Subscribe:


ShoutMix chat widget

4.07.2011

Perang Uhud
 
Peperangan ini terjadi karena pada tokoh Quraisy yang tidak terbunuh pada perang
Badr bersepakat untuk membalaskan dendam orang-orang yang terbunuh di Badr. Mereka
ingin membentuk pasukan besar guna menghadapi Muhammad saw, dengan dukungan dana
dari seluruh kekayaan yang dibawa oleh kafilah Abu Sofyan. Keinginan ini akhirnya disetujui
oleh seluruh kaum Quraisy dengan didukung pula oleh unsur-unsur yang dikenal dengan
nama Al-Ahabisy (suku-suku lain di sekitar Mekkah yang terikat perjanjian dengan suku
Quraisy)- Bahkan mereka mengerahkan kaum wanita untuk mencegah larinya para tentara
dari medan perang apabila kaum Muslimin melancarkan serangan kepada mereka. Kaum
Quraisy keluar meninggalkan Mekkah dengan tiga ribu tentara.
Setelah mendengar berita tersebut, Rasulullah saw lalu mengadakan musyawarah
dengan para shabatnya. Dalam musyawarah ini Rasulullah saw menawarkan kepada mereka
antara keluar menjemput musuh di luar kota Madinah atau bertahan di dalam kota Madinah,
jika musuh datang menyerang kota Madinah barulah kaum Muslimin menghadapi mereka
dalam kota. Dari kalangan orang-orang tua, termasuk Abdullah bin Ubay bin Salul memilih
tawaran (bertahan di dalam kota Madinah) sedangkan sebagian besar dari para sahabat yang
tidak berkesempatan ikut perang Badr berkeinginan menghadapi musuh di luar kota Madinah,
lalu mereka berkata :
„Wahai Rasulullah saw , bawalah kami ke luar menghadapi musuh kita agar mereka tidak
menganggap kita takut dan tidak mampu menghadapi mereka.“
Golongan ini terus saja mendesak Rasulullah saw agar mau mengadakan perang di
luar Madinah, sampai akhirnya beliau menyetujuinya. Kemudian Rasulullah saw masuk
rumahnya lalu mengenakan baju perang dan mengambil senjatanya. Melihat ini, lalu orangorang
yang mendesak Rasulullah saw tersebut menyesali diri karena mereka telah memaksa
Rasulullah saw untuk melakukan sesuatu yang tidak diingininya sehingga mereka berkata
kepada Rasulullah saw :
„Ya Rasulullah saw , kami tadi telah mendesak anda untuk keluar padahal tidak selayaknya
kami berbuat demikian. Karena itu jika anda suka duduklah saja.“
Tetapi Rasulullah saw menjawab :
„Tidak pantas bagi seorang Nabi apabila telah memakai pakaian perangnya untuk
meletakkannya kembali sebelum berperang.“
Kemudian Nabi saw keluar dari Madinah bersama seribu orang pasukannya menuju
Uhud, pada hari Sabtu tanggal 7 Syawwal, tiga puluh dua bulan setelah Hijrah beliau. Ketika
di tengah perjalanan antara Madinah dan Uhud, Abdullah bin Ubay bersama sepertiga
pasukan umumnya terdiri dari pada pendukungnya melakukan desersi dan kembali pulang
dengan alasan yang dikemukakannya :
„Dia (Nabi saw) tidak menyetujui pendapatku bahkan menyetujui pendapat anak-anak
ingusan dan orang-orang awam. Kami tidak tahu untuk apa kami harus membunuh diri kami
sendiri.“
Abdullah bin Harram berusaha mencegah mereka dan memperingatkan agar mereka
tida mengkhianati Nabi saw. Tetapi mereka menolak, bahkan tokoh mereka menjawab
:“Seandainya kami tahu akan terjadi peperangan niscaya kami tidak akan mengikuti kalian.“
Bukhrai meriwayatkan bahwa kaum Muslimin berselisih pendapat dalam menanggapi
tindakkan desersi ini. Sebagian mengatakan :“Kita perangi mereka“, sedangkan sebagian yang
lain mengatakan :“Biarkan mereka“. Lalu turunlah firmam Allah swt mengenai hal itu :
„Maka mengapa kami menjadi dua golongan dalam menghadapi orang-ornag munafiq,
padahal Allah swt telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka
sendiri ? Apakah kamu ingin memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan
oleh Allah swt ? Siapa pun yang disesatkan oleh Allah swt, sekali-kali kamu tidak mungkin
mendapatkan jalan untuk memberi petunjuk kepadnaya.“ QS An-Nisa : 88.
Menghadapi peperangan ini, sebagian sahabat mengusulkan supaya meminta bantuan
kepada orang-orang Yahudi, mengingat mereka terikat perjanjian untuk saling tolongmenolong
dengan kaum Muslimin. Tetapi Rasulullah saw menjawab :
„Kita tidak akan pernah meminta bantuan kepada orang-orang Musyrik untuk menghadapi
orang-orang musyrik lainnya.“
Kemudian Rasulullah saw bersama para sahabatnya jumlah mereka t idak lebih dari
tujuh ratus tentara mengambil posisi di sebuah dataran di lereng gunung Uhud dan
membentengi diri di balik gunung itu, menghadap ke arah Madinah. Beliau menempatkan
lima puluh pasukan pemanah di atas bukit yang terletak di belakang kaum Muslimin itu.
Rasulullah saw menunjuk Abdullah bin Jubair sebagai pimpinan pasukan pemanah. Kepada
pasukan pemanah Rasulullah saw berpesan :
„Berjagalah di tempat kalian ini dan lindungilah pasukan kita dari belakang. Bila kalian
melihat pasukan kita berhasil mendesak dan menjarah musuh, janganlah sekali-kali kalian
turut serta menjarah. Demikian pula andai kalian melihat pasukan kita banyak yang gugur,
janganlah kalian bergerak membantu.“
Rafi‘ bin Khudaij dan Samurah bin Jundab keduanya berusia lima belas tahun,
meminta kepada Rasulullah saw untuk ikut serta dalam peperangan ini. Karena terlalu muda,
Rasulullah saw menolah permintaan tersebut. Tetapi setelah dijelaskan kepada beliau bahwa
sesungguhnya Rafi‘ ahli memanah, akhirnya Rasulullah saw membolehkannya. Kemudian
Samurah bin Jundab pun menghadap Rasulullah saw seraya berkata :“ Demi Allah swt, aku
bisa membanting Rafi‘.“ Akhirnya Rasulullah saw pun membolehkannya juga.
Pada hari menjelang Uhud, Rasulullah saw memegang sebilah pedang kemudian
bertanya kepada pasukannya : „Siapakah di antara kalian yang sanggup memenuhi fungsi
pedang ini ?“ Abu Dujanah maju seraya menjawab :“ Aku sanggup memenuhi fungsinya.“ Ia
kemudian menerima pedang tersebut dari tangan Rasulullah saw. Ia mengeluarkan pedang
tersebut dari tangan Rasulullah saw. Ia mengeluarkan selembar kain merah lalu diikatkan di
kepala (kebiasaan Abu Dujanah jika ingin berperang sampai mati) kemudian ia berjalan
mengelilingi barisan dengan membanggakan diri. Melihat ini Rasulullah saw bersabda :
„Sesungguhnya cara berjalan seperti itu dimurkai oleh Allah swt , kecuali pada tempat (dan
peristiwa) seperti ini (perang).“
Kemudian Rasulullah saw menyerahkan panji kepada Mush‘ab bin Umair. Sementara
itu pasukan sayap kanan kaum Musyrikin di bawah pimpinan Khalid bin Walid dan sayap kiri
di bawah pimpinan Ikrimah bin Abu Jahal.
Perang campuh pun berlangsung sangat sengit. Dalam pertempuran ini kaum
Muslimin berhasil menyerang kaum Musyrikin secara mengagumkan, terutama Abu Dujanah,
Hamzah bin Abdul Muttalib dan Mush‘ab bin Umair.
Mush‘ab bin Umair gugur di hadapan Rasulullah saw kemudian panji diambil oleh Ali
bin Abi Thalib. Tidak lama kemudian Allah swt menurunkan pertolongannya kepada kaum
Muslimin sehingga kaum Musyrikin lari mundur terbirit-birit tanpa menghiraukan wanitawanita
mereka yang menyumpah serapah kepada mereka. Kaum Muslimin terus mengejar
mereka seraya mengumpulkan barang rampasan. Melihat ini pasukan pemanah yang bertugas
mengawal di atas bukit tertarik untuk turun mengambil barang-barang rampasan bersama para
sahabatnya yang lainnya, kecuali pimpinan mereka, Abdullah bin Jubair, bersama beberapa
orang tetap setia menjaga bukt seraya berkata :“Aku tidak akan melanggar perintah
Rasulullah saw.“ Melihat bukit yang sudah tidak terjaga kecuali orang beberapa orang itu,
Khalid bin Walid bersama pasukannya pun melancarkan serangan balik, dan diikuti oleh
Ikrimah. Sehingga mereka berhasil membunuh pasukan pemanah yang masih setia mengawal
bukti termasuk Abdullah bin Jubair. Dan mulailah mereka melancarkan serangan balik kepada
kaum Muslimin dari arah belakang.
Pada saat itulah kaum Muslimin terhenyak, mulai terdesak dan diliputi oleh rasa takut,
sehingga mereka berperang dengan tidak teratur lagi. Pasukan Musyrikin semakin gencar
melancarkan serangan sampai mereka berhasil mendekati tempat di mana Rasulullah saw
berada. Mereka melempari beliau dengan batu, hingga beliau luka parah pada bagian
rahangnya. Sambil mengusap darah yang mengalir di wajahnya, Rasulullah saw bersabda :
„Bagaimana mungkin suatu kaum mendapat kemenangan, sedangkan mereka mengalirkan
darah di wajah Nabinya yang mengajak mereka kepada jalan Allah swt.“
Kemudian Fatimah datang membersihkan darah dair wajahnya sementara Ali
mencucinya dengan air. Setelah dilihat darah tetap mengucur akhirnya Fatimah mengambil
pelepah kering lalu dibakarnya sampai menjadi abu kemudian abu itu diucapkan ke tempat
luka dan barulah darah itu berhenti mengalir.
Di saat-saat kritis itu tersiarlah desas-desus bahwa Rasulullah saw gugur dalam
pertempuran, sehingga mengguncangkan hati sebagian kaum Muslimin dan menyebabkan
orang-orang yang lemah iman di antara mereka berkata : „Apa gunanya kita di sini jika
Rasulullah saw telah gugur ?“ Kemudian mereka lari meninggalkan medan pertempuran.
Tetapi menanggapi isu ini Anas bin Nadhar berkata :“ Bahkan untuk apa lagi kalian hidup
sesudah Rasulullah saw gugur ?“ Kemudian sambil menunjuk kepada orang-orang munafiq
dan lemah iman, Anas bin Nadhar berkata :“Ya Allah sesungguhnya ak berlepas diri kepada-
Mu dari apa yang mereka katakan itu, dan aku memohon ampun kepada-Mu atas apa yang
mereka ucapkan itu.“ Kemudian Anas bin Nadhar melesat dengan membawa pedangnya
menerjang kaum Musyrikin hingga gugur sebagai syahid.
Selama peristiwa ini tampaklah semangat pengorbanan dan pembelaan yang
mengagumkan dari para sahabat Rasulullah saw yang selalu berada di sekitarnya. Mereka rela
mengorbankan raga dan nyawa demi membela dan menyelamatkan Rasulullah saw.
Bukhari meriwayatkan bahwa ketika orang-orang meninggalkan Nabi saw, dengan
memerisaikan dirinya dari desakan panah-panah kaum Musyrikin, Abu Thalhah adalah
seorang pemanah ulung dan selalu tepat mengenai sasarannya. Setiap anak panah yang
dilepaskan olehnya ke arah kaum Musyrikin selalu diamati oleh Rasulullah saw, pada sasaran
manakah anak panah itu menancap. Kemudian Abu Thalhah berkata :“Demi ayah dan ibuku,
yang menjadi tebusanmu, tak usahlah anda mengamatiku nanti terkena panahan musuh.
Biarlah mengenai leherku asalkan lehermu selamat.“
Abu Dujanah melindungi Nabi saw dengan dirinya, sementara panah-panah musuh
bertubi-tubi menghujam di punggungnya. Demikian pula Ziyad bin Sakan. Ia memerangi
Rasulullah saw dengan dirinya sampai gugur bersama lima orang sahabatnya. Menurut
riwayat Ibnu Hisyam orang yang terakhir gugur melindungi Nabi saw hingga roboh karena
luka yang mengenainya, lalu Rasulullah saw berkata :“Dekatkanlah dia kepadaku.“ Kemudian
diletakkan kepalanya di atas kaki beliau dan akhirnyaia menghembuskan nafasnya yang
terakhir berbantalkan kaki Rasulullah saw.
Selang sekian lama pertempuran di antara kedua belah pihak pun mulai mereda, dan
berakhir. Kaum Musyrikin mulai meninggalkan medan pertempuran dengan rasa bangga atas
kemenangan yang diraihnya. Sementara itu kaum Muslimin terkejut melihat para sahabat
yang berguguran di antaranya Hamzah bin Abdul Muttalib, Al Yaman, Anas bin Nadhar,
Mush‘ab bin Umair dan lainnya. Rasulullah saw sendiri sangat berduka cita atas kematian
pamannya, Hamzah bin Abdul Muttalib, apalagi setelah melihat mayatnya yang dibedah
perutnya dan diiris hidung serta telinganya oleh musuh. Selanjutnya Rasulullah saw
menguburkan mayat-mayat itu dua-dua dalam satu kain lalu bertanya :“Siapakah yang paling
banyak hafal al-Quran ?“ Setelah diberitahukan lalu Rasulullah saw memasukkannya lebih
dahulu ke liang lahat. Sesudah itu Rasulullah saw besabda :“Aku menjadi saksi bagi mereka
pada Hari Kiamat.“ Rasulullah saw memerintahkan agar mereka dikuburkan berikut pakaian
dan darah mereka apa adanya, dengan tidak perlu dimandikan dan dishalatkan.
Orang-orang Yahudi dan Munafiq mulai menunjukkan kebencian mereka kepada
kaum Muslimin. Abdullah bin Ubay bin Salul bersama kawan-kawannya berkata kepada
kaum Muslimin :“Seandainya kalian mengikuti kmai niscaya tidak ada korban yang
berjatuhan di antara kalian.“ Kemudian mereka memperolok kaum Muslimin dengan
mempertanyakan kemangan yang pernah mereka impikan bersama Rasulullah saw. Lalu
Allah swt menurunkan sejumlah ayat dari surat Ali-Imran sebagai komentar dan jawaban
terhadap celotehan orang-orang Yahudi dan Munafiqin tersebut, di samping merupakan
penjelasan tentang hikmah dari peristiwa yang terjadi di Uhud. Ayat-ayat itu ialah :
„Dan (ingatlah) ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu dalam rangka
menempatkan para Mukmin pada beberapa posisi untuk berperang. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ QS Ali-Imran : 121.
„Orang-orang yang tidak turut berperang itu berkata kepada saudara-saudaranya :“Sekiranya
mereka mengikuti kita tentulah mereka tidak terbunuh.“ Katakanlah :“Tolaklah kematian itu
dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.“ QS Ali-Imran : 168.
Pada Sabtu sore Rasulullah saw meninggalkan Uhud dan pada malam harinya
bermalam di Madinah bersama pada sahabatnya. Pada malam itu kaum Muslimin mengobati
luka-luka mereka. Setelah melaksanakan shalat Shubuh pada hari Ahad, Rasulullah saw
memerintahkan Bilal untuk mengumumkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kepada
para sahabatnya agar keluar mengejar musuh. Perintah ini hanya ditujukan kepada para
sahabat yang ikut dalam peperangan kemarin. Kemudian Rasulullah saw meminta diambilkan
panjinya yang belum dilepas lalu menyerahkan kepada Ali bin Thalib ra. Dengan kondisi
yang masih belum pulih dan serba lemah, para sahabat itu melesat keluar mengejar musuh
sampai ke Hamra‘uö Asad (sebuah tempat yang terletak sepuluh mil dari Madinah). Di sinilah
kaum Muslimin menyalahkan api unggun berukuran besar sehingga dapat dilihat dari tempat
yang jauh di samping mengesankan banyaknya jumlah mereka.
Di saat itulah Ma‘bad bin Ma‘bad al-khuza‘I (seorang mUsyrik dari suku Khuza‘ah)
lewat dan melihat kaum Muslimin. Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya dan bertemu
dengan kaum Musyrikin yang sedang berpesta pora membanggakan kemenangan mereka di
Uhud, dan merencanakan kembali lagi ke Madinah untuk menumpas kaum Muslimin tetapi
dicegah oleh Shafwan bin Umaiyah. Ketika Abu Sofyan melihat Ma‘bad ia bertanya :“Wahai
Ma‘bad ada gerangan apa di sana ? Ma‘bad menjawab:“ Celaka ! Sesungguhnya Muhammad
bersama pada sahabatnya dalam jumlah besar yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, telah
keluar mengejar kalian. Dengan semangat berkobar-kobar dan kebencian yang belum pernah
aku lihat sebelumnya, mereka ingin berhadapan dengan kalian.“ Dengan itulah Allah swt ,
menimbulkan rasa takut di hati kaum Musyrikin sehingga mereka segera mengangkat kaki
berangkat menuju Mekkah. Rasulullah saw tinggla di Hamra‘ul Asad pada hari Senin dan
Selasa. Rabu kembali ke Madinah.
Beberapa Ibrah.
Pernag Uhud ini memberi banyak pelajaran penting kepada kaum Muslimin pada
setiap masa. Semua peristiwa yang telah kami jelaskan terdahulu seolah-olah menjadi
pelajaran yang bersifat aplikatif dan operasional, yang mengajarkan kepada kaum Muslimin
cara mencapai kemenangan dalma pertempuran melawan musuh , dan cara menghindari
kegagalan dan kekalahan. :
1.- Di dalam peperangan ini tampak pula prinsip yang selalu dipegang teguh oleh Rasulullah
saw , yaitu bermusyawarah besama para sahabatnya dalam setiap urusan yang memerlukan
syura dan pembahasan. Tetapi di sini kita mencatat satu hal yang tidak kida dapati pada
musyawarah menjelang Badr. Yaitu bahwa Nabi saw tidak mau mencabut kembali
persetujuannya atas pengusulan para sahabat yang menghendaki agar peperangan di
tandingkan di luar Madinah, setelah beliau memakai baju perang dan mengambil persiapan
perangnya, sekalipun mereka menyatakan penyesalan mereka dan menarik kembali usulan
mereka itu, serta mengharap Rasulullah saw agar tinggal saja di Madinah jika beliau
berpendapat demikian. Tampaknnya pada waktu musyawarah Nabi saw cenderung atau
menampakkan kecenderungan terhadap usulan yang menginginkan agar kaum Muslimin
menunggu musuh di Madinah.
Barangkali hikmah yang terkandung dalam maslah ini, antara lain bahwa
memperbincangkan kembali suatu masalah yang sudah diputuskan apalagi setelah Nabi saw
muncul di tengah kaum dan para sahabatnya seraya memakai baju perang dan mengangkat
senjatanya adalah suatu tindakkan di luar prinsip syura khususnya menyangkut masalahmasalah
peperangan yang memerlukan di samping musyawarah ketegasan dan kepastian
sikap. Di samping itu kesan yang akan timbul jika Nabi saw mencabut persetujuannya setelah
semuanya melihat Nabi saw telah bersiap-siap untuk perang, seakan Nabi saw tidak memiliki
kehendak dan tekat yang kuat dan pasti. Bahkan biasanya sikap ragu seperti itu muncul karena
rasa takut dan kekhawatiran yang tidak berasalan. Oleh sebab itu, Nabi saw menjawab mereka
dengan tegas dan pasti :
„Tidak pantas bagi seorang Nabi apabila telah memakai baju perangnya untuk meletakkannya
kembali sebelum berperang.“
2.- Dalam peperangan ini kaum Munafiqin menunjukkan sikap mereka yang asli. Sikap
mereka ini mengandung banyak hikmah dan tujuan, di antara yang terpenting ialah wujud
penyapubersihan unsur-unsur Munafiqin dari kaum Mukminin. Selain itu, sikap kaum
Munafiqin tersebut memberikan berbagai manfaat bagi kaum Muslimin untuk menghadapi
masa-masa mendatang.
Telah kita ketahui bagaimana Abdullah bin Ubay bersama tiga ratus pengikutnya
berkhianat kepada Rasulullah saw, dan para sahabatnya setelah keluar dari kota Madinah.
Konon pengkhianatan ini disebabkan karena Nabi saw, mengikuti pendapat anak-anak muda
dan tidak mengambil pendapat orang-orang tua dan para intelektual seperti dirinya (Abdullah
bin Ubay). Tetapi sesungguhnya tidaklah demikian halnya. Ia (Abdullah bin Ubay)
melakukan tindakkan pengkhianatan itu hanya karena tidak mau berperang. Sebab ia tidak
siap menghadapi segala resikonya. Itulah ciri khas utama kaum Munafiqin : ingin mengambil
keuntungan-keuntungan yang terdapat dalam Islam dan menjauhi segala tanggung jawab dan
resikonya. Sesuatu yang mengikat mereka dengan Islam ialah salah satu di antara dua hal :
Harta rampasan yang mereka idamkan atau bencana yang dapat mereka elakkan.
3.- Dalam peperangan ini Rasulullah saw tidak mau meminta bantuan kepada orang-orang
non-Muslim kendatipun jumlah kaum Muslimin masih sangat sedikit. Dalam Hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Sa‘d di dalam Thabaqat-nya, Rasulullah saw bersabda :
„Kami tidak akan pernah meminta bantuan kepada orang-orang Musyrik untuk menghadapi
orang-orang Musyrik lainnya.“
Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw pernah berkata kepada seorang laki-laki yang
ingin berperang bersamanya di peperangan Badr :
„Apakah kamu beriman kepada Allah swt ?“ Orang itu menjawab :“Tidak“, Nabi saw
bersabda :“Kembalilah, karena aku tidak akan meminta bantuan kepada seorang Musyrik.“
Berdasarkan kepada hal di atas jumhur ulama‘ berpendapat, tidak boleh meminta
bantuan orang-orang kafir dalam berperang. Imam Syafi‘I menjelaskan hal ini dengan
mengatakan :“Jika Imam melihat orang kafir tersebut memiliki pandangan yang baik dan jujur
kepada kaum Muslimin serta sangat diperlukan bantuannya, (maka boleh meminta
bantuannya), tetapi jika tidak demikian maka tidak boleh.“
Barangkali pendapat Imam Syafi‘I yang sesuai dengan beberapa kaidah dan dalil.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw menerima bantuan Shfwan bin Umaiyah pada perang Hunain.
Dan masalah ini termasuk ke dalam kerangka apa yang disebut syari'ah (kebijaksanaan
Imam). Kami akan menyebutkan perbedaan antara apa yang dilakukan Rasulullah saw di
Hunain serta apa yang dilakukan Rasulullah saw di Badr dan Uhud pada pembahasan
mendatang insya Allah.
4.- Hal yang perlu direnungkan ialah fenomena Samurah bin Jundab dan Rafi‘ bin Khudaij.
Keduanya baru berusia lima belas tahun. Bagaimana kedua anak ini datang kepada Rasulullah
saw meminta ijin agar diperkenankan ikut serta dalam peperangan. Suatu peperangan yang
didasarkan pada kesiapan mati dan sangat tidak seimbang. Kaum Muslimin yang jumlahnya
tidak lebih dari tujuh ratus orang dengan kaum Musyrikin yang jumlahnya lebih dari tiga ribu
tentara.
Anehnya fenomena ini oleh para musuh Islam dianalisis dengan bukti bahwa bangsa
Arab sejak dahulu selalu hidup dalam situasi peperangan dan pertempuran. Sehingga mereka
(orang-orang Arab) tumbuh dalam nuansa dan suasana itu. Oleh sebab itu, mereka (tua
ataupun muda) memandang peperangan sebagai sesuatu yang tidak perlu ditakutkan.
Tidak diragukan lagi bahwa analisis ini dengan sengaja tidak mau melihat dan
mencatat realitas desersi yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul bersama tiga ratus
pengikutnya karena takut terhadap resiko peperangan , dan menginginkan keselematan
jiwanya. Juga tidak mau melihat kepada orang-orang yang ingin menikmati hasil panen kota
Madinah pada musim panas dan menolak seruan Rasulullah saw untuk berperang dengan
mengatakan :“Janganlah kalian berperang pada musim panas.“ Bahkan analisis tersebut sama
sekali tidak mau melihat jumlah mereka lebih banyak ketimbang kaum Muslimin, dan rasa
takut yang menghantui mereka padahal mereka adalah orang-orang Arab yang tumbuh,
sebagaimana istilah mereka, dibawah naungan peperangan.
Sulit sekali bagi orang yang bersikap objektif untuk menghindari satu aksioma yang
menegaskan bahwa munculnya kesiapan untuk menghadapi kematian seperti yang terlihat
pada fenomena anak-anak tersebut (Samurah bin Jundab dan Rafi‘ bin Khudaij) adalah karena
dorongan keimanan yang telah menguasai hatinya dan hasil mahabbah terhadap Rasulullah
saw. Bila iman dan mahabbah ini telah terbentuk maka kesiapan itu pasti akan muncul.
Sebaliknya , bila iman dan mahabbah itu tidak ada atau lemah maka jangan diharap kesiapan
tersebut akan muncul.
5.- Memperhatikan siasat peperangan yang diterapkan Rasulullah saw dalam peperangan ini
(terutama dalam menempatkan posisi pasukan pemanah yang bertugas mengawasi di atas
bukit, betapapun situasi yang terjadi) tampaklah :
Pertama,
Keahlian Rasulullah saw di bidang taktik dan strategi kemiliteran. Beliau adalah guru besar di
bidang strategi dan seni peperangan. Tidak diragukan lagi bahwa Allah swt telah membekali
keahlian yang langka ini kepada beliau. Tetapi perlu diingatkan bahwa kejeniusan dan
keahlian ini hanya berfungsi sebagai faktor pendukung Kenabidan dan Kerasulan yang
dibawanya. Kedudukan beliau sebagai seorang Nabi dan pembawa Risalah-lah yang menunut
agar beliau menjadi seorang yang jenius dan ahli di bidang kemiliteran, sebagaimana beliau
dituntut untuk menjadi seorang yang ma‘shum dari segala bentuk penyimpangan. Hal ini telah
dijelaskan pada bagian pertama dari buku ini, sehingga tidak perlu diulas kembali.
Kedua,
Bahwa pesan-pesan yang disampaikan Rasulullah saw kepada para sahabatnya yang sangat
erat dengan apa yang akan terjadi setelah itu, yaitu pelanggaran sebagian pasukan pemanah
terhadap perintah-perintah Nabi saw. Seolah-olah Nabi saw telah mengetahui apa yang akan
terjadi melalui firasat Kenabian atau Wahyu dari Allah swt, sehingga beliau perlu mewantiwanti
mereka dengan wasiat-wasiat dan berbagai perintah. Dengan demikian seolah-olah
beliau sedang melakukan suatu manuver yang hidup bersama para sahabatnya untuk melawan
musuh mereka yaitu hawa nafsu dengan segala ketamakannya kepad harta dan rampasan.
Suatu manuver betapapun , sangat bermanfaat. Hasil negatif dari suatu manuver mungkin saja
faedahnya lebih besar daripada hasil yang positif.
6.- Abu Dujanah setelah mengambil pedang dari tangan Rasulullah saw langsung berjalan
mengelilingi barisan kaum Muslimin dengan cara yang amat pongah, tetapi tindakan ini tidak
diingkari oleh Rasulullah saw. Beliau hanya berkomentar :
„Ini adalah gaya berjalan yang dimurkai Allah swt, kecuali di tempat seperti ini
(peperangan):“
Hal ini menunjukkan bahwa setiap bentuk kesombongan yang diharamkan dalam
situasi biasa, terhapus keharamannya dalam situasi perang. Di antara bentuk kesombongan
yang diharamkan kepada setiap Muslim ialah berjalan dengan cara sombong, tetapi hal
tersebut menjadi kebaikan di medan peperangan. Di antara bentuk kesombongan yang
diharamkan ialah menghias rumah atau bejana dengan emas dan perak. Tetapi menghiasi alat38
alat perang dan senjatanya dengan emas dan perak tidak dilarang. Kesombongan yang
ditampakkan di sini (dalam situasi perang) pada hakekatnya hanyalah merupakan ungkapan
kewibawaan Islam di hadapan musuh-musuhnya , di samping merupakan perang urat saraf
yang tidak boleh dilupakan fungsinya oleh kaum Muslimin.
7.- Jika kita perhatikan masa berlangsungnya peperangan antara kaum Muslimin dengan
musuh mereka di Uhud ini maka kita mendapat dua titik perhatian :
Pertama,
Di saat kaum Muslimin menjaga tempat-tempat mereka dan memelihara perintah-perintah
yang mereka terima dari penglima mereka (Nabi saw). Apa hasil dari komitmen ini ?
Kemenangan begitu cepat diraih kaum Muslimin sehingga tidak lama berhasil mengbrakabrik
barisan lawan. Rasa takut begitu cepat merayap ke dalam hati kaum Kafir yang
berjumlah tiga ribu itu sehingga mereka meninggalkan medan perang. Bagian inilah yang
dikomentari oleh ayat al-Quran :
„Dan sesungguhnya Allah swt, telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu
membunuh mereka dengan ijin-Nya.“ QS Ali-Imran : 152
Kedua,
Di saat kaum Muslimin mengejar kaum Musyrikin untuk menumpas setiap orang yang
berhasil ditangkap dan mengambil barang-barang rampasan. Pada saat itulah para pasukan
pemanah melihat dari atas gunung saudara-saudara mereka menebaskan pedang kepada
musuh-musuh mereka yang lari meninggalkan medna pertempuran, dan kembali dengan
membawa harta dan barang rampasan. Lalu timbullah keinginan mereka untuk ikut
mengumpulkan barang rampasan. Keingina inilah yang mengusik pikiran mereka sehingga
timbullah anggapan bahwa masa berlakunya perintah-perintah yang diterima dari Rasulullah
saw itu telah berakhir, dan mereka merasa sudah tidak terikat lagi dengan pesan-pesan itu
serta tidak perlu lagi menunggu ijin dari Rasulullah saw untuk meninggalkan tempat mereka.
Kendatipun ijtihad mereka ini ditentang oleh sebagian temannya terutama Amir (komandan
regu) mereka, Abdullah bin Jubair, tetapi mereka tetap turun dan ikut mengambil barang
rampasan. Apakah akibat dari tindakkan ini?
Rasa takut sebelumnya menyelimuti hati kaum Musyrikin kini berubah menjadi suatu
keberanian baru! Khalid bin Walid yang tadinya lari menyurut pun kini mulai melihat peluang
dan pintu untuk melancarkan serangan. Ia mengamati tempat-tempat di sekitarnya. Akhirnya
ia mengetahui bahwa gunung yang semula dijaga dengan ketat kini telah ditinggalkan oleh
pasukan pemanah. Lalu muncullah ide-ide kemiliteran di dalam benaknya. Dan bersama
dengan pasukan Musyrikin Khalid bin Walid pun dengan cepat menyerbu ke atas gunung dan
berhasil membunuh beberapa orang pasukan pemanah yang tidak ikut turun, lalu mereka
dengan mudah menguasai medan dan melancarkan serangan balik menghujani panah kaum
Muslimin dari belakang. Kali ini giliran kaum Muslimin yang dicekam rasa takut seperti yang
telah kita ketahui. Bagian inilah yang dikomentari oleh Allah swt melalui firman-Nya :
„…sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu serta mendurhakai perintah
(Rasulullah saw) sesudah Allah swt memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di
antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan apa pula yang menghendaki akherat.
Kemudian Allah swt memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu ….“ QS Ali-Imran
: 152
Perhatikanlah ! Betapa berat resiko yang harus dihadapi akibat kesalahan besar
tersebut ? Betapa resikoitu menimpa semua personel kaum Muslimin !
Kesalahan yang dilakukan oleh beberapa orang di dalam pasukan kaum Muslimin
telah menimbulkan bencana tragis yang menimpa semua orang. Bahkan Rasulullah saw pun
tidak luput dari akibatnya. Itulah Sunnatullah yang berlaku di alam semesta ini. Keberadaan
Rasulullah saw di tengah-tengah pasukan itu pun tidak dapat menangkal keberlangsungan
Sunnatullah itu.
Sekarang bandingkanlah. Lebih besar mana antara kesalahan yang dilakukan oleh
beberapa orang (pasukan pemanah) tersebut dengan sekian kesalahan yang dilakukan oleh
kaum Muslimin pada hari ini, dalam berbagai aspek kehidupan kita, baik yang umum ataupun
yang khusus ? Renungkanlah semua ini, agar anda dapat menggambarkan betapa kasih sayang
Allah kepada kaum Muslimin , karena tidak menghancurkan mereka sekalipun mereka
melakukan berbagai kesalahan dan mengabaikan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar dan
bersatu dalam satu Kalimat.
Dengan demikian, jelaslah bagi anda mengapa bangsa-bangsa Islam tidak berdaya
menghadapi negara-negara tiran yang tidak percaya kepada Allah swt.
8.- Dalam peperangan ini Nabi saw mengalami cedera dan luka parah. Terperosok ke dalam
lubang , bocor kepalanya, patah gigi, dan darahnya mengalir deras di wajahnya. Semua ini
merupakan salah satu akibat dari kesalahan tersebut. Kesalahan beberapa orang prajurit
karena melanggar perintah pimpinan. Tetapi apakah hikmah disebarluaskannya desas-desus
tentang kematina Rasulullah saw, di barisan kaum Muslimin ?
Jawabannya,
Sesungguhnya keterikatan kaum Muslimin dengan Rasulullah saw dan keberadaannya di
antara mereka sedemikain kuat, sehingga mereka tidak dapat membayangkan perpisahan
dengan Rasulullah saw. Kematian Rasulullah saw adalah sesuatu yang tidak pernah terlintas
dalam benak mereka. Seolah-olah mereka membuang jauh-jauh kenyataan ini dari pikiran
mereka. Tidak diragukan lagi seandainya berita kematian Rasulullah saw itu benar, niscaya
berita itu akan meremuk-redamkan hati mereka dan mengguncangkan keimanan mereka,
bahkan akan menimbulkan keguncangan jiwa yang demikian dasyat pada sebagian besar di
antara mereka.
Hikmah dari isu kematian Rasulullah saw, bahwa ia menjadi salah satu pengalaman
dan pelajaran kemiliteran yang sangat penting agar kaum Muslimin menyadari akan suatu
hakekat yang harus dihadapinya, sehingga mereka tidak kembali murtad apabila Rasulullah
saw harus meninggalkan mereka.
Demi untuk menjelaskan pelajaran penting ini maka diturunkanlah ayat al-Quran
sebagai komentar terhadap kelemahan dann keterkejutan yang menimpa kaum Musyrikin
ketika mendengar berita kematian Rasulullah saw. Firman Allah :
„Muhammad ini tidak lain hanyalah seorang Rasul. Sungguh sebelumnya telah berlalu
beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau gugur dibunuh kamu berbalik kembali
(murtad) ? Siapa saja yang murtad maka dia sama sekali tidak dapat mendatangkan mudharat
kepada Allah sedikitpun, dan Allah kelak memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur. QS Ali-Imran : 144
Hasil positif dari pelajaran ini tampak dengan jelas ketika Rasulullah saw benar-benar
meninggalkan mereka (wafat). Peristiwa (issu) Uhud inilah, dengan segenap ayat al-Quran
yang diturunkan menyusul issu tersebut, yang memperingatkan dan menyadarkan kaum
Muslimin kepada kenyataan ini, Sehingga mereka dengan berat hati dan rasa sedih telah siap
menerima kematian Rasulullah saw , dan memikul beban amanah yang ditinggalkannya :
Dakwah dann Jihad di jalan Allah swt. Mereka bangkit memikul amanah dengan keimanan
yang kokoh dann ketakwaan yang mantap kepada Allah swt.
9.- Mari kita renungkan kematian yang telah merengut nyawa para sahabat Rasulullah saw
demi membela dan menyelamatkan Rasulullah saw dari berondongan anak panah dan
lemparan batu. Satu demi satu, mereka berguguran di bawah hujan panah. Mereka berjuang
dengan semangat tinggi demi menjaga nyawa Rasulullah saw , tanpa menghiraukan resiko
yang ada … Dari manakah sumber pengorbanan yang menakjubkan ini ?
Kesemuanya ini tidak lain hanyalah bersumber dari :
Pertama,
Keimanan kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Kedua,
Kecintaan kepada Rasulullah saw keduanya itu merupakan sumber dan sebab munculnya
perngorbanan yang menakjubkan tersebut. Setiap Muslim sangat memerlukan kedua hal ini.
Tidaklah cukup seseorang mendakwakan diri beriman kepada masalah-masalah aqidah yang
harus diimani, sebelum hatinya jaga dipenuhi oleh cinta kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Oleh sebab itu Rasulullah saw bersabda :
„Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya daripada
hartanya, anaknya, dan semua manusia.“ (HR Muttafa‘alaihi)
Ini karena Allah swt telah memberikan perangkat akal dan hati pada diri manusia.
Dengan akal , manusia dapat berpikir kemudian mengimani hal-hal yang wajib diimani.
Sedangkan dengan hati, manusia dapat mempergunakannya untuk mencintai hal-hal yang
dicintai Allah swt dan dan memenci hal-hal yang dibenci Allah swt, Rasul-Nya dan hambahamba-
Nya yang shalih, niscaya akan dipenuhi oleh cinta hawa nafsu dan hal-hal yang
diharamkan. Jika hati telah dipenuhi oleh cinta hawa nafsu dan kemungkaran maka janganlah
diharap bahwa keyakinan seseorang (yang tidak disertai oleh rasa cinta itu) akan dapat
menumbuhkan pengorbanan.
Seringkali dibicarakan tentang keinginan untuk menegakkan keutamaan (kebahagiaan)
berdasarkan akal semata-mata. Tetapi kokohnya landasan ini ? Inikah landasan yang baik ?
Sesungguhnya keutamaan, sebagaimana mereka katakan adalah sistem. Tetapi apakah
keyakinan terhadap sistem ini dapat mengatasi kebahagiaan saya yang bersifat khusus ?
Sebenarnya prinsip yang dikhayalkan itu tidak lain hanyalah sekedar permainan kata. Tidak
dalam kejahatanpun merupakan kecintaan kepada sistem dalam bentuk yang berlainan.
Oleh sebab itu pemerintah Amerika tidak dapat berpegang pada yang yang diyakini
sebagai sesuatu yang berfaedah pada saat mengumumkan pengharaman khaar dan pelarangan
penjualan di masyarakat pada tahun 1933. Karena, tidak lama setelah pelarangan tersebut para
pembuat keputusan itu sendiri yang memelopori pelanggaran undang-undang tersebut.
Mereka tidak seorang terhadap keputusan yang dibuatnya sendiri. Akhirnya mereka
menghapuskan kembali undang-undang itu dan kembali meneguk khamar dengan leluasa.
Sementara itu para sahabat Rasulullah saaw yang pada waktu itu secara peradaban
pengetahuan tentang berbagai bahaya dan faedah jauh di bawah orang-orang Amerika kini
begitu mendengar perintah Allah agar menjauhi khamar, seketika mereka langsung
menghancurkan botol-botol, guci-guci dan kantung-kantung penyimpangan khamar mereka
seraya berteriak :
„Kami berhenti ya Allah, kami berhenti!“
Perbedaan antara dua gambaran dan realitas ini sangat jelas. Pada masyarakat Muslim
ada sesuatu yang bersemayam di hatinya yang mengendalikan hawa nafsunya untuk
mengikuti perintah dan hukum Allah.
Kecintaan yang terdapat di dalam hati para sahabat Rasulullah saw inilah yang
membuat mereka bersedia menyerahkan nyawa mereka demi melindungi Rasulullah saw.
Dalam perang Uhud ini kita dapat menyaksikan berbagai pengorbanan yang menakjubkan
yang mengungkapkan pengaruh cinta ini di hati para sahabat.
Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda kepada para sahabatnya :
„Siapa di antara kalian yang bersedia mencari berita untukku tentang keadaan Sa‘ad bin Rabi
? Masihkah ia hidup atau sudah matikah ? Salah seorang Anshar menyatakan kesediaannya,
kemudian pergi mencari Sa‘ad bin Rabi. Akhirnya Sa‘ad ditemukan dalam keadaan luka
parah, sedang menanti datangnya ajal. Kepadanya orang Anshar itu memberitahu :“Aku
disuruh Rasulullah saw untuk mencari engkau, apakah engkau masih hidup atau telah mati…“
Sa‘ad menjawab :“ Beritahukan kepada beliau, bahwa aku sudah mati, dan sampaikanlah
salamku kepada beliau. Katakan kepada beliau, bahwa Sa‘ad bin Rabi menyampaikan ucapan
kepada anda (yakni Rasulullah saw ) : Semoga Allah swt melimpahkan kebajikan sebesarbesarnya
atas kepemimpinan anda sebagai seorang Nabi yang telah diberikan kepada
ummatnya ! Sampaikan juga salamku kepada pasukan Muslimin , dan beritahukan bahwa
Sa‘ad bin Rabi berkata kepada kalian :
„Allah tidak akan memaafkan kalian jika kalian meninggalkan Nabi saw, sedangkan masih
ada orang-orang hidup di antara kalian.“
Orang Anshar itu melanjutkan ceritanya :“Belum sampai kutinggalkan, Sa‘ad pun
wafat. Aku lalu segera menghadap Nabi saw dan kusampaikan kepada beliau pesan-pesannya.
Jika cinta seperti ini telah menyelinap dan bertahta di dalam hati setiap diri kaum
Muslimin pada hari ini, sehingga menjauhkan mereka dari syahwat dan egoisme mereka,
dapatlah saya katakan :“ Saat itulah kaum Muslimin akan tampil sebagai generasi baru dan
mampu merebut kemenangan merka dari benteng-benteng kematian, serta mengalahkan
musuh-musuh mereka betapapun rintangan yang harus dihadapinya.“
Jika anda bertanya tentang media untuk mencapai cinta ini, ketahuilah bahwa ia harus
dicapai melalui banyak melakukan dzikir dan shalawat kepada Rasulullah saw banyak
merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah swt dan nikmat-nikmat-Nya yang dilimpahkan
kepada kita, menghayati sirah Rasulullah saw dan akhlak-akhlaknya yang kesemuanya itu
dilakukan setelah kemantapan (istiqmah) dan ibadah secara khusyu‘ dan berkomunikasi
dengan Allah swt di setiap saat.
10.- Seperti disebutkan dalam riwayat Bukhari bahwa Nabi saw memerintahkan penguburan
mayat-mayar para Syuhada berikut bercak-bercak darah yang merekat pada mereka dan tanpa
menshalatkannya. Setiap satu kubur diisikan dua orang Syuhada.
Peristiwa ini dijadikan dalil oleh para ulama bahwa orang yang syahid dalam
pertempuran jihad tidak perlu dimandikan dan dishalatkan. Ia harus dikuburkan sebagaimana
adanya.
Imam Syafi‘I berkata :“Secara mutawatir hadits-hadits menyebutkan bahwa Nabi saw
tidak menshalatkan mereka (syuhadah). Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi saw
menshalatinya (Hamzah) sebanyak tujuh puluh kali , adalah riwayat lemah dan keliru.“
Para Ulama juga berpendapat , berdasarkan peristiwa ini, bahwa apabila keadaan
dharurat maka dibolehkan penguburan lebih dari satu orang dalam satu kubur. Jika tidak
dharurat tidak dibolehkan.
11.- Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan Rasulullah saw bersama para sahabatnya
setelah sehari tiba di Madinah (mengejar kembali musuh Musyrikin di Hamra‘ul Asad),
tampaklah kepada kita suatu pelajaran pertempuran Uhud secara jelas dan sempurna, di
samping tampak pula bagi kita masing-masing dari kedua hasilnya baik yang positif ataupun
yang negatif. Secara jelas dan pasti, terlihat bahwa kemenangan ini hanya bisa dicapai dengan
kesabaran, ketaatan kepada perintah-perintah pimpinan yang baik, dan tujuan yang murni
semata-mata demi agama.
Seperti telah kita ketahui, bahwa begitu Nabi saw mengumumkan agar pengejaran
musuh dilakukan , para sahabat yang kemarin ikut berperang serta merta berkumpul dan
melaksanakan tugas tanpa menghiraukan luka yang dideritanya bahkan belum ada yang
sempat beristirahat di rumahnya. Mereka segera berangkat mengikuti Rasulullah saw
mengejar kaum Musyrikin yang sedang dimabuk kemenangan. Pada kali ini tidak seorang pun
di antara kaum Muslimin yang memiliki ambisi untuk merebut ghanimah atau kepentingan
duniawi. Mereka hanya ingin mencapai kemenangan atau syahid di jalan Allah, walaupun
dengan berbalut luka yang masih mengucurkan darah.
Tetapi bagaimanakah hasilnya ?
Kemenangan yang baru saja dirayakan oleh kaum Musyrikin ini tidak mampu mereka
pertahankan atau lanjutkan, sebagaimana halnya luka parah yang diderita oleh kaum
Muslimin itu tidak menghalangi sama sekali untuk merebut kembali kemenangan.
Bagaimana jalan ke arah ini ? Jalannya ialah mukjizat Ilahi untuk menyempurnakan
pelajaran dan pembinaan kepada kaum Muslimin. Secara tiba-tiba hati kaum Musyrikin
merasa gentar karena membayangkan apa yang diceritakan oleh seorang kawan mereka
tentang kaum Msulimin, bahwa Muhammad dan para sahabatnya kali ini datang membawa
kematian untuk disebarkan di antara mereka, sehingga mereka pun lari tunggang langgang
kembali ke Mekkah dengan hati kecut.
Bagaimana rasa takut kepada kaum Muslimin ini dapat masuk ke dalam hati mereka ,
padahal mereka baru saja memukul mundur kaum Muslimin ? Hal ini terjadi semata-mata
karena kehendak Ilahi yang telah menjadikan peristiwa ini secara keseluruhan sebagai
pelajaran penting bagi kaum Muslimin, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Sebagai penutup dan kelengkapan pelajaran Uhud, turunlah firman Allah :
„Orang-orang yang mentaati perintah Allah swt, dan Rasul-Nya setelah mereka mendapat
luka (dalam pertempuran Uhud) bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka
dan orang yang bertakwa ada pahala yang besar. (Yaitu) orang-orang yang kepada mereka ada
orang-orang yang mengatakan :“Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.“ Namun, justru perkataan itu
menambah keimanan mereka. Dan mereka menjawab :“ Cukuplah Allah swt menjadi
Penolong kami dan Allah swt adalah sebaik-baik Pelindung.“ Maka mereka kembali dengan
nikmat dan karunia yang besar dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa , mereka
mengikuti keridhahan Allah swt. Dan Allah swt mempunyai karunia yang besar.“
QS Ali-Imran : 172-174

0 Komeng:

Post a Comment

 
Copyright 2009 Intelektual-Muslim™