunjukkan bahwa menuntaskan
perselisihan dalam masalah-masalah furu‘ yang timbul dari dalil-dalil zhanni adalah sesuatu
yang tidak mungkin. Karena Allah swt memperhamba para hamba-Nya dengan dua macam
taklif (kewajiban).
Pertama,
Menetapkan perintah-perintah tertentu dan jelas yang berkaitan dengan Aqidah dan perilaku
(suluk).
Kedua,
Mencari dan mengerahkan segenap upaya untuk memahami prinsip-prinsip dan hukumhukum
fariyah dari dalil-dalilnya yang umum dan beraneka macam. Seseorang yang
mendapati waktu shalat di suatu pedalaman dan tidak mengetahui arah Kiblat secara pasti,
tidaklah dituntut lebih dari tercerminya ubudiyah kepada Allahd alam mengerahkan segenap
usahanya untuk mengetahui arah kiblat sesuai apa yang dipahaminya dan atas tanda-tanda
yang dilihatnya. Bila ia sudah yakin akan arah Kiblat yang dicariny,a ia boleh shalat
menghadap kepadnya dengan tenang.
Selain itu, beberapa hikmat dari adanya dalil-dalil dari nash-nash Syariat zhanniyu
‚dilalah (tidak tegas penunjukkannya). Yang terpenting di antaranya, agar ijtihad-ijtihad yang
berlainan mengenai suatu maslah ini seluruhnya memiliki hubungan yang erat dengan dalildalil
yang mu‘tabarah secara syar‘i. Sehingga kaum Muslimin memiliki keleluasaan untuk
mengambil dalil yang mana saja yang mereka kehendaki sesuai dengan tuntutan situasi dan
kemaslahatan mereka Hal ini termasuk salah satu bentuk rahmat Allah swt kepada para
hamba-Nya di setiap jaman dan waktu.
Dengan demikian usaha-usaha untuk menghapuskan perbedaan pendapat 8khilafia)
dalam masalah-masalah furu‘ adalah bertentangan dengan hikmah Rabbaniya dan tadbir
(rekayasa) Ilahi dalam Syari‘at-Nya , di samping merupakan salah satu jenis kesia-siaan.
Sebab, bagaimana anda akan menghapuskan adanya perbedaan pendapat selama dalilnya
bersifat zhanni dan mengandung beberapa kemungkinan (muhtamal) ? Seandainya hal itu
mungkin terjadi pada suatu masa, niscaya sudah terjadi di masa Rasulullah saw dan orang
yang paling pantas untuk tidak berbeda pendapat adalah para sahabat, tetapi ternyata mereka
juga berselisih pendapat seagaimana anda lihat dalam peristiwa ini.
Keempat : Keyakinan Orang-orang Yahudi terhadap kenabian Muhammad saw.
Seperti anda ketahui dari ucapan Ka‘ab bin Asad kepada saudara-saudaranya sesama
Yahudi, bahwa mereka meyakini Kenabian Muhammad saw dan benar-benar mengetahui apa
yang ditegasan oleh Taurat tentang diri Nabi saw, tanda-tandanya dan Kerasulannya. Tetapi
mereka tidak dapat membebaskan diri dari fanatisme dan kesombongan yang menjadi sebab
kekafiran sebagian besar manusia yang berpura-pura tidak faham dan tidak beriman. Ini
sekaligus menjadi bukti nyata bahwa Aqidah Islam dan semua hukumnya merupakan agama
fitrah yang bersih. Aqidahnya sesuai dengan akal dan semua Hukumnya sesuai dengan
kebutuhan dan kemaslahatan manusia. Tidak ada orang berakal sehat yang mendengar Islam
dan mengetahui hakekatnya kemudian mengingkarinya secara jujur dan rasional. Ia
mengingkari karena salah satu dari dua sebab, Mungkin dia tidak mendengar Islam secara
benar dan mendapatkan gambaran yang palsu tentang Islam, atau mungkin dia mengetahui
hakekat Islam tetapi secara emosional menolaknya karena kebencian kepada kaum Muslimin
atau karena takut kehilangan kepentingan pribadinya.
Kelima : Hukum Berdiri karena Menghormati Orang yang datang.
Nabi saw memerintahkan orang-orang Anshar untuk berdiri menghormati Sa‘ad bin
Muadz yang sedang menuju ke arah mereka dengan menunggang kendaraannya. Dikatakan
sebagai tindakan penghormatan mengingat penjelasan Rasulullah saw.“Kepada pemimpin
kalian atau orang yang terbaik di antara kalian.“ Hal ini oleh para Ulama dijadikan dalil bagi
bolehnya menghormati orang-orang shalih dan para Ulama dengan berdiri kepada mereka
pada kesempatan-kesempatan tertentu.
Imam Nawawi dalam komentarnya kepada Hadits ini berkata :“Ia menunjukkan
bolehnya menghormati orang yang memiliki keutamaan dan menyambutnya dengan berdiri
kepadanya apabila dia datang. Demikianlah jumhur Ulama berdasarkan hadits ini,
menganjurkan berdiri (untuk menghormati orang yang datang). Al-Qadli berkata :“Ini tidak
termasuk berdiri (untuk menghormati) yang dilarang. Berdiri (untuk menghormati) yang
dilarang itu ialah bila mereka berdiri kepada seseorang yang duduk dan mereka tetap berdiri
selama orang yang dihormati itu duduk. Saya berkata :“Berdiri kepada orang Ahlul Fadli
(shalih) yang baru datang adalah mustahab (digemarkan), karena banyak hadits yang
menegaskan hal ini dan tidak ada satupun larangan yang tegas mengenainya.“
Di antara hadits shahih yang menunjukkan kepada hal ini ialah apa yang disebutkan di
dalam hadits Ka‘ab bin Malik (Muttafaq alaihi) yang menceritakan ketidak ikut sertaannya
apda perang Tabuk. Ka‘ab bin Malik berkata :“Kemudian aku berangkat ke Mesjid untuk
menjadi Makmum di belakang Rasulullah saw , lalu orang-orang datang kepadaku gelombang
demi gelombang menyampaikan pernyataan penerimaan taubat kepadaku seraya berkata,
„Semoga engkau berbahagia, dengan penerimaan taubat oleh Allah swt kepadamu“.
Kemudian aku masuk mesjid dan kudapati Rasulullah saw sedang duduk dikerumuni orang
banyak. Lalu Thalhah bin Ubaidillah ra berdiri kepadaku seraya berlari kecil hingga
menyalamiku dan mencucapkan selamat kepadaku.“ Demi Allah, tidak ada orang Muhajirin
selainnya yang berdiri sehingga Ka‘ab tidak pernah melupakan perlakuan Thalhah tersebut.
Di antara hadits lainnya juga apa yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Abu Dawud dan
Bukhari di dalam Adabul-Mufrad :
„Dari Aisyah ra , ia berkata :“Aku tidak melihat seorang pun di antara manusia yang lebih
menyerupai Nabi saw dalam hal bicara, omongan dan cara duduk selain dari pada Fatimah.
Aisyah berkata :“Apabila Nabi saw melihat Fatimah datang, beliau menyambutnya dan
berdiri kepadanya lalu menciumnya seraya memegang tangannya kemudian membawanya
hingga mendudukannya di tempat duduk beliau. Sebaliknya, apabila Nabi saw datang
kepadanya, ia menyambut Nabi saw kemudian berdiri kepadanya dan menciumnya.“
Ketahuilah bahwa semua ini tidak bertentangan dengan Hadits Rasulullah saw yang
menegaskan :
„Barangsiapa menginginkan agar orang-orang berdiri (memberikan hormat) kepadanya maka
hendaknya ia mempeersiapkan tempat duduknya di neraka.“
Karena disyariatkan penghormatan kepada orang-orang yang memiliki keutamaan
tidak berarti mereka menginginkan hal ini, bahkan di antara sifat orang-orang yang shalih,
yang paling menonjol ialah berlaku tawadlu kepada saudara-saudara mereka dan tidak pernah
menginginkan hal-hal seperti itu. Bagaimanakah Islam memerintahkan kepada orang-orang
fakir yang membutuhkan bantuan ? Adab Islam menganjurkan dan mengajarkankan
kepadanya gar tidak meminta-minta dan mengampak-nampakkan kefakiran kepada manusia,
tetapi pada saat yang sama Islam memerintahkan orang-orang kaya agar mencari orangoranga
fakir yang tidak meminta-minta dan menghormati mereka serta membari bantuan
kepada mereka.
Jadi, masing-masing mempunyai adab dan tugas. Keduanya tidak boleh dicampuradukkan
atau yang satu dihapuskan dengan yang lain.
Tetapi dalam masalah ini anda harus mengetahui bahwa penghormatan yang apabila
dilanggar maka penghormatan itu akan berubah menjadi tindakkan yang diharamkan dan
orang yang melakukannya tau membiarkannya akan mendapatkan dosa.
Di antara apa yang mungkin anda temui dalam majelis-majelis sebagai kaum Sufi.
Salah seorang Murid diperintahkan berdiri di depan Syaikh-nya dengan merendahkan diri dan
tidak bergerak sampai Syaikhnya memerintahkannya untuk duduk. Atau sebagian mereka
sujud di lutut Syaikhnya atau pada tangannya ketika dia datang. Atau mereka harus berjalan
merangkak bila memasuki majelis Sufi. Dan janganlah anda tertipu oleh penjelasan yang
mengatakan bahwa itu semua hanylaah uslub (cara) terbiyah kepada Murid. Karena Islam
telah mensyariatkan berbagai manhaj dan uslub tarbiyah dan melarang kaum Muslimin
melakukan penyimpangan daripadanya. Setiap uslub tarbiyah yang tidak sesuai dengan uslub
Nabawi, tidak dapat dibenarkan.
Keenam : Keutamaan Sa‘ad bin Muadz
Dari peperangan Banu Quraidlah ini anda dapat mencatat keutamaan-keutamaan yang
dimiliki oleh Sa‘ad bin Muadz. Pertama, ketika Nabi saw memberikan kepercayaan
kepadanya untuk menetapkan suatu keputusan mengenai nasib Banu Quraidlah dan sikap
beliau yang sepenuhnya mendukung terhadap setiap keputusan yang akan diambilnya. Kedua,
ketika Nabi saw memerintahkan orang-orang Anshar agar berdiri kepadanya pada waktu dia
datang. Ini merupakan keutamaan besar bagi Sa‘ad bin Muadz karena perintah tersebut
bersumber dari Rasulullah saw. Ketiga, ketika leher Sa‘ad terluka di perang Khandaq dengan
khusyu‘ ia mengangkat kedua tangannya mengucapkan do‘a kepada Allah :
„Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa tidak ada orang yang lebih aku sukai
untuk kuperangi selain dari kaum yang mendustakan Rasul-Mu dan mengusirnya. Ya Allah,
jika masih ada peperangan melawan orang-orang Quraisy maka berilah kesempatan kepadaku
untuk berjihad melawan mereka di jalan-Mu.“
Do‘a Sa‘ad ini dikabulkan. Lukanya mengering dan terlihat tanda-tanda akan sembuh
total, hingga terjadi perang Banu Quraidlah dan Rasulullah saw menyerahkan kepadanya
untuk menetapkan keputusan yang berkekuatan hukum terhadap mereka dan Allah swt,
menhindarkan kaum Muslimin dari kejahatan kaum Yahudi serta membersihkan Madinah dari
kotoran-kotoran mereka. Di sini Sa‘ad mengangkat kedua tangannya kembali berdo‘a kepada
Allah :
„Ya Allah, sesungguhnya aku yakin bahwa Engkau mengakhiri peperangan antara kami dan
mereka (Quraisy dan Musyrikin). Jika Engkau telah mengakhiri peperangan antara kami dan
mereka maka letuskanlah lukaku ini dan jadikanlah kematianku padanya.“
Do‘a Sa‘ad yang kedua ini dikabulkan Allah. Lukanya pecah pada malam itu juga dan
Sa‘ad meninggal dunia.
Ibnu Hajar di dalam Fathul-Bari mengatakan : Menurut saya perkiraan Sa‘ad itu benar
dan do‘anya juga dikabulkan ,sebab setelah perang Khandaq tidak pernah menjadi peperangan
antara kaum Muslimin dan orang-orang Quraisy , yang dalam hal ini peperangan tersebut
dimulai oleh kaum Musyrikin. Yang terjadi bahwa Rasulullah saw siap-siap untuk melakukan
Umrah kemudian mereka menghalangi kedatangan Nabi saw ke Mekkah, sehingga hampir
menimbulkan pepernagan, tetapi tidak jadi sebagaimana difirmankan Allah :
„Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan)
tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah koat Mekkah sesudah Allah swt
memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan .“
QS Al-Fath : 24
Kemudian terjadi perjanjian perdamaian yang di antaranya meminta agar Nabi saw
menunaikan umrahnya tahun depan. Perjanjian ini berjalan sampai mereka sendiri
melanggarnya. Lalu Rasulullah saw berangkat memerangi mereka dan menaklukkan Mekkah.
Rasulullah saw telah menegaskan, sekembalinya dari perang Ahzab, dalam sebuah
riyawat Bukhari :
„Sekarang kita yang menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kita. Kita bergerak
mendatangai mereka.“
Al-Bazzar dengan sanad hasan meriwayatkan dari hadits Jabir ra, bahwa Nabi saw
pernah bersabda apda perang Ahzab, ketika mereka telah mempersiapkan pasukan yang
sangat besar untuk menghadapi Nabi saw :
„Setelah hari ini mereka tidak akan menyerang kalian, tetapi kalianlah yang akan menyerang
mereka.“
Akhirnya kisah Sa‘ad ini, dengan segala situasi dan kasus yang telah kami sebutkan di
atas, mengingatkan anda kembali kepada apa yang tlah kami tegaskan bahwa perang membela
diri di dalam Islam hanyalah merupakan salah satu tahapan dakwah yang pernah dilalui
Rasulullah saw. Setelah itu adalah tahapan mengajak semua manusia termasuk kaum
Musyrikin dan Atheis, untuk menerima Islam. Demikian pula Ahli Kitab, mereka harus
menerima Islam atau tunduk kepada Hukum Islam secara umum. Kemudian orang-orang yang
menghalangi Islam akan diperangi selama memungkinkan dan setelah semua dakwah secara
damai dikerahkan.
Setelah sempurnanya Hukum Islam yang berkaitan dengan jihad dan dakwah, tidak
ada apa yang disebut dengan perang defensif yang akhir-akhir ini sering dilontarkan oleh
sebagian penulis. Jika tidak lalu apa arti sabda Rasulullah saw :“ Tetapi kalianlah yang akan
menyerang mereka.“

0 Komeng:

Post a Comment

 
Copyright 2009 Intelektual-Muslim™